Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Covid-19 Dan Ujian Seorang Pemimpin

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/trias-kuncahyono-5'>TRIAS KUNCAHYONO</a>
OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
  • Sabtu, 30 Mei 2020, 16:15 WIB
Covid-19 Dan Ujian Seorang Pemimpin
Ilustrasi pemimpin/Net
FUNGSI paling mendasar dari sebuah pemerintahan adalah untuk menjaga rakyatnya tetap aman; aman dari berbagai macam bahaya. Misalnya, bahaya kelaparan, bahaya kebodohan, bahaya serangan teroris, bahaya banjir, dan berbagai macam bahaya yang mengancam ketentraman dan jiwanya. Tentu, di sini termasuk aman dari ancaman penyakit yang mematikan. Dari sinilah pemerintah memperoleh otoritasnya; memperoleh kepercayaan dari rakyat dan mendapatkan legitimasinya.

Dan, ternyata pandemi Covid-19 ini mampu membongkar, menelanjangi pemerintahan di banyak negara dalam banyak bidang. Misalnya mengungkap kelemahan mulai dari tata-kelola kesehatan masyarakat hingga perlindungan keselamatan bagi para pekerja; juga menyangkut masalah jaminan kesejahteraan rakyat, bahkan sampai pada degradasi lingkungan.

Pandemik Covid-19 juga telah mampu memotret secara detail tentang bagaimana para pemimpin negara menghadapi pandemi Covid-19. Ada pemimpin negara yang menganggap pandemi Covid-19 hanyalah sekadar “flu biasa” atau istilahnya “little flu”. Itulah sikap meremehkan yang ditunjukkan oleh Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang mengidolakan Donald Trump.

Padahal, menurut berita BBC News tanggal 14 Mei lalu, korban Covid-19 di Brasil tercatat 233.142 orang (di bawah AS, Rusia, dan Inggris), dan jumlah yang meninggal 15.633 orang. Seminggu lalu, jumlah orang yang meninggal adalah kelima terbanyak di dunia! Dan, Bolsonaro tetap “belum sadar” betapa bahayanya Covid-19.

Sama dengan idolanya, Donald Trump yang menganggap enteng pandemik Covid-19. Ketika pandemik Covid-19 telah menyebar ke seluruh dunia,  Trump berkali-kali mengulangi ucapannya bagaikan mantra: Itu akan hilang. Sejak Februari Trump mengatakan virus itu akan “hilang” setidaknya 15 kali, paling akhir 15 Mei lalu. “Suatu hari akan menghilang,” katanya pada 27 Februari. “Ini seperti keajaiban” (CNN. 21/5).

Padahal sudah lebih dari 1,5 juta rakyatnya menjadi korban Covid-19 dan lebih dari 95 ribu meninggal dunia sampai hari Jumat (22/5). Menurut The New York Times, Rabu (26/6) korban tewas, 98.100 orang.

Trump malah membuat pernyataan tak masuk akal berkait dengan banyaknya korban Covid-19 di negerinya dan AS menduduki peringkat pertama. Ia mengatakan bahwa hal itu sebagai “lencana kehormatan” bagi AS karena menunjukkan bahwa AS telah melakukan banyak pengujian. Bolsonaro tak jauh berbeda, menanggapi banyak rakyat mati kena Covid-19, secara enteng mengatakan, “Kita semua akan mati suatu hari nanti.”

Jerman Geser AS

Tetapi, di tengah krisis kemanusiaan yang melanda dunia saat ini, masih “tersisa” beberapa pemimpin yang menunjukkan sifat kenegarawanannya. Sebut saja, misalnya, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, dan PM Finlandia Sanna Mirella Marin.

Jacinda Arden, misalnya, dengan begitu simpatik  menyampaikan pesan-pesannya kepada rakyatnya lewat jumpa pers yang tidak menggebu-ngebu atau lewat Facebook Live videos. Pesannya jelas, “Tetap tinggal di rumah, selamatkan nyawa.” Ia mendesak warga Selandia Baru untuk saling menjaga antar-tetangga, merawat yang rentan, dan berkorban demi kebaikan bersama yang lebih besar. Dengan cara itu, Arden mampu menyatukan seluruh rakyatnya (The Guardian, 25/4).

Ketika orang, rakyat Jerman, merasa sangat tidak aman akan masa depan karena pandemi Covid-19, mereka mencari perlindungan dan lebih banyak kepastian dari pemerintah. Dan, hal itu diberikan oleh Angela Markel. Ia tidak banyak bicara. Doktor dalam kimia kuantum, menyajikan fakta-fakta suram pandemi sambil juga menawarkan jalan keluar.

Dia merujuk latar belakang Jerman Timurnya dan kesulitan pernah dialami dahulu karena kebebasan bergeraknya sangat dibatasi. Tetapi Merkel menjelaskan mengapa pembatasan pergerakan, mobilisai perlu dilakukan, dan rakyat Jerman mendukungnya.

