Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengintegrasikan Kembali Sain Dan Teknologi Dengan Nilai-nilai Islam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Kamis, 17 September 2020, 16:02 WIB
Mengintegrasikan Kembali Sain Dan Teknologi Dengan Nilai-nilai Islam
Dr. Muhammad Najib/Rep
DALAM Al Qur'an (Surah Ali Imran: 190), Allah menyatakan: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.

Sedangkan dalam (Surah Al Ghasyiyah: 17-20), Allah menyatakan: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, serta bumi bagaimana ia dihamparkan.

Selain itu, banyak lagi ayat-ayat yang diakhiri dengan pernyataan menggugah, seperti: "Afala ta'kilun", apakah kalian tidak berakal ? atau "afala tatafakkarun", apakah kalian tidak berpikir?

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi akal dan fikiran manusia. Dengan demikian penggunaan akal dan pikiran memiliki posisi sangat penting dalam implementasi ajaran Islam.

Hal inilah yang menyebabkan pentingnya ilmu bagi umat Islam. Islam pada hakikatnya tidak membeda-bedakan antara ilmu dunia dan akhirat, bagi umat Islam semua ilmu bersumber dari Allah.

Meskipun sejumlah mufassirin sering memilah antara ilmu-ilmu yang bersumber dari Al Qur'an (ilmu-ilmu Qur'aniah) dan ilmu-ilmu yang harus digali dari ciptaan Allah (ilmu Qauniah), seperti ilmu geologi, fulkanologi, biologi, pertanian, astronomi, dan sebagainya.

Cara pandang beragama seperti inilah yang mengantarkan kemajuan dan kejayaan umat Islam di era Abbasiyah, yang mencapai puncak kejayaannya saat dipimpin oleh Khalifah Harun Al Rasyid, dan dilanjutkan putranya Al Makmun pada abad akhir abad ke-8 M.

Umat Islam memimpin dalam penguasaan sain dan teknologi, termasuk ilmu kedokteran dan astronomi. Pada masa inilah lahir ilmuwan-ilmuwan muslim yang terus dikenang sampai sekarang, seperti Al Khawami, Ibnu Rusyd, Ibnu Shina, Ibnu Haitham, dan lain-lain.

Bagdad dan Khordoba bukan saja megah secara fisik melampaui kota-kota di kawasan Eropa, akan tetapi juga gemerlap oleh banyaknya ilmuwan yang menguasai berbagai cabang ilmu dan terus berkarya di pusat-pusat pendidikan, pusat riset, dan berbagai laboratorium, sehingga berbagai temuannya dikenang sampai sekarang.

Keunggulan ini mendorong dunia ekonomi dan tumbuhnya industri yang melahirkan berbagai produk unggulan yang diperlukan umat manusia. Karena itu gaya hidup, selera makan, bentuk pakaian umat Islam ditiru dan diikuti oleh bangsa-bangsa lain. Hal inilah yang digambarkan oleh kisah 1001 malam, kisah Aladin, atau Abu Nawas.

Saat itu, Amerika dan Australia belum ada, sedangkan Eropa hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Karena itulah bangsa Eropa menyebut era ini sebagai masa kegelapan. Pemuda-pemuda Eropa belajar ilmu sain, teknologi, ekonomi, maupun ilmu sosial ke Khordoba dan Bagdad.

Setelah kembali ke negrinya, mereka inilah yang menjadi pelopor menentang gereja yang dinilainya sebagai penghambat kemajuan Barat. Gerakan anti agama ini kemudian dikenal sebagai pembawa ideologi Sekularisme, yang pada puncaknya berbentuk revolusi industri di Inggris pada tahun 1760, dan revolusi politik atau pemerintahan di Perancis tahun 1789. Peristiwa ini menandai awal kebangkitan Barat yang terus berkembang sampai sekarang.

Pertanyaannya kemudian mengapa umat Islam mengalami kejumudan, yang mengakibatkannya kemudian bukan saja disalip oleh Barat yang dulu menjadi muridnya. Lebih dari itu negara-negara Islam kemudian dikalahkan dan dijajah negara-negara Barat selama ratusan tahun.

Salah satu thesis yang menarik menyatakan, bahwa saat dalam masa kejayaannya umat Islam bergelimang harta dan hidup dalam kemewahan bendawi. Dalam situasi seperti ini muncul keprihatinan dan kekhawatiran sejumlah ulama, kalau-kalau umat Islam dan para pemimpinnya semakin jauh dari urusan akhirat. Salah satu ulama yang sangat menonjol bernama Imam Ghazali.

Para ulama ini kemudian mengembangkan sufisme dan mistisisme yang lebih menawarkan kebahagiaan bathin dibanding materi, memilih hidup bersahaja dibanding bergelimang harta, dan mengejar akhirat dibanding dunia.

Kini saatnya umat Islam untuk kembali menekuni sain dan teknologi, agar perhatian kita seimbang antara urusan dunia dan akhirat, atau antara urusan material dan spiritual.

Tahun 1970-an seorang cendekiawan Muslim bernama Syed M. Naguib Al Attas mendengungkan istilah Islamisasi Ilmu. Ia kemudian mendirikan International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur, Malaysia.

Tahun 1981, di Virginia, Amerika, didirikan International Institute of Islamic Thought  (IIIT) yang dipelopori oleh para imigran cendekiawan yang berasal dari berbagai negara Muslim yang belajar di Amerika dan Canada.

Upaya ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari Tajdid di bidang politik yang dimulai oleh Jamaluddin Al Afghani dan muridnya Muhammad Abduh, kemudian dilanjutkan dengan tajdid di bidang pendidikan midern oleh Rasyid Ridha.

Tajdid dalam masalah sain dan teknologi di Indonesia sudah dimulai oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia  (ICMI) yang dimotori oleh B.J.Habibie.

Sayang di dunia Islam, khususnya di dunia Arab belum mendapatkan respon yang memadai. Padahal di sinilah rahasia kemajuan ekonomi dan militer sebuah negara modern yang akan bermuara pada keunggulan di bidang politik. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA