Satu pihak bilang: Perppu sudah sah. Sudah bisa jadi UU.
Lain pihak bilang: Perppu belum sah. Belum pernah disahkan oleh DPR menjadi UU.
Yang lain lagi bilang: kenapa pemerintah tidak menjalankan saja putusan Mahkamah Konstitusi? Dengan cara memperbaiki UU Omnibus Cipta Kerja seperti yang diminta oleh MK? Mengapa justru mengeluarkan Perppu?
Anda sudah tahu: UU Cipta Kerja, melahirkan kehebohan yang luar biasa. Sejak sebelum dibahas sampai sesudah disahkan DPR.
Lalu ada yang menggugat ke MK. Putusan MK pun Anda sudah tahu.
Secara formil proses legislasi UU Ciptaker dianggap bermasalah. Maka UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Lalu diberi waktu memperbaiki prosesnya. Selama dua tahun sejak putusan.
"Artinya, kalau dalam dua tahun tidak ada perbaikan, UU Ciptaker menjadi bertentangan dengan UUD 1945," ujar Prof Dr Denny Indrayana yang kini tinggal di Australia.
Putusan terkait UU Ciptaker, kata Prof Denny, adalah uji formil pertama yang dikabulkan dalam sejarah MK. "Dengan uji formil, MK tidak menyoal isi pasal (materiil), tetapi lebih ke arah prosedur pembuatan UU-nya. Termasuk minimnya partisipasi publik", katanya.
Nah, kata Prof Denny, putusan MK inilah yang dilanggar presiden dengan jalan pintas menerbitkan Perppu. "Sekarang Perppu Ciptaker tidak mendapatkan persetujuan DPR, sehingga seharusnya dicabut," katanya.
Tentu pemerintah berada dalam dilema. Inginnya UU Cipta Kerja itu segera berlaku. Tapi dengan putusan MK itu jadi terhambat. Padahal maksud mempercepat penyelesaian UU Cipta Kerja dulu agar pemerintah segera punya senjata ampuh.
DPR-pun waktu itu mendukung total. Bentuk dukungan DPR itu tidak kepalang tanggung: tanpa harus dibahas mendalam.
Memang UU itu cepat disahkan. Kilat. Tidak disangka ternyata justru ''mbendhol mburi'': ada masalah setelah itu. Akhirnya justru berlarut-larut. Sampai ke MK segala.
Problem besar pemerintah setelah putusan MK itu: akan pilih jalan yang mana. Pilih memperbaiki UU tersebut atau ada jalan pintas yang lain lagi.
Memperbaiki UU memakan waktu panjang. Lewat DPR lagi. Perlu biaya besar lagi.
Lalu terlihatlah jalan pintas itu: Perppu. Pemerintah menerbitkan peraturan pengganti UU.
Tanpa Perppu itu berarti terjadi kekosongan UU: yang sudah disahkan belum boleh berlaku, kalau mau diperbaiki akan sangat lama lagi.
Maka dipilih menerbitkan Perppu. Itu karena tidak hanya dimaksudkan untuk jalan pintas. Juga untuk segera mengisi kekosongan hukum tersebut.
Syaratnya: Perppu itu harus segera disahkan oleh DPR. Kalau ditolak akan terjadi kekosongan UU lagi. Kalau DPR menyetujuinya jadilah Perppu itu UU. Selesai.
Tapi tidak bisa selesai.
Pemerintah sudah mengirimkan Perppu itu ke DPR. Untuk segera dibahas di masa persidangan berikutnya. Masa persidangan yang dimaksud adalah antara tanggal 2 Januari sampai 15 Februari 2023. Masa persidangan itu hanya 1,5 bulan. Tanggal 16 Februari, DPR sudah memasuki masa reses.
Sampai masa reses tiba pengesahan Perppu belum terjadi. Heboh.
Orang seperti Prof Dr Denny Indrayana berpendapat itu sama dengan DPR telah menolak Perppu tersebut. Pendapat Denny itu beredar luas. Banyak juga pendukungnya.
Tentu banyak juga yang berbeda pendapat: DPR dianggap belum menolaknya. Hanya belum menyetujuinya. Bahkan ada yang bilang pada dasarnya DPR sudah menyetujuinya.
Sebenarnya bagaimanakah perjalanan Perppu itu?
Yang jelas pemerintah sudah memasukkan Perppu itu ke DPR. Memang kurang cepat. Sudah di tengah-tengah masa persidangan. Atau agak di akhir. Mengapa tidak sebelum masa persidangan.
Lalu mengapa Perppu tersebut tidak segera dibahas di DPR? Bukankah bisa segera dibahas dengan cara yang sama dengan ketika membahas UU Cipta Kerja dulu? Secara kilat? Bukankah pasti lolos? Lewat pemungutan suara?
Di sinilah misteri terbesarnya.
Saya pun menghubungi empat orang anggota DPR. Dari partai yang berbeda. Saya ingin tahu ada misteri apa sebenarnya.
"Jangan wawancara saya. Ini sensitif sekali," ujar salah satu dari mereka. "Saya bisa kena semprit pimpinan," tambah yang lain.
Begitu Perppu kiriman pemerintah tersebut diterima DPR, sebenarnya sudah langsung diserahkan ke Badan Musayawarah (Bamus). Itulah ''inti'' DPR. Bamus itu seperti ummul kitab-nya DPR. Pimpinan DPR dan semua pimpinan fraksi ada di Bamus. Bamus itu dianggap sebagai lembaga tertinggi setelah Pleno.
Setelah membahasnya Bamus lantas menyerahkan Perppu tersebut ke Badan Legislatif (Baleg). Begitulah memang prosedurnya.
Ternyata Baleg juga sudah membahas Perppu tersebut. Bahkan sudah membuat keputusan. Cepat. Pakai pemungutan suara. Tujuh fraksi menerima, dua fraksi menolak (Demokrat dan PKS).
Apakah keputusan di Baleg itu bisa dianggap bahwa DPR sudah mengesahkannya?
Ada yang berpendapat demikian. Prof Denny menganggap tidak demikian: persetujuan DPR tidak sama dengan persetujuan Baleg. Persetujuan DPR harus diputuskan di sidang pleno.
Baleg juga tahu itu. Maka setelah menyetujui Perppu tersebut Baleg mengirimkannya kembali ke Bamus. Maksudnya: agar Bamus segera mengagendakan sidang pleno DPR. Hanya Bamus yang bisa minta diadakan sidang pleno DPR. Baleg tidak punya wewenang itu.
Mengapa tidak segera dilaksanakan sidang pleno? Pun, kalau perlu, pada tanggal 15 Februari 2023 pukul 23.59?
Spekulasi begitu banyak soal mengapa. Mengapa. Mengapa. Ini bisa memicu ketegangan antar partai koalisi.
Sayangnya saya tidak berhasil memperoleh tanggal-tanggalnya berikut jam-jamnya: kapan Baleg mengirim ke Bamus dan kapan Bamus menerimanya. Apakah masih ada waktu untuk menyelenggarakan pleno atau tidak.
Tanggal-tanggal tersebut kini menjadi sensitif. Dari tanggal-tanggal itu bisa diketahui di mana misteri.
BERITA TERKAIT: