Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketahanan Pangan Dan Pandemik Covid-19

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/achmad-nur-hidayat-5'>ACHMAD NUR HIDAYAT</a>
OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
  • Kamis, 23 April 2020, 12:39 WIB
Ketahanan Pangan Dan Pandemik Covid-19
Petani/Net
BULAN Maret lalu, kita dikagetkan dengan jumlah membesarnya PHK di tengah wabah pandemik Covid-19. Data selama Maret 2020 berdasarkan data Kemenaker per 7 April terdapat PHK sebanyak 1.2 juta pekerja yang melingkupi 74.430 unit usaha dengan komposisi 39,977 usaha formal dan 34.453 usaha informal.

Jumlah tersebut terdiri dari pekerja formal sebanyak 1.010.579 pekerja dan pekerja informal sebanyak 189,452 pekerja. Banyaknya karyawan di-PHK menambah tinggi potensi kerusuhan (social unrest) di tengah krisis pandemik Covid-19.

Selain PHK, potensi social unrest dapat disebabkan karena kelangkaan dan mahalnya bahan kebutuhan pokok. Beberapa hari ini, publik merasakan harga-harga yang berangsur-angsur naik.

Sebagaimana di kutip media massa pada 21 April, harga beras dan gula mulai naik. Beras naik 0.4 persen meski harga gabah kering turun 5 persen, gula naik sejak Rp 19.000 per kilogram akibat kelangkaan hampir 2 bulan terakhir.

Mengutip Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional bawang merah dipatok di angka Rp 43.800 per kg, naik 0,11 persen. Sementara itu, cabai merah besar dijual dengan harga rata-rata Rp 32.500 per kg, naik 0,62 persen. Sementara gula pasir, dijual dengan harga rata-rata nasional Rp 18.550 per kg.

Di beberapa daerah, harga gula pasir tembus Rp 19.000 per kg. Di Kalimantan Tengah misalnya, gula pasir lokal dijual dengan harga Rp 20.500 per kg. Data tersebut diambil selasa 21 April 2020.

Berdasarkan data sepanjang 2018-2020, harga beras, minyak goreng dan daging sapi sebenarnta relatif stabil. Peningkatan tinggi terjadi pada harga gula (data 21 April 2020). Harga gula kini mencapai Rp 19.000 per kg dibandingkan Januari 2020 sebesar Rp 14.000 per kg.

Masalah Gula Naik: Administrasi Impor Menentukan

Kenaikan signifikan harga gula di situasi Covid-19 disebabkan kelangkaan produksi lokal gula krital putih (GKP) dan salah perhitungan volume impor gula sebelum pandemik covid dimulai. Salah perhitungan volume impor kemudian diikuti dengan keterlambatan keputusan impor gula kristal menjadi penyebab utama langkanya suplai gula di pasaran.

Produksi gula lokal tahun 2019 sebesar 2.23 juta ton naik dari 2.17 juta ton tahun 2018. Konsumsi gula diperkirakan konstan sebesar 6 juta ton setahun. panen tebu untuk kebutuhan produksi gula dalam negeri akan jatuh setelah Hari Raya Idul Fitri (Juni-Juli). Sedangkan, di bulan Ramadhan dan Idul Fitri dapat dipastikan kebutuhan gula konsumsi akan melonjak drastis.

Titik kritis ketersediaan gula terjadi pada Mei dan Juni (Ramadhan dan Syawal) bila tidak ada dipasaran, publik akan resah dan berpotensi terjadi social unrest. Pemerintah berusaha mencari jalan keluar yaitu mengizinkan penggunaan gula rafinasi untuk konsumsi publik. Gula kristal merah industri (GKM) menjadi subsititusi menutupi kelangkaan gula kristal putih (GKP).

Sebenarnya GKM digunakan memiliki efek samping kesehatan bila dikonsumsi berlebihan sehingga keputusan pemerintah mengizinkan penggunaan gula industri rafinasi tersebut harus disertai peringatan untuk tidak dikonsumsi secara berlebihan.

Impor gula krital putih (GKP) mengalami hambatan karena negara asal GKP melakukan larangan akibat kebijakan lockdown yang menghentikan perdagangan GKP sementara waktu.

Kini, Kementerian Perdagangan mengusahakan impor GKM yang masih diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan publik. Izin impor gula rafinasi telah disetujui dan beberapa perusahaan swasta telah diberikan kuoto impor gula rafinasi 250 ribu ton GKM dan tiga BUMN diantaranya Bulog, RNI dan PPI diberikan 150 ribu ton GKM.

Harapannya harga gula di masyarakat dapat diturunkan segera. Namun administrasi impor dinilai menghambat kecepatan impor gula saat dibutuhkan.

Pemerintah perlu segera mempercepat administrasi impor GKM untuk memastikan kebutuhan publik terhadap gula tersedia sampai Lebaran (Mei-Juni) nanti. Solusi lain adalah pemerintah melakukan pendekatan bilateral dengan pemerintahan asal impor GKP untuk mau membuka perdagangan gula krital putihnya.

Saat ini pendekatan business to business (B to B) sudah tidak berhasil dan saatnya diperlukan pendekatan government to goverment (G to G) untuk membantu impor gula untuk kebutuhan publik.

Masalah Harga Beras: Pola Perdagangan Beras Berubah

Kebijakan stabilisasi harga beras dituangkan dalam Permendag 24/2020 yang telah berlaku sejak Maret 2020.

Dalam Permendag 24/2020, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) dinaikan menjadi Rp 4.200/kg dan gabah kering giling (GKG) menjadi Rp 4250/kg dan beras menjadi Rp 8.300/kg. Namun harga pasar di lapangan telah terlalu tinggi.

Tingginya permintaan beras merupakan imbas pandemik Covid-19 ditambah permintaan beras yang tinggi dari instansi pemerintah, pemda, swasta, ormas sebagai bentuk solidaritas bantuan kepada warga terdampak Covid-19.

Ini adalah sinyal terjadinya pola perdagangan yang sedang berubah karena maraknya bantuan sosial tersebut sehingga sangat dimungkinakn pasar makin menaikan harga sehingga keseimbangan harga beras baru yang lebih tinggi terjadi.

Pemerintah perlu memastikan persediaan beras di gudang nasional tersedia selain memperkuat manajemen stok nasional.

Dilema Kebijakan Publik: Ketahanan Pangan Versus Kesehatan Publik

Dalam diskusi bersama Prof. Bustanul Arifin, Gurubesar Ilmu Ekonomi Pertanian, dan pakar ketahanan pangan Dr. Bayu Krisnamurthi disimpulkan bahwa harus ada kesepakatan nasional terkait keberpihakan ketahanan pangan dan kesehatan warga secara seimbang.

Kebijakan PSBB yang terlalu ketat akan menganggu pola distribusi pangan yang akhirnya melahirkan disparitas harga pangan di jumlah daerah.

Kini terdapat 100 desa yang telah melakukan isolasi mandiri yang tidak mengizinkan adanya transportasi lintas desa. Hal ini dapat menggangu ketersedian pangan.

Penerapan PSBB yang dilakukan di sejumlah daerah akan berdampak pada ketersedian pangan nasional. Daerah adalah sumber pangan, bila karena penerapan PSBB, petani tidak dapat bertani dan transportasi logistik pangan terhambat maka situasi ketahanan pangan akan menjadi kritis dalam waktu dekat ini.

Pemerintah harus menjamin daerah-daerah sentra produksi pangan harus tetap berproduksi dan transportasi dari dan ke daerah tersebut tidak boleh dilarang.

Keseimbangan penerapan PSBB dan ketahanan pangan harus terjaga. Penerapan PSBB di daerah tidak boleh menghalangi petani ke sawah/ladang/kebun. Oleh karena itu petani harus dilindungi kesehatannya lebih baik. Siapa yang menyiapkan pangan masyarakat bila bukan Petani kita sendiri.

Selain dokter, perawat dan tenaga medis di garda depan atasi Covid-19, para petani jangan terlewatkan. Mereka berjuang di ladang sawah di tengah Covid-19 demi ketahanan pangan nasional kita. Petani berhak mendapatkan insentif serupa sebagaimana para dokter dan tenaga medis di kota-kota.

Pelajaran dari pandemik Covid-19 adalah ketahanan pangan dan perkuat industri dalam negeri harus menjadi prioritas utama. Covid-19 harus menjadi  momentum untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat kebijakan publik.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA