Adalah pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang dengan terang-terangan mengecam rencana anggaran pembelian alutsista tersebut, yang menurut rencana akan dihabiskan sampai tahun 2024.
Connie juga mengaitkan hal itu dengan mafia pembelian senjata yang merajalela selama ini, sehingga melahirkan spekulasi bahwa anggaran itu akan menjadi bancakan politik untuk Pilpres 2024.
Berbagai pengamat lainnya, seperti Prof. Didiek J. Rachbini dari Indef dan Universitas Paramadina mengecam rencana anggaran ini karena dianggap bukan atau setidaknya belum prioritas. Menurutnya, yang seharusnya menjadi prioritas saat ini adalah sektor kesehatan khususnya penanggulangan pandemi Covid-19 termasuk anggaran bantuan sosial.
Belum lagi, anggaran fantastis itu menurut kabar yang berkembang akan diperoleh lewat skema utang luar negeri.
Tesis Prabowo tentang pertahanan negara sebenarnya sudah diketahui publik dalam debat di arena Pilpres 2019 lalu, ketika ia menantang Joko Widodo.
Dalam salah satu debat, Jokowi mengatakan dirinya tidak melihat potensi ancaman nyata terhadap Indonesia dalam waktu dekat dan menengah.
Sebalik, Prabowo mengatakan bahwa ancaman itu sangat nyata. Prabowo menyinggung kondisi alutsista yang banyak di antaranya sudah tua, dari pembelian era 1960an dan 1970an. Dia menggarisbawahi, pembaharuan alutsista mutlak dilakukan, disertai dengan penaikan anggaran pertahanan.
Di akhir pertarungan, Prabowo bersedia bergabung dengan pemerintahan Jokowi dan mendapatkan portofolio Kementerian Pertahanan.
Keputusan Jokowi mengajak Prabowo dalam pemerintahannya, terlebih memberikan pos Menhan, dapat dilihat sebagai kesediaan Jokowi mengadopsi tesis Prabowo mengenai sektor pertahanan tersebut.
Sehingga, dapat dipahami pula wila pada gilirannya Jokowi memberikan kepercayaan pada Prabowo untuk menyusun rencana modernisasi alutsista, termasuk memberikan ruang yang cukup besar dalam formasi APBN.
Kini pertanyaannya adalah, mengapa masyarakat tidak menyambut baik rencana Prabowo ini? Apa yang salah?
Coba kita bandingkan dengan apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat dalam hal yang kurang lebih sama ini.
Baru saja Senat Amerika Serikat menyetujui anggaran senilai Rp 3.568,7 triliun atau 250 miliar dolar AS untuk mendukung riset dan industri semi konduktor selama lima tahun.
Anggaran ini di luar budget pertahanan sebesar 705 miliar dolar AS pada tahun 2021 ini.
Dalam voting, 68 persen anggota Senat memberikan dukungan. Ini mengisyaratkan bahwa terjadi realignment dukungan dari kedua kubu yang secara tradisional sering dipandang bermusuhan, Partai Demokrat dan Partai Republik.
Dalam keputusan politik Joe Biden meneruskan kebijakan Donald Trump telah pula dimasukkan secara terang-terangan respon yang diberikan AS dalam menjawab tantangan perang teknologi dari Republik Rakyat China (RRC). Di antaranya melarang kontraktor yang terkait menggunakan teknologi informasi RRC, seperti Huawei. Juga, melarang pejabat AS menggunakan akses teknologi informasi buatan RRC.
Selain untuk menguasai teknologi canggih semi konduktor dan informatika, keputusan Senat AS juga dapat dilihat sebagai bagian dari dukungan terhadap rencana penguatan sistem pertahanan Amerika mengingat teknologi ini terkait dengan “surveillance†dan “proxy warâ€.
Rencana anggaran di atas sangat jelas kegunaannya, yakni untuk menguasai teknologi semi konduktor. Sementara ancaman nyata yang didefinisikan adalah dominasi RRC dalam teknologi informasi abad 21 ini.
Kita kembali ke Indonesia.
Tentu saja kita memahami bahwa detail penggunaan anggaran pertahanan adalah rahasia yang harus dijaga ketat.
Perlu dipikirkan masak-masak, agar rencana anggaran sebesar Rp 1.700 triliun sampai tahun 2024 dapat diterima masyarakat luas sebagai sebua rencana yang solid dan dapat dipercaya penggunaannya.
Untuk itu, tentu berbagai pertanyaan yang sudah disinggung di awal harus dapat dijawab oleh Prabowo.
Prabowo misalnya, harus menjawab pertanyaan Connie Rahakundini Bakrie atas dua hal. Pertama, mengapa anggaran itu harus dihabiskan pada tahun 2024? Dan kedua, kenapa ada mafia bisnis alutsista?
Prabowo juga harus menjelaskan kembali definis ancaman nyata yang dimaksudnya.
Kemudian, Prabowo harus menjawab bagaimana urgensi anggaran pertahanan dikomparasikan dengan kebutuhan anggaran kesehatan dan sosial?
Rahasia anggaran pertahanan secara detail tentu memang wilayah strategis yang mesti dirahasiakan. Namun, pertanyaan yang muncul bukan mengenai detail anggaran. Melainkan mengenai hal yang jauh lebih prinsipal.
Pertanyaan Connie secara prinsip menantang kejelasan definisi ancaman strategis, efisiensi anggaran dan “national interested versus (personal) vested interest†menjelang Pilpres 2024.
Apalagi jika dikaitkan dengan jejak mantan menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang tengah berurusan dengan hukum karena kasus korupsi.
Di sinilah tantangan besar bagi Prabowo Subianto.
Agar menjadi jelas. Ini tidak bermaksud menghalangi langkah kuda Prabowo di tahun 2024. Namun tentang kejujuran agar rencana Prabowo membangun alutsista negara dapat diterima rakyat.
BERITA TERKAIT: