Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman beralasan, pasokan listrik pada 2014 akan tersendat jika hanya mengandalkan pembangkit listrik berbahan bakar solar.
Karena itu, kata dia, untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan minyak bumi, pemerintah akan melakukan impor listrik dari Malaysia karena biayanya lebih murah, harganya hanya sekitar 9 sen per kilowatt hour (KWH).
Jarman mengatakan, harga setrum impor lebih murah dibanding menggunakan pembangkit listrik diesel. “Produksi pembangkit listrik berbahan bakar minyak jauh lebih mahal, mencapai 30 sen per KWH,†ujarnya.
Menurut dia, daerah yang akan dialiri listrik impor dari Malaysia adalah Kalimantan dan Sumatera. Alasannya, infrastruktur kedua daerah tersebut sedang dalam pembangunan. Pasokan listrik kedua daerah itu dipenuhi dari pembangkit listrik bertenaga batubara. Untuk lamanya impor, hanya akan dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun.
Jarman mengaku impor dilakukan karena pasokan listrik tidak dapat dipenuhi dari pembangkit yang ada selama proses pembangunan infrastruktur tersebut berjalan.
Karena itu, impor menjadi alternatif untuk memenuhi tingkat elektrifikasi nasional yang hingga saat ini hanya 70 persen.
Dia menjamin impor listrik tersebut tidak akan membuat PLN tergantung dengan pasokan dari Malaysia. Impor akan dihentikan setelah semua infrastruktur pembangkit listrik tenaga batubara selesai dibangun.
Untuk diketahui, pemerintah telah menerbitkan peraturan yang mengatur jual beli tenaga listrik lintas negara. Peraturan Pemerintah (PP) No.42 Tahun 2012 tersebut telah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Maret 2012.
Dalam Pasal 2 disebutkan, jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik setelah memperoleh izin penjualan atau pembelian dari Menteri ESDM.
Namun, penjualan listrik harus mengutamakan pasokan untuk domestik. Sementara Pasal 4 menyebutkan, ekspor listrik boleh dilakukan jika kebutuhan domestik telah terpenuhi, tidak mengganggu keandalan dan harga jual tanpa subsidi.
Untuk pembelian listrik lintas negara juga ada beberapa syarat. Antara lain, cadangan kapasitas di pembangkit kurang 30 persen dari beban puncak. Kemudian, impor hanya berfungsi sebagai penunjang pemenuhan kebutuhan atau bukan pasokan utama.
Terakhir, impor tersebut tidak merugikan kepentingan negara dan bangsa. Peraturan tersebut juga mensyaratkan kontrak ekspor impor listrik paling lama lima tahun dan bisa diperpanjang.
Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, impor listrik bukanlah solusi mengurangi atau mengantisipasi defisit litrik. Menurutnya, yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan dan mempercepat pembangunan pembangkit listrik baru dengan sumber energi alternatif.
“Aneh saja jika listrik juga masih harus impor. Padahal Indonesia mempunyai sumber energi alternatif lainnya,†katanya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, krisis listrik yang terjadi saat ini karena kelalaian dan kemalasan pemerintah menambah kebutuhan listrik. Alhasil, kekurangan listrik terus menumpuk.
Dampaknya defisit listrik terus terjadi hingga mengakibatkan pemadaman bergilir.
Komaidi juga menyayangkan langkah pemerintah dan PLN yang selalu menaikkan tarif dasar listrik (TDL) tanpa dibarengi peningkatan pelayanan kepada konsumennya.
Seharusnya, pemerintah dan PLN meningkatkan pelayanannya seiring dengan kenaikan TDL.
“Di saat masyarakat menerima kenaikan, pelayanan listrik mulai dari byar pet harusnya berkurang,†pinta Komaidi.
Untuk itu, dia meminta ada audit infrastruktur PLN mulai dari pembangkit. Pasalnya, kebakaran akibat peralatan listrik milik PLN sangat merugikan konsumen karena sering mengakibatkan pemadaman. ***