Salah satu proyek mercusuar yang saat ini sedang digarap pemerintah adalah Ibu Kota Nusantara. Disebut proyek mercusuar karena sedemikian lamanya durasi waktu yang dibutuhkan, hampir 22 tahun, dari 2023 hingga 2045. Bahkan jika menggunakan masa waktu HGU dan HGB, waktunya bisa sampai tahun 2.118. Bukan lagi cucu tapi cicit kita yang merasakan lamanya proyek mercusuar IKN ini. Disebut proyek mercusuar karena adanya berbagai super insentif yang diberikan kepada para investor global agar mereka mau menanamkan uangnya senilai Rp 500 triliun.
Memang Indonesia masih sangat membutuhkan suntikan modal melalui investasi untuk memompa pertumbuhan ekonomi. Tapi, pertanyaannya kemudian untuk siapakah IKN dibangun? Apakah demi investasi Rp 500 triliun, kita sampai memberikan super insentif beraneka rupa mulai dari hak guna usaha hingga 95 tahun, masa tinggal tenaga kerja asing (TKA) 10 tahun, tax holiday dengan besaran 50-100% selama 10-30 tahun, super tax deduction 250-350%, PPh 21 Final DTP hingga 2035, pajak UMKM dibebaskan, Hak Guna Bangunan selama 80 tahun, hak pakai 80 tahun, PPN tak dipungut, PPh pengalihan tanah 100%, PPnBM dikecualikan, dan bea masuk dan PDRI dibebaskan.
Apakah dengan super insentif ini, potential loss penerimaaan pajak akan lebih kecil dari realisasi investasi Rp 500 triliun yang ingin dicapai? Lantas untuk siapakah IKN dibangun? Apakah akan dinikmati oleh rakyat Indonesia? Apakah sebagian besar rakyat Indonesia bisa tinggal di IKN ataukah IKN hanya menjadi Ibu Kota yang eksklusif alias Ibu Kota Ningrat? Pertanyaan-pertanyaan gugatan tersebut hanya terjawab dan diketahui melalui serangkaian kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah.
Rumah untuk Rakyat
Dari luas IKN seluas 256.142 hektare (ha), sebanyak 199.962 hektare digunakan untuk pengembangan. Kawasan pengembangan ini kemudian dibagi menjadi 2 kluster. Kluster pertama adalah kawasan IKN seluas 56.180 ha yang terbagi menjadi kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) seluas 6.596 ha yang dialokasikan antara lain 100 ha khusus untuk Istana Kepresidenan, lalu Istana Wapres seluas 14,58 ha, Gedung DPR/MPR seluas 41,1 ha, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial masing-masing seluas 16,51 hektare dan gedung kementerian masing-masing berkisar 1-5 hektare. Lalu ada kawasan pemerintahan seluas 46 ribu hektare.
Kluster kedua adalah kawasan pengembangan seluas 199.962 hektare yang diperuntukkan untuk investor di berbagai sektor ekonomi, perumahan, tempat pembuangan sampah, pengolahan limbah, dan lain sebagainya.
Dengan luas 199.962 ha, IKN menjadi 4x lebih luas dari Balikpapan dan DKI Jakarta, 3,5 kali lebih luas dari Samarinda. IKN memang ingin diwujudkan menjadi green forest city, dengan target penduduk 1,7 sampai 1,9 juta pada tahun 2045 atau 100 jiwa per hektare. Tentu kembali menjadi pertanyaan, IKN dibangun untuk siapa? Apalagi dari 1,7 sampai 1,9 juta jiwa, sebanyak 970 ribu jiwa akan dihuni oleh aparatur sipil negara.
Menjadi pertanyaan besar, IKN kira-kira akan dihuni oleh kalangan siapakah? Apalagi pemerintah telah mengizinkan tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di IKN untuk tinggal selama 10 tahun. Tentu, para TKA tersebut akan menjadi power-horse buying untuk properti-properti mewah yang dibangun di IKN. Namun, hal ini jika tidak dicermati, akan menjadi persoalan dimana kesenjangan sosial
Belum lagi pemerintah menargetkan dengan berbagai insentif, IKN dapat menyerap 4.811.000 juta lapangan kerja pada tahun 2045. Gambaran angka-angka di atas menunjukkan beberapa indikasi persoalan keberpihakan pembangunan IKN yang cenderung eksklusif. Daya tampung hunian IKN dengan 1,9 juta jiwa tidak sebanding dengan daya serap pekerjaan sebanyak 4,8 juta. Otomatis, masalah sosial di Jabodetabek akan terulang lagi. Pekerja “dipaksa ngelaju” untuk tinggal di Balikpapan dan Samarinda, yang memang diarahkan menjadi kota penyangga, dengan jarak tempuh 30-40 menit jika akses jalan tol Balikpapan-Samarinda selesai dibangun.
Persoalan IKN untuk siapa dibangun juga menjadi krusial mengingat masih ada backlog perumahan yang mencapai 12,71 juta. Ini artinya masih ada 12,71 juta kepala keluarga atau 50,8 juta jiwa dengan asumsi 1 keluarga beranggotakan empat jiwa. Kenapa pemerintah tidak menjawab persoalan krusial ini dengan menyediakan rumah-rumah rakyat layak huni di IKN?
Memang pemerintah sudah mengatur konsep hunian di IKN dengan rumusan 1:3:6, yang artinya 1 rumah mewah dibangun, 3 rumah kelas menengah dan 6 rumah sederhana juga harus dibangun bersamaan. Apalagi penegakan hukum atas hal ini di banyak kota telah gagal ditegakkan. Hal yang sama terlihat indikasinya di IKN, apalagi tidak ada fasilitas pajak bagi pengembang untuk membangun rumah sederhana.
Apalagi pelaksanaan pemenuhan hunian berimbang oleh pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan kepada Kepala Otorita dengan opsi: a. melaksanakan pembangunan hunian berimbang di wilayah Ibu Kota Nusantara; atau b. membayar dana konversi pemenuhan hunian berimbang. Adanya opsi membayar dana konversi pemenuhan hunian berimbang kepada otorita IKN menunjukkan nantinya IKN akan menjadi kawasan hunian yang eksklusif.
Kenapa pemerintah tidak menugaskan Perumnas dengan memberikan PMN agar dapat membangun rumah-rumah rakyat rakyat huni di IKN? Kenapa pemerintah tidak memberikan super-insentif khusus kepada para pengembang atau Perumnas yang mampu membangun rumah untuk rakyat?
Jika pemerintah tidak berhasil menyediakan rumah-rumah rakyat di IKN, menjadi mustahil impian menciptakan nol kemiskinan di ibukota pada tahun 2035. Menjadi mustahil juga visi pemindahan Ibukota, yakni pemerataan penduduk, mengingat IKN hanya ditargetkan untuk 1,9 juta jiwa yang terpilih, yakni kalangan Ningrat. Apakah seperti itu? Mudah-mudahan saja tidak.
Penulis adalah Pengamat Komunikasi Politik/Founder Lembaga Survei KedaiKOPI.
BERITA TERKAIT: