Penelitian menyebut masyarakat Indonesia menghabiskan waktu dengan internet setidaknya 8 jam 30 menit dalam sehari. Bila kita kurangi dengan waktu tidur kita yang rata-rata 8 jam, maka hanya tersisa 7 setengah jam waktu sadar kita menghadapi dunia nyata seperti berinteraksi dengan manusia lain, bekerja, dan aktivitas nondigital lainnya.
Hari ini kita tidak sedang berperang melawan agresi dengan daya tempur senjata militer, kita justru bertempur dengan pikiran sendiri.
Bayangkan dalam multisektor internet yang tidak hanya menghadirkan keakraban informasi, tapi juga ruang berekspresi semakin majemuk hingga tidak ada satu pun dari kita yang hidup pada ekologi modernis ini tidak terkena dampak media sosial.
Padahal jika kita bijaksana misalnya memosisikan media sosial sama dengan narkoba, rasanya sangat logis. Dengan pemicu candu nomor satu yang bahkan penggunanya tidak sadar bahwa dirinya telah dikuras secara tenaga, pikiran bahkan materi untuk membeli kuota, misalnya. Dan hari ini muncul masalah serius seperti anak muda darurat
mental illness.
Tentu bila kita ingin lagi-lagi bijaksana dalam hal ini, rasanya logis jika kita memosisikan sosial media sebagai faktor utama penyebab berbagai gejala
mental illness seperti
insecurity, anxiety, hingga
over expectations.
Tidak hanya kesehatan mental yang terganggu, efek yang lebih fundamental dari sosial media yang tidak kita sadari justru muncul menjelma sebagai gaya hidup yang biasa kita jalani seperti kecenderungan dalam bersikap, keputusan hingga standar hidup diakui atau tidak merupakan hasil dari algoritma media masa.
Dari algoritma media ini akan muncul rekomendasi konten hingga rekomendasi barang belanjaan yang hinggap di akun toko
online. Hasilnya? Kita jadi korban atau bahkan pelaku hedonis, sumbu pendek, framing, bahkan hoaks.
Permasalahannya semakin komplikasi kala kita tidak tahu mana yang benar mana yang salah, mana yang baik dan mana yang benar. Dan ini akibat dari biasnya media hingga arus
post truth dan
hipper realitas yang semakin deras belakangan ini.
Jika kita menengok hoaks hari kiamat 2012 misalnya, masyarakat tidak lagi peduli tentang benar salah terlebih media barat, justru memanfaatkan atensi masyarakat untuk dunia intertain, membuat film misalnya.
Atau kita coba menengok arus viralitas melalui sosial media di tanah air, rasa nya semakin lama semakin besar frekuensinya hingga setidaknya dalam setahun menghasilkan puluhan produk media yang viral dalam bentuk nyanyian, tarian hingga hanya sekedar kata-kata.
Contoh yang viral saat ini dari nyanyian dari sebagian syair lagu dari band yang telah lama hiatus yakni The Jonas Monkey yang berbunyi "begitu syulit..." Yang kembali diviralkan oleh seorang konten kreator yang sebetulnya tidak terkenal sebelumnya, atau yang masih sangat hangat misalnya, parodi Dilan yang diperankan Alif Cepmenk lewat kata-kata pamungkasnya "kamu nanya?" Dengan nada khasnya.
Mari kita lihat antusias masyarakat menyambut arus viralitas yang sangat tidak merepresentasikan bangsa maju. Dan memang sungguh masyarakat kita sangat menyambut meriah hingga turut menjadi korban keviralan ini atau bahkan pelaku yang juga turut menyiarkan konten yang sangat tidak penting. Mudah sekali rasanya menghancurkan bangsa saat ini, hancurkan saja lewat media, mereka tidak sadar sedang dibodohi.
Atau penulis coba mengajak pembaca refleksi sejenak terkait beberapa peristiwa pemberitaan media yang terkesan framing, standar ganda bahkan cenderung
trial by the press atau "peradilan oleh media massa".
Ada dua kasus setidaknya yang mewakili dalam hal ini. Pertama bagaimana cara kerja
Tempo memberitakan kasus ACT yang viral pada Juli lalu, kasus itu viral setelah
Tempo membeberkan petinggi ACT bergaji paling sedikit 250 juta.
Beberapa hari setelah berita itu viral, ramai-ramai ACT dihakimi dengan statment "makan duit umat", "uangnya mengalir untuk teroris" atau penghakiman negatif ekstrem lainnya. Tidak hanya itu, surat izin juga di cabut, dikuliti ramai-ramai oleh PPATK, Densus hingga bahkan BNPT.
Padahal selama data tersebut masih dinamis, seharusnya upaya penghakiman tidak boleh dilakukan. Kita masih bisa mencari data dari sumber lain atau bahkan memperdebatkan.
Maka inilah yang disebut
trial by the press, penghakiman media massa dengan memanfaatkan opini publik dengan bentuk yang majemuk, salah satunya produk investigasi jurnalistik yang juga dilakukan oleh
Tempo kala itu.
Mari kita bandingkan dengan Pertamina misalnya, yang gaji petinggi mencapai Rp 37 miliar, dan di saat yang sama terjadi kerugian yang cukup besar hingga mencapai RP 11 triliun. Sampai saat ini belum ada media yang berani menyoroti.
Anehnya di saat yang sama, pemerintah seperti
hipperworks kala tahu ACT terduga penggelapan dana yang masih dalam tahap investigasi kala itu. 60 rekeningnya ditahan bahkan sampai dibubarkan.
Mirisnya, itu tidak terjadi pada parpol yang dinilai sebagai sarang koruptor, parpolnya bisa jadi masih optimis mendapatkan elektabilitas tinggi, bahkan berwacana ingin tiga periode.
Selanjutnya kasus pemaksaan hijab dan pelarangan hijab. Dua kasus ini menarik untuk kita bandingkan. Pada Juli lalu siswi SD di Gunung Sitoli menangis karena tidak diperbolehkan berhijab dengan alasan keberagaman, dan yang kedua yakni siswi SMA Negeri di Sragen yang mengaku dipaksa berhijab hingga menuai ancaman pecat dari Pak Ganjar, Gubernur Jawa Tengah.
Namun politisasi berita terkait pemaksaan hijab justru lebih digandrungi ketimbang yang sebaliknya. Padahal jika kita dalami, larangan hijab pada kasus pertama itu dilakukan oleh kepsek nonmuslim yang lucunya beralasan keberagaman, sedangkan di kasus kedua siswi muslimah tersebut dipaksa menggunakan hijab oleh guru muslim.
Seharusnya dari sini kita bisa menilai bagaimana cara media menggiring opini publik. Padahal seharusnya pemaksaan hijab oleh seorang guru muslim terhadap siswi muslimahnya lebih bisa diterima karena mereka berdua bertuhan yang sama dan berkitab yang sama. Secara logika yang disalahkan mungkin dari tindakan koersif guru sehingga membuat siswinya tidak mengindahkan perintah Tuhannya.
Ketimbang sebaliknya, siswi muslimah dilarang menggunakan hijab oleh kepseknya yang nonmuslim. Pasalnya tidak ada yang lantas mengancam kepseknya pecat, misalnya atau bahkan kecaman 'intoleran' dari berbagai pihak.
Sehingga seolah media tendensius pada pihak tertentu, dalam hal ini umat islam. Mari kita lihat sebetulnya polanya mirip, dari kasus ACT yang kala itu memang organisasi filantropi berbasis agama, dan juga kasus mengenai hijab yang sebetulnya sudah sering menjadi bahan framing buruk syariat Islam.
Media lebih suka mencari kambing hitam, mendikte publik untuk menuding satu pihak, menghakimi bahkan menjadikan data investigasi adalah tuhan yang maha benar.
Bila kita tidak bijaksana menghadapi deras nya peperangan media dan digital maka esok lusa kita hanya akan menjadi korban bahkan pelaku dari semua kebohongan media yang menginvasi umat.
Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: