Hal ini disampaikan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat, usai Pelatihan Hak Kerja Perempuan, Senin (19/12).
Bahkan, kata dia, Pemerintah Indonesia belum ada niatan merevisi Undang-undang (UU) Cipta Kerja tahun 2020. Karena itu, dia berharap aturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) perlu segera diterbitkan.
"Ini revisi diberikan waktu dua tahun, pada 2023 itu sudah masuk, tetapi belum kita lihat ada tanda-tanda revisi," kata Mirah, dikutip
Kantor Berita RMOLAceh.
Mirah berharap, jika Perppu nantinya diterbitkan, jangan sampai mencekik para pekerja. Menurutnya, selama ini aturan yang lahir dan diterbitkan tidak memanusiakan pekerja.
"Jangan nanti sama kayak UU Cipta Kerja, itu sama saja bohong," ujar dia.
Di sisi lain, Mirah meminta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah supaya revisi UU Cipta Kerja nanti dapat mensejahterakan rakyat.
“Para Parlok yang di parlemen kita minta juga untuk berpartisipasi untuk mendorong pemerintah," sebut dia.
Mirah menilai, ada beberapa bagian dari UU Cipta Kerja menjadi kontroversi. Salah satunya adalah UU tersebut mempermudah perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Sebab dulu ada keterlibatan penegakan hukum, seperti putusan pengadilan dalam melakukan PHK.
UU Cipta Kerja, kata Mirah, memberikan kebebasan bagi para tenaga asing. Misalnya adanya penghapusan syarat bahasa Indonesia bagi para tenaga asing.
"UU sebelumnya saja mengharuskan tenaga asing untuk wajib berbahasa Indonesia, sekarang sudah tidak lagi,†kata dia. “Dan skill atau kemampuannya juga tidak tinggi, bahkan gaji mereka misalnya security dan security warga Indonesia, lebih besar mereka.â€
BERITA TERKAIT: