Tapi saya harus ke arah selatan dulu: ke Pangandaran. Dulu saya sering ke Pangandaran: ketika pantai itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Ciamis. Tegangan listriknya terlalu buruk di sini. Jauh dari gardu induk mana pun. Tidak separah wilayah Malingping di Banten Selatan, tapi harus diatasi.
Sejak itu saya terus terpikir: alangkah sulitnya mengurus Pangandaran. Dari Tasikmalaya saja masih 2,5 jam. Dari Purwokerto 2,5 jam. Dari Cirebon 5 jam. Apalagi dari Bandung dan Jakarta.
Padahal, kalau saja ada uang, alangkah hebatnya Pangandaran. Bu Susi Pudjiastuti saja berkantor pusat di sini. Sejak jauh sebelum jadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Inilah satu-satunya perusahaan penerbangan yang berkantor pusat di ibukota kecamatan –kini ibukota kabupaten Pangandaran.
Ketika uang tidak ada pun sebenarnya masih ada harapan. Asal ada kemauan. Banyuwangi contohnya. Gunung Kidul contoh yang lebih dramatis.
Pun setelah Pengandaran jadi kabupaten terpisah dari Ciamis. Belum terlihat kemajuan yang nyata. Tanpa kemauan rasanya hanya jalan tol jalur selatan Jawa yang akan membuat Pangandaran hidup sendiri.
Di situ sudah ada bandara kecil: Nusa Wiru. Tapi tidak ada penerbangan berjadwal. Tentu juga ada bandara rumput milik Bu Susi yang khusus untuk Susi Air pulang kandang.
Di Pangandaran kali ini saya naik ke atas sebuah bukit terjal. Di pinggir laut. Teman-teman mengingatkan: jangan memilih jalan pintas begitu. Tidak ada jalan. Pun yang setapak. Kan ada jalan memutar. Menanjak tapi ada jalannya, meski rusak berat.
"Belum ada orang ke bukit itu lewat potong kompas seperti itu," kata mereka.
"Kita coba," kata saya.
Saya pun mendaki tebing itu. Yang lain ikut. Terpaksa. Termasuk para ustad dari Pesantren Sabilil Muttaqin. Pesantren ini hanya 10 menit dari bukit itu. Mas Yanto, bos Radar Cirebon yang juga direktur Disway ikut meski hanya bersandal. Kang Dadan, direktur Radar Tasik di depan saya. Kang Sahidin cari tongkat kayu untuk menarik saya dari atas.
Dapat sepertiga dakian, Ustad Sahal menyarankan saya mokel. Mereka mengkhawatirkan umur saya. Saya juga mencoba tidak bergantung ke tongkat Kang Sahidin. Saya pegangan rumput rimbun di atas kepala saya. Saya jadikan rumpun rumput itu penarik badan saya. Rumput itu tercerabut.
Tongkat Kang Sahidin pun sangat bermanfaat. Istri and the gang sudah tidak bisa memonitor dari bawah.
Dapat setengah tanjakan saya sudah lima kali istirahat. Tapi kepala belum pening. Pandangan mata belum mengabur. Pohon-pohon tidak terlihat berputar. "Terus!" kata saya keras-keras. Di dalam hati.
Ketemulah jalan memutar di situ. Lalu ada tangga buatan menuju puncak. Tingginya 300 tangga. Mungkin salah hitung. Konsentrasi sudah digoyahkan oleh lapar, haus, dan godaan mokel.
Tapi saya ingin tes badan: apakah senam dansa saya setiap hari itu ada gunanya.
Sampai di puncak saya dirayu lagi untuk mokel. Tidak. Ini tidak ada apa-apanya daripada perjalanan kaki saya di pedalaman Papua –kini provinsi Papua Pegunungan. Saya pernah jalan kaki dari dekat Wamena ke Yahukimo. Juga di bulan puasa.
Tidak mokel.
Padahal, kala itu, berangkatnya setelah salat Subuh. Tiba di lokasi pukul 12.00 siang. Lalu balik ke Wamena lagi. Jalan kaki lagi. Baru tiba kembali pukul 20.00.
Saya juga selalu ingat bapak saya. Di bulan puasa pun tetap mencangkul. Di sawah. Di bawah terik matahari. Dengan panggung telanjang. Memantulkan sinar matahari yang nyentrong dengan teriknya.
Apalah beratnya tebing ini.
Dari atas bukit terlihat Tanjung Pangandaran menjorok ke laut selatan. Saya pernah menamakannya tanjung Dua Matahari. Hanya di tanjung Pangandaran inilah orang bisa menikmati dua pemandangan ajaib sekaligus: melihat sunshine di pagi hari dan sunset di petang hari.
Pantai Pangandaran adalah Copacabana dan sekaligus Ipanema. Tapi dua pantai itu jauh sekali: di Rio de Janeiro, Brazil. Itu pun saya dua kali ke sana. Sedang Pangandaran hanya jauh di pantai selatan Priangan Timur.
Begitu banyak objek wisata di kawasan ini. Tapi masih terasa begitu jauh untuk mencapainya. Rasanya Pangandaran perlu impor bupati dari Gunung Kidul.
Harus dua jam saya baru sampai ke puncak. Lapar, haus, dan basah. Angin laut selatan mempercepat keringnya keringat. Jalan kembalinya lebih cepat: lewat penurunan yang memutar landai. Tidak ada waktu istirahat. Santri sudah berkumpul di pesantren.
Saya putuskan untuk mandi dulu di pesantren. Rasanya badan ini terlalu kotor untuk menemui para santri di situ. Pesantren ini jauh lebih maju dibanding yang saya lihat 10 atau 12 tahun lalu. Maka sudah waktunya ditingkatkan lagi satu derajat ke atas: bikin program pesantren internasional di Pangandaran. Copy saja sistem yang sudah terbukti maju di Magetan dan Kediri.
Atau tiru cara pesantren Bina Insan Mulia (Bima) asuhan KH Imam Jazuli di Cirebon.
Keinginan yang sama juga saya tawarkan ke pesantren grup ini di Randublatung, Blora. Di antara sekitar 120 madrasah di lingkungan Pesantren Sabilil Muttaqin, Pangandaran dan Randublatung termasuk sudah memenuhi syarat ditingkatkan lagi.
Tidak lama saya berbicara dengan para santri di Pangandaran. Tim saya sudah terlihat mengantuk kelelahan. Belum lagi masih harus ke Sirna Rasa. Masih tiga jam perjalanan lagi. Judul tulisan ini pun jadi kurang tepat: kok belum ada kisah Sirna Rasanya. Lebih baik saya akui sendiri, daripada pasti dikritik perusuh. Kan masih selalu ada hari esok.
BERITA TERKAIT: