Sialnya, para
buzzer itu bagian dari armada racun yang berlindung di balik dinding kekuasaan.
(Dewi) keadilan, yang merupakan urutan pertama dari cita-cita kemerdekaan sebelum kemakmuran, terperosok dalam gorong-gorong kegelapan.
Pengadilan menjadi arena pertunjukan yang membosankan, karena jaksa dan hakim menjadi badut-badut sirkus yang jumpalitan di atas tali kekuasaan.
Di tengah kegentingan yang menggusarkan rakyat, para penyelenggara negara asyik-masyuk bersama induk semangnya, partai politik. Mereka sibuk memperpanjang tali kendali kekuasaan.
Ada yang mengutak-atik masa jabatan, ada juga yang menggali jebakan
presidential threshold (20%) agar para penantang baru yang lebih berpihak kepada rakyat tak bisa lewat.
Persoalan kebangsaan yang kompleks ini tentunya sudah dilihat dengan jelas oleh generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa. Tak ada bayangan lapangan kerja, pun cercahan cahaya masa depan.
“Generasi muda, para mahasiswa itu punya hak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik. Jika negara tidak menyediakan, maka mereka sebagai anak bangsa punya hak untuk menentukan masa depannya,†kata budayawan sekaligus aktivis pergerakan, Adhie M Massardi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis malam (7/10).
Bagi Adhie Massardi, demokrasi kini tak bisa lagi dijadikan tangga naik kelas sosial lantaran anak tangganya sudah dipreteli para politisi korup.
Di seluruh dunia, kata dia, mahasiswa masih menggunakan cara berunjuk rasa dalam menata masa depannya. Demonstrasi menjadi cara untuk membuat lubang demi seberkas cahaya masa depan.
“Tapi kenapa di sini, di era rezim Joko Widodo yang sudah berada dalam habitat demokrasi ini, demonstrasi mahasiswa ditembaki, dengan peluru tajam pula?†tanya Adhie.
Hal itu ia ungkapkan berkaitan dengan tragedi tewasnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari, Randi (21) dan Yusuf Kardawi (19) lantaran ditembak aparat negara bersenjata akhir September 2019 lalu.
Untuk mengenang Randi dan Yusuf, mantan Jurubicara Presiden Gus Dur ini pun menuliskan sajak "Mahasiswa Ditembak Lagi", dengan harapan agar kejadian serupa tak terulang.
“Jangan tembaki lagi dengan peluru tajam mahasiswa yang unjuk rasa. Mereka hanya ingin menata masa depan yang lebih baik," demikian Adhie Massardi.
Inilah puisi Adhie M Massardi untuk mengenang dua mahasiswa Kendari yang namanya diabadikan sebagai nama auditorium di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2019 silam.
MAHASISWA DITEMBAK LAGI
*) Mengenang Yusuf, Randi dan semua pejuang muda yang ditembak mati
Suara itu
Suara itu memecah harapan yang sunyi
Timah panas yang dibakar nafsu kekuasaan
Melesat dari moncong laras kesombongan
Mahasiswa
Seorang mahasiswa yang canggung natap masa depan
Terjengkang di antara selangkang siang
Pelor itu mengoyak-moyak cita-cita yang terpendam
di dadanya
Satu lagi
Ya, satu lagi anak bangsa rubuh bergenang darah
Seorang ibu lunglai terkoyak luka jiwanya
Doa yang setiap malam dilafalkan mencair dalam kabut
Darah!
Pohon kekuasaan yang angker terus disiram darah
Bau anyir istana oligarki mencemari langit
Awan ungu sudah enggan menjadi hujan
Orang-orang lalu bertanya, “Ini dosa siapa?â€
Anak-anak itu
Saya melihat anak-anak itu hanya ingin menata masa depan
Munguti bebatuan yang ngotori jalan harapan
Dilemparkan ke arah orang-orang bersenjata itu
yang nutupi masuknya cahaya
Politik
Politik bukan lagi generator yang ngalirkan listrik
kesadaran publik
Yang nyalakan lampu kehidupan ketika lorong keadilan menggelap
Itu sebabnya, menurut saya, anak-anak kemudian bergerak
Sampai kapan anak-anak harus menyisir jalan
Membersihkan batu kekuasaan
Yang ngotori jalan masa depan
Menutup semua harapan?AMM: September 2021.
BERITA TERKAIT: