Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

In Memoriam Arief Budiman

Jumat, 24 April 2020, 15:11 WIB
<i>In Memoriam</i> Arief Budiman
Alm Arief Budiman/Net
SELAMAT jalan pak Arief. Anda orang baik.

Mendengar kabar pak Arief meninggal dunia, saya merasakan kehilangan sosok teman dan orang tua sekaligus. Meski sudah sekitar 13 tahun saya tak berjumpa, saya tahu waktunya ini akan datang.

Kami berpisah ketika saya menyerahkan disertasi (Februari 2007) yang pada saat bersamaan beliau terkena penyakit alzheimer. Suatu penyakit yang menyerang daya ingat. Beliau menjadi mudah lupa pada kegiatan-kegiatan dan hal-hal baru yang dilakukannya. Mungkin akibat penyakit ini, saya kira saya adalah mahasiswa terakhir yang dibimbing beliau di The University of Melbourne.

Dus, saya menghadapi ujian disertasi tanpa didampingi pembimbing sama sekali. Pak Arief adalah pembimbing utama sedangkan pembimbing kedua sudah terlanjur ngambek karena sesuatu dan lain hal.

Pak Arief adalah ayah kandung Santi Kusumasari, teman seangkatan (1989) saat kami berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM. Pada Santi, saya sesekali menanyakan kabar pak Arief setelah beliau pensiun sekitar tahun 2008.

Sementara nama Arief Budiman sudah saya kenal jauh sebelum saya bertemu Santi. Tak terbayangkan bahwa sembilan tahun setelah saya lulus dari UGM, sekitar Juli 2003 saya mengontak pak Arief via email memohon agar mendapat rekomendasi berkuliah di Australia.

Saya sempatkan juga ke Salatiga karena kebetulan pak Arief sedang berada di Indonesia. Saya menemui pak Arief di rumahnya yang unik dan khas sentuhan Romo Mangun. Keren. Saat itu beliau dikenal sebagai dosen yang sangat ringan tangan membantu anak-anak muda yang ingin berkuliah di sana.

Beberapa hari kemudian setelah kembali ke Australia, melalui email juga, pak Arief membantu saya mendapatkan akomodasi yang dihuni oleh anak-anak dari Indonesia. Minimal saya mendapat networking bila saya memerlukan bantuan lebih lanjut.

Tentu saya senang dapat dibimbing oleh seorang legenda sekaliber Arief Budiman. Tidak semua orang mendapat kesempatan itu. Pertemuan pertama kami di Australia terjadi di kampus, di ruang kerjanya. Beliau menenangkan saya bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Wajar bagi pendatang baru yang penuh dengan kecemasan tinggal di negeri orang. Bimbingan akademik yang diberikan beliau sangat intens. Saya dibebaskan untuk berkonsultasi kapan pun sepanjang beliau sedang ada di kampus. Bahkan sebelum saya resmi terdaftar sebagai mahasiswa doctorate degree.

Kebaikan hati atas waktu beliaulah yang memungkin saya juga dapat menyelesaikan disertasi hanya dalam kurun waktu sekitar 18 bulan (1,5 tahun). Intensitas yang tak terbatas walau sesekali karena kesumpekan, saya dan pak Arief mengobrolkan hal-hal ringan. Gosip-gosip di kaskus, gaya hidup hedonis yang semakin marak, mencela sikap-sikap pejabat yang tak pro-rakyat, dan sebagainya. Khas obrolan di warung kopi pinggir jalan.

Hal-hal ini yang membuat saya kerap terkesima. Pak Arief ternyata menikmati pelarian dari rutinitas. Sekali-dua saya menanyakan rekan-rekan sejawatnya saat dulu mereka melawan Soeharto. Pun pak Arief menceritakan dengan lugas tentang rezim Orba tanpa emosi yang berlebihan. Gerakan perlawanannya melulu berbasis akademik yang diyakininya.

Sayangnya selama saya dibimbing pak Arief, saya tidak memiliki satu pun photo bersama beliau. Saat itu belum ada wabah narsisme kamera HP ala selfie-selfie. Entah mengapa memang saya menganggap tidak penting untuk berphoto. Pernah menjadi muridnya saja saya sudah bersyukur. Saya malah menikmati "kerahasiaan" kami yang hampir tiap hari bertemu.

Satu-dua kali saya juga sempat berjumpa dengan istri beliau, Laila Ch Budiman. Biasanya saat berpapasan di gang-gang kampus yang maha luas. Saya menyapa dan semua orang tahu betapa hangatnya sikap bu Laila. Siapa yang tidak sumringah bertemu dengan pengasuh tetap kolom konsultasi psikologi di harian Kompas? Kolom yang selalu saya baca tiap hari Minggu sejak saya SD. Tak menyangka saya bertemu beliau saat di negeri orang.

Saya tak ingin bercerita tentang kudapan-kudapan akademik selama di Australia bersama pak Arief Budiman. Saya hanya ingin mengenang pak Arief sebagai orang baik yang rendah hati. Di tengah keperkasaan intelektualnya, pak Arief tetaplah manusia biasa. Beliau beberapa kali mengungkapkan kegelisahannya tentang biaya hidup yang harus dia tanggung. Dia memilih tinggal di Australia karena negara itulah yang memberikan penghargaan sepadan padanya.

Kerinduannya pada Indonesia tidak pernah hilang sedetik pun. Saya duga, saat beliau pindah ke Melbourne di usia 55 tahun beliau menganggap kepergiannya dari Indonesia adalah akhir dari sebuah "masa muda". Pak Arief berusaha menikmati masa "pensiun" di sebuah negeri yang penuh fasilitas bagi seorang intelektual seperti dirinya.

Tercermin pada tulisan beliau di harian Kompas sekitar tahun 1996 yang menceritakan kehidupan barunya di kampus The University of Melbourne. Begitu juga ketika saya melihat ekspresi kebahagiaan pak Arief dan bu Leila datang ke Indonesian Festival di Federation Square, Melbourne, pada musim panas tahun 2005.

Meski bergelimang fasilitas sebagai seorang profesor di Australia, pak Arief tetaplah seorang akademisi yang sangat mencintai negerinya. Di suatu waktu tahun 2006 kami mengobrol tentang pemerintahan SBY, pak Arief mencermati bahwa SBY berupaya untuk meletakkan dasar-dasar transisi menuju demokrasi dengan tepat.

Walaupun andai besok-besok menyimpang, pak Arief yakin gerakan Golput (Golongan Putih, golongan yang tidak memihak), gerakan yang dipeloporinya di awal-awal perlawanan pada rezim Orde Baru, akan tetap tumbuh.

Beliau berkata pada saya, "Yanto, golput itu adalah gerakan moral, jadi dia tidak akan terlibas oleh zaman. Golput akan terus menjaga Indonesia". Dia yakin dengan warisannya itu.

Mengenai Bakrie Award yang diberikan pada Arief Budiman di tahun 2006, kebetulan saat itu di bulan Agustus, saya sedikit membahasnya dengan pak Arief. Kami berada di ruang kerjanya. Saya tidak pernah berpikir jelek tentang penghargaan, begitupun pak Arief. Negara ini sudah penuh dengan perampok dan begundal, mengapa penghargaan pada intelektual diributkan?

Seingat saya beliau mengatakan, "Orang-orang, teman-teman dekat saya, ribut membicarakan Bakrie Award. Seolah-olah menerima penghargaan ini adalah menggadaikan harga diri. Saya menerima Bakrie Award karena saya melulu melihatnya sebagai bentuk apresiasi. Tidak lebih. Orang harus diajarkan menghargai. Apresiasi harus digalakkan agar orang-orang juga dilatih untuk melihat.  Tadi Celli (Rizal Mallarangeng) baru menelpon saya mengirimkan undangan. Saya sampaikan saya tidak bisa hadir karena waktu yang terbatas". Bisa jadi pak Arief tidak ingin datang untuk menghindari polemik dengan kawan-kawannya.

Wafatnya pak Arief juga mengingatkan saya pada Gus Dur, pada Romo Mangun, dan lain-lain. Orang-orang hebat yang berdedikasi, memiliki kecerdasan, komitmen, dan kental kajian-kajian akademiknya. Dibalut dengan humanisme dan nasionalisme yang luar biasa. Pada orang-orang seperti merekalah sepatutnya anak negeri ini takzim dan bangga. Bukan pada sontoloyo-sontoloyo egois bodoh yang kini banyak bertebaran. Sudah secara intelektual cekak, antek rezim pula. Komplit sudah.

Negara sangat jarang mengapresiasi orang-orang seperti Arief Budiman. Menjadi wajar jika kini planga-plongo diidolakan. Endoser-endoser koplak digilai anak-anak muda 4,0. Kepala-kepala pemerintahan hanya bangga pada badge jengkol di dadanya tanpa satu pun karya yang pernah dia berikan pada rakyat. Standar kita pada humanisme, kerakyatan, welas-asih, peradaban, dan intelektual telah runtuh pada titik nadir. Kita melulu mengejar jabatan dan materi. Pada orang-orang seperti Arief Budiman kita bisa berkaca malu dan ingat. Dengan segala hormat, saya mengiringi kepergianmu dengan doa: Tuhan sayang padamu, Pak!

Soeyanto Soe
Penulis adalah seorang konsultan

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA