Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Reunifikasi Korea Tidak Bisa Terjadi Dalam Satu Malam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 13 November 2019, 19:42 WIB
Reunifikasi Korea Tidak Bisa Terjadi Dalam Satu Malam
Dubes Kim Chang-beom/RMOL
KOREA Selatan dan Korea Utara sedang bekerja keras mewujudkan tugas konstitusional yang diemban masing-masing Korea, yakni menyatukan kembali tali persaudaraan