Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri menegaskan, lonjakan impor produk migas September lalu bukan karena kenaikan konsumsi masyarakat. Lonjakan impor membengkak juga tidak disebabkan karena arus produk migas.
Menurut dia, akar masalahnya justru pasokan minyak mentah. Itu disebabkan tidak maksimalnya kinerja pengolahan kilang milik Pertamina.
“Saya cek ke Pertamina, ternyata bukan impor BBM yang besar namun minyak mentah,†ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurut bekas Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu, tidak ada jalan lain kecuali pemerintah membantu Pertamina meningkatkan kinerja seluruh kilangnya. Termasuk membuat kilang minyak baru.
“Kita harus berdayakan kembali kilang-kilang seperti di Balongan sebagai pengolahan minyak mentah,†pinta Chatib.
Kendati masalahnya bersumber dari kilang, Chatib menyatakan kebijakan kenaikan harga BBM diklaim tetap berhasil. Hal itu didasarkan pada konsumsi nasional BBM yang masih sesuai target. “Terbukti konsumsi BBM kita masih di bawah 48 juta kiloliter pada tahun 2013 ini,†ungkapnya.
Informasi yang diperoleh
Rakyat Merdeka, pemerintah dan Pertamina tidak serius membuat kilang baru. Karena jika kilang bertambah maka impor minyak mentah akan berkurang.
Ketua DPR Marzuki Alie mengakui, impor minyak sudah dijadikan bisnis bagi para pelaku mafia minyak untuk menangguk untung. Sementara negara dibuat tergantung terus dengan impor BBM. “Mereka tidak mau kilang minyak ditambah,†cetusnya.
Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi mengatakan, Indonesia melakukan impor minyak mentah sebanyak 29,3 persen. Angka ini cukup besar, padahal Kemendag telah mengecek di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak ada penambahan kilang.
“Tapi impor minyak mentahnya tinggi. Kan ini harus diolah, nggak langsung dipakai seperti impor BBM. Dari Januari hingga September saja impor BBM hanya 1,2 persen. Secara keseluruhan impor BBM kecil. Ini kita harus cermati. Ekspornya minyak mentah kita minus, turun 15 persen tapi impornya naik 29,3 persen,†tegas Bayu.
Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan peningkatan produksi tidak hanya pada minyak olahan tapi juga pada minyak mentah. Produksi minyak olahan saat ini masih terkendala keterbatasan kilang minyak dalam negeri.
Bayu kembali menegaskan perlunya keseriusan untuk menggarap lifting minyak mentah. Jika tidak, impor yang terus meningkat akan menekan neraca perdagangan. Jika kondisi terus terjadi, maka stabilitas ekonomi nasional bisa goyah.
Dua Skenario Bangun Kilang
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan, pembangunan kilang akan memakai dua skenario. “Pertama skema kemitraan pemerintah dan swasta (KPS) dan kedua melalui APBN,†katanya.
Menurut dia, melalui skema KPS atau public private partnership (PPP), maka proyek kilang akan ditender. Skema KPS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Dengan skema KPS, maka proyek akan mendapat dukungan pemerintah berupa penjaminan, insentif dan regulasi.
Susilo mengatakan, pembangunan kilang APBN berkapasitas 300 ribu barel per hari masih berjalan. “Pemerintah sudah menganggarkan dana APBN untuk melakukan studi kelayakan pembangunan kilang,†katanya.
Pembiayaan kilang APBN tersebut dilakukan secara tahun jamak (multiyears). Biaya pembangunan kilang berkapasitas 300 ribu barel per hari diperkirakan sekitar Rp 90 triliun. “Pemerintah membentuk tim percepatan pembangunan kilang yang beranggotakan lintas kementerian,†katanya.
Tim yang diketuai pejabat Kementerian ESDM beranggotakan antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, Kementerian PPN/Bappenas, dan PT Pertamina (Persero). Saat ini, kebutuhan BBM mencapai sekitar 1,3 juta barel per hari, sementara produksi dari kilang dalam negeri hanya 700 ribu barel per hari. ***