Merkel diakui sebagai “manajer krisis yang sesungguhnya.” Menurut data sampai tanggal 22 Mei, jumlah korban Covid-19 di Jerman, 179.410 orang dan 8.325 meninggal serta 159.000 sembuh (www.worldometers.info). Itulah sebabnya, Jerman dipuji dunia karena keberhasilannya menangani pandemi Covid-19.

Hal itu bukan hanya karena pendekatan Merkel yang tenang dan juga dukungan rakyat (yang sangat beda dengan banyak negara), tetapi juga sistem kesehatan negeri itu memiliki sumber daya yang baik, sehingga bahkan rumah-rumah sakit di Jerman menerima pasien dari negara-negara Eropa lainnya.

Banyak pihak menilai pidato Merkel sangat terukur. Ini sangat berbeda dengan Trump yang riuh dan membuat pasar saham goncang, dan para ahli kesehatan pun khawatir, serta rakyat semakin bingung. “Berapa banyak orang yang kita kasihi akan kehilangan kita?” tanya Merkel, dalam salah satu pidatonya yang paling emosional, pada 18 Maret sambil mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan tantangan terberat sejak 1945.

“Adalah jerih payah kita sendiri yang akan menentukan akhir dari krisis ini. Saya yakin bahwa kita akan berhasil bertindak secara bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa,” kata Merkel.

Pidato Merkel itu menyatukan seluruh rakyat Jerman. Bahkan, Gubernur Baden-Wuerttemburg, Winfried Kretschmann dari Partai Hijau saingan partainya Merkel, CDU, memuji Merkel dan membandingkan dengan apa yang terjadi di AS.

Di AS para gubernur berjalan sendiri-sendiri, membuat kebijakan sendiri, karena pada awalnya pemimpin tertinggi AS, Trump, menganggap remeh, pandemi Covid-19 (CNN, 16/4). Maka hasilnya pun berbeda. Merkel tak banyak bicara, tapi hasil kerja nyata.

Tidak aneh karenanya, kalau sekarang dunia tidak melihat AS sebagai pemimpin global tetapi melihat Jerman dengan Angela Merkelnya. Bahkan, China pun, semakin tampil meyakinkan  di panggung dunia. Tetapi, Trump tetap mengatakan bahwa AS—menurut Trump diungkapkan oleh Merkel dan juga PM Jepang Shinzō Abe—tetap pemimpin dunia.

Ujian Pemimpin

Para pemimpin di banyak negara, juga para politisi serta para pemimpin agama, menyerukan pada rakyatnya, umatnya agar tetap tinggal di rumah untuk memutus mata-rantai penyebaran pandemik Covid-19. Tetap tinggal di rumah, artinya kehilangan kebebasan untuk bergerak, juga kebebasan untuk bekerja, terutama yang tidak bekerja kantoran. Ini adalah sebuah pengorbanan, pengorbanan nasional.

Semua itu tidak pernah terpikirkan, terbayangkan sebelumnya. Sama seperti pandemik flu Spanyol 1918-1920, yang dicatat dalam sejarah sebagai pandemi paling mematikan: menginfeksi sekitar 500 juta orang di seluruh dunia — sekitar sepertiga dari populasi planet ini — dan menewaskan sekitar 50 juta-100 juta antara 1918-1920 (Johnson and Mueller, 2002). Flu 1918 pertama kali diamati muncul di Eropa, AS, dan beberapa bagian Asia sebelum menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.

Ketika itu, banyak orang yang terpapar  karena kebijakan pemerintah gagal menghentikan penyebaran. Apalagi ditambah, pemulangan pasukan dari medan perang. Apalagi, pada saat itu, tidak ada obat atau vaksin yang efektif untuk mengobati jenis flu yang mematikan ini. Warga diperintahkan untuk mengenakan topeng, sekolah, teater, dan bisnis ditutup dan mayat-mayat ditumpuk di kamar mayat karena tidak ada tempat lagi.

Sejarah telah mencatat bahwa krisis telah menjadi katalisator untuk perubahan besar, baik itu pribadi maupun struktural. Sebagai contoh, sistem kesehatan masyarakat disusun, dibentuk setelah pandemi flu 1918. Kebijakan kesejahteraan sosial yang luas diciptakan setelah Perang Dunia II. Apa yang akan terjadi setelah pandemi berakhir. Apakah kita semua belajar dari sejarah atau bersikap masa bodoh.

Satu hal yang kiranya perlu dicatat adalah informasi yang baik, disampaikan secara baik—seperti yang dilakukan oleh mislnya, Merkel atau Arden atau, Sanna Mirella Marin, atau Presiden Taiwan Tsai Ing-wen atau Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen–adalah kunci untuk pengendalian penyakit. Buruknya komunikasi politik dari pemerintah akan berdampak buruk pula pada upaya pemutusan rantai penyebaran. Sejumlah pemimpin negara lain bisa menjadi contoh tentang hal itu.

Jadi, pada akhirnya, kepemimpinan memegang peranan sangat penting dalam usaha memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19 ini. Pemimpin yang sesungguhnya akan benar-benar diuji dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. “Seorang pemimpin adalah pemberi harapan,” begitu kata Napoleon Bonaparte. Tentu, bukan harapan kosong. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA