Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Nikah Beda Agama Senggol Toleransi: Dalih atau Penyimpangan?

OLEH: DIAN FITRIANI*

Selasa, 22 Maret 2022, 16:56 WIB
Nikah Beda Agama Senggol Toleransi: Dalih atau Penyimpangan?
Foto pernikahan beda agaa di Semarang yang viral di media sosial/Repro
"Perbedaan itu menyatukan, bukan memisahkan," ujar Nurcholish diunggahan media sosialnya, seorang konselor nikah beda agama yang tercatat menikahkan pasangan setidaknya mencapai 1424 pasangan beda agama.

Cerita suksesnya dalam menikahkan pasangan beda agama ini pun viral di sosial media pada awal Maret 2022, terlihat unggahan foto sepasang pengantin yang menikah di Gereja St. Ignatius Krapyak, Semarang.

Tampak kontras pengantin wanita mengenakan kerudung sebagai identitas muslimah. Disusul oleh Staf Khusus Presiden, Ayu Kartika Dewi pada tanggal 18 Maret 2022 yang menggelar pernikahan beda agama.

Pernikahan tersebut dilakukan dengan dua cara, yakni ijab qabul dan pemberkatan di Gereja Katedral Jakarta.

Tentu saja hal ini memicu polemik di tengah masyarakat, mereka yang pro tentu saja menjadikan dalil toleransi beragama sebagai penyebab afirmasi dalam membangun rumah tangga dengan pasangan beda agama.

Hal ini pun dibantah oleh pihak kontra yang tentu saja berpotensi penyimpangan praktik agama, terlebih apabila yang menikah beda agama adalah pasangan muslim-non muslim. Pasalnya dalam Islam, menikah adalah ibadah sehingga tentu saja pernikahan bukan saja akses untuk merealisasikan cinta, tapi juga bagaimana sepasang insan dapat merumuskan visi surga mereka agar kelak dapat bersatu di hadapan-Nya.
 
Menanggapi dua pernikahan beda agama yang terjadi beberapa waktu terakhir, sebetulnya memberikan implikasi terkait dengan miskonsepsi masyarakat terhadap toleransi beragama. Miskonsepsi ditengarai adanya pemaksaan terhadap konsep menyatukan perbedaan dengan satu wadah yang bernama toleransi yang justru menimbulkan paradoks pada praktiknya.

Sebagai contoh pada kasus pernikahan beda agama, dalam Islam, pernikahan beda agama dilarang, sebab syarat sah pernikahan bukan saja hanya terletak pada terpenuhinya perangkat dalam menyempurnakan teknis pernikahan tersebut seperti saksi, wali khususnya calon pengantin perempuan, dan tidak sedang menjalani ibadah haji, melainkan juga terletak pada keyakinan/agama calon pengantin yang menjadi indikasi tidak adanya paksaan dalam praktik menikah.

Bila dikatakan bahwa toleransi adalah tanpa paksaan dan cara bagaimana kita saling menghormati dalam ruang lingkup multikultural, maka seharusnya yang patut dipertanyakan mengapa umat Islam yang secara syariat dilarang menikah beda agama lantas dipaksa untuk melakukan penyimpangan agama lewat praktik menikah beda agama demi mendapatkan gelar toleran?

Lalu apa esensi dari toleransi bila justru seseorang dipaksa melakukan hal yang melanggar keyakinannya demi merasionalisasikan cinta dan perasaan, atau sekadar memenuhi standar toleransi yang dapat dikatakan terkesan memaksakan. Hal inilah yang justru dinilai paradoks, sehingga keluar dari hakikat toleransi itu sendiri.
 
Secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa latin yaitu tolerare berarti sabar dan menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi merupakan sikap saling menghormati, menghargai, menyampaikan pendapat, kepercayaan, pandangan terhadap sesama manusia yang pada dasarnya bertentangan dengan diri sendiri.

Bersabar dalam konteks toleransi adalah mencoba menahan diri terhadap sesuatu yang ia pegang teguh agar kemudian menghindari daripadanya konflik akibat perbedaan juga bersabar agar ia tetap ada pada keyakinan yang ia pegang teguh. Namun pada praktisnya, masyarakat justru jauh dari hakikat toleransi.

Toleransi justru hanyalah alat untuk mencapai kepuasan ego dan hasrat semata, dalam persoalan jalinan asmara beda agama, kegagalan pemahaman toleransi justru membawa mereka jatuh ke dasar jurang penyimpangan yang sebenarnya.

Mereka berpikir dengan menjalin hubungan lawan jenis berbeda agama bahkan hingga menikah akan dapat menyatukan dua perbedaan antara dua insan yang saling mencintai dan tumbuhlah keakraban beragama. Padahal tentu saja dalam hal ini tidak lantas menghindari persoalan keyakinan dalam proses menjalani bahtera rumah tangga.

Dalam hal mendasar misal, tentang salam, ruangan ibadah di dalam rumah, kemudian dalam Islam hak dan kewajiban istri terhadap suami dan sebaliknya yang diatur dalam Qur'an dan Hadits, tentu saja akan tidak berlaku jika yang menjalani hanyalah sepihak saja. Istri atau suaminya saja misal, ini pun akan berpotensi adanya penyimpangan praktik agama.
 
Dalam Islam, hubungan suami istri yang berbeda agama bahkan akan dianggap sebagai zina, konsekuensi anak yang dihasilkan dari perzinaan adalah tidak mendapatkan nasab dari ayahnya. Hal ini pun dikhawatirkan akan ditimbulkan apabila menikah beda agama.

Sebagaimana hadist :
 Ù‚َالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ )رواه البخاري ومسلم

Artinya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati).” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
 
Dampak dari peniadaan nasab tentu saja dihapusnya dari ahli waris, padahal anak kandung baik laki-laki maupun perempuan memiliki bagian dari hak waris. Namun akibat dari pernikahan beda agama akan menyebabkan rusaknya nasab sang anak.

Inilah akibat dari salah kaprahnya toleransi yang merambat pada legalisasi nikah beda agama. Bayangkan, dengan suksesnya Nurcholish dalam menikahkan 1424 pasangan beda agama, maka setidaknya ada 2848 orang yang tidak patuh dan taat terhadap aturan agamanya.

Terlebih jika lahir daripada pasangannya anak-anak yang kemudian berdampak pada keyakinan anak-anak mereka, terlebih bagi pasangan berbeda agama tersebut adalah muslim-non muslim. Dengan deretan syariat Islam yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari, maka hal ini akan menganggu ritual spiritual mereka.
 
Tak hanya dalam Islam, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menolak legalisasi pernikahan beda agama. Menurut ajaran Hindu yang dianut di Indonesia, pernikahan antara pasangan suami istri berbeda agama tidak sah dan selamanya dianggap melakukan zina.

Anggota Dewan Pakar PHDI, I Nengah menjelaskan, dalam ajaran Hindu perkawinan merupakan satu dari empat jenjang kehidupan manusia di dunia. Perkawinan merupakan bentuk kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.

Karena itu, kehidupan berumah tangga harus dijalankan melalui proses keagamaan dengan rangkaian yang sakral. Ajaran Hindu menurutnya mengatur syarat-syarat umatnya sebelum melakukan perkawinan. Seperti syarat usia, kesepakatan orang tua, kesamaan dasar keyakinan, dan persyaratan dari petinggi agama.

Maka ironis jika masyarakat masih menjadikan pernikahan beda agama sebagai salah satu praktik toleransi beragama. Padahal agama adalah cara seseorang dalam menjalani kehidupan sehari-hari, agama adalah keyakinan yang bukan saja mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, juga mengatur hubungan dengan Tuhan.

Definisi surga dan neraka menurut masing-masing agama tentu saja berbeda maka seharusnya ini menjadi indikator penting terkait dengan visi menikah setiap pasangan. Sebab agama pada irisannya tidak akan pernah bisa terpisahkan oleh kehidupan.
 
Di balik isu toleransi yang sebetulnya sejak lama disurakan oleh pihak-pihak yang bisa dikatakan tidak memahami secara mendalam makna toleransi ini sebetulnya tidak semata-mata bertujuan demi perdamaian antar agama, melainkan ada proyek sekulerisme liberalisme yang masuk menyelinap mereduksi ajaran agama, khususnya agama Islam.

Pasalnya agama Islam bukanlah hanya sebagai keyakinan yang manusia dalam ritual spiritual saja melainkan mengurusi perihal yang berbasis multidimensi seperti ekonomi, sosial, politik dan berbagai aturan lainnya yang berkenaan dalam pengaturan kehidupan bernegara.

Inti dari nilai-nilai yang sekulerisme anut adalah penolakan agama dalam sendi-sendi kehidupan, agama hanya berfungsi sebagai instrumen kehidupan individu semata, sehingga pelaksanaannya agama akan dilarang mencampuri urusan kehidupan bernegara. Pandangan ini berpotensi adanya legalisasi pernikahan beda agama dengan dalil toleransi.

Menurut sekulerisme, toleransi justru akan tercapai jika tidak adanya agama yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang plural. Semisal apabila kita menolak menikah beda agama, maka akan dikatakan intoleran atau bahkan Radikal.

Maka kelompok sekulerisme inilah yang gencar berkoar-koar soal toleransi yang sebetulnya pada praktiknya sangat paradoks dan berpotensi mendiskreditkan ajaran agama Islam.
 
Kemudian kelompok liberalisme, bila menelisik pada pandangan barat, maka lahirlah hak asasi manusia dari rahim liberalisme. Hak asasi manusia justru dijadikan perisai bagi siapa saja yang perbuatannya dinilai menyalahi moral dan etika, bahkan menyimpang dari agama.

Kelompok ini akan berperan dalam pandangannya terhadap kebebasan beragama pun imbasnya kebebasan dalam praktik agama, sehingga tak heran kelompok ini pula yang menjadikan kebebasan sebagai penolakan penerapan syariat Islam.

Sebagai contoh kasus pernikahan beda agama yang ilegal dalam Islam. Kemudian mereka pun menjadikan hak sebagai dasar dalam berbuat segala sesuatu meski tak ayal justru perbuatannya malah melanggar hak orang lain.

Miris memang, apabila menyoal toleransi dengan standar ganda yang begitu menguras hati, maka banyaknya inkonsistensi terjadi. Ketika di awal dijelaskan bahwa toleransi adalah bersabar akan keyakinan dirinya dan keyakinan orang lain yang berbeda, maka tentu seharusnya pada pelaksanaannya dapat dipastikan tanpa adanya protes, apalagi pemaksaan dengan dalil cinta.

Namun pada realitanya ini justru menyalahi makna toleransi itu sendiri. Inilah yang kemudian dapat dipastikan adanya proyek sekulerisme dan liberalisme dalam menyoal soal toleransi yang selalu menyudutkan segolongan pihak, katakanlah umat Islam.
 
Dengan demikian, jelas ada peran yang bermain di balik koar-koar toleransi, yang sebetulnya pada idealismenya tidak tertuju pada terwujudnya keakraban kehidupan beragama, namun masuknya paham pluralisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang mendasar pada aqidah.
 
Wallahu A'lam bi sowab. rmol news logo article

*Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA