Jangan-jangan Pertamina akan didorong untuk segera masuk ke bisnis hidrogen.
Ahok adalah komisaris utama Pertamina. Siapa tahu ia punya arah mendorong Pertamina ke hidrogen sebagai sumber energi masa depan.
"Kami dari Pertamina, infrastrukturnya dari mulai geotermal, kilang, pipa, itu paling siap adalah untuk hidrogen. Kita bisa mengganti terminal hidrogen," ucap Ahok di Gaikindo International Automotive Conference, Selasa lalu.
Tentu saya menghubungkan pikiran Ahok itu dengan mobil listrik. Yang mengancam bisnis utama Pertamina. Yang sampai sekarang masih didominasi oleh baterai.
Memang penggunaan hidrogen juga dijajaki. Di Amerika. Di Jepang. Di Tiongkok. Utamanya untuk mobil besar seperti truk. Komersialisasi hidrogen juga mulai terjadi dengan banyaknya iklan hidrogen portable. Tapi hidrogen untuk mengganti bensin atau baterai masih agak jauh.
Persaingan justru terjadi antar baterai sendiri. Antara lithium ion yang sudah mapan dengan solid state yang akan dipakai mobil listrik Toyota dua tahun lagi.
Pun di pameran mobil terbesar di ICE BSD, Tangerang yang baru saja usai: GIIAS 2023.
Kematangan baterai lithium ion sudah ditunjukkan oleh mobil listrik merek, ini dia: Neta.
Merek Neta-nya pun kita belum pernah dengar. Tiba-tiba ikut bikin kejutan di Jakarta. Beberapa modelnya dipamerkan. Sudah setir kanan. Berarti sudah siap dijual di Indonesia.
Di stan Neta itulah dipamerkan satu jenis mobil listrik dengan jarak tempuh 1.200 km sekali charge. Bentuknya sedan. Desainnya bagus sekali –sekarang ini mobil dengan harga berapa pun desainnya bagus-bagus.
Artinya, mobil listrik dengan jarak tempuh 1.000 km/charge sudah bukan lagi "suatu saat kelak". Sudah di depan mata pengunjung pameran di ICE BSD dekat Jakarta.
Saya agak lama berada di stan mobil listrik Neta tersebut. Saya begitu ingin membelinya. Kalau saja modelnya SUV atau
cross over.
Sayang yang dipamerkan ini hanya sedan. Itu pun letak setirnya masih di kiri. Berarti sedan jenis itu baru dijual di Tiongkok. Rupanya diimpor langsung khusus untuk pameran. Mobil kita pakai sistem setir kanan.
"Neta yang 1.200 km/charge ini baru mulai dijual di Indonesia tahun depan," ujar petugas pameran di situ.
Berarti era baterai yang bisa untuk 1000 km/charge sudah jadi kenyataan. Bisa untuk Jakarta-Surabaya tanpa perlu berhenti.
Maka begitu era mobil listrik 1000 km/charge ada di pasar, itulah ancaman nyata untuk bisnis Pertamina. Tidak diperlukan lagi stasiun pengisian bahan bakar.
Saya pun berpikir, jangan-jangan pikiran Ahok soal hidrogen tersebut dalam rangka mempersiapkan itu.
Saya baca di media, Ahok juga mengunjungi pameran. Bahkan jadi pembicara di salah satu seminarnya. Ia pasti melihat tiba-tiba saja ada lima merek mobil listrik di depan mata.
Dari segi infrastruktur yang sudah dimiliki Pertamina saat ini, memang hidrogen lebih cocok.
Stasiun pengisian BBM tinggal diubah jadi stasiun pengisian hidrogen. Tapi itu harus cepat-cepat. Harus sebelum mobil listrik baterai mendominasi pasar.
Kalau pasar sudah didominasi mobil baterai, sulit berharap ada pabrikan mobil yang mau memproduksi mobil hidrogen.
Yang jadi pikiran saya bukan hanya itu. Kalau Pertamina memilih hidrogen, bagaimana dengan pabrik baterai yang telanjur dimilikinya?
Anda sudah tahu: tiga tahun lalu Pertamina, PLN, Antam, dan MindID, mendirikan pabrik baterai: Industri Baterai Indonesia. Atau dengan nama asing IBC (
Indonesia Battery Corporation).
Menurut website IBC, Tiongkok dan Korea sudah menanamkan modalnya di IBC sebesar Rp223 triliun.
Saya pun menghubungi Ahok: lega.
Ahok, mengemukakan soal hidrogen tidak dalam rangka mengarahkan Pertamina. Ia memang sebagai komut Pertamina. Tapi soal hidrogen ia kaitkan dengan polusi di Jakarta.
Ia berharap green energi segera menggantikan bensin atau minyak diesel. Dan ia melihat hidrogen paling cocok untuk Indonesia.
Ya sudah. Tidak ada kaitannya dengan program Pertamina.
Lega.
Kalau benar Tiongkok dan Korea sudah menanamkan modal sampai Rp 223triliun, berarti IBC segera berlari.
Lithium ion? Posphat? Solid state?
BERITA TERKAIT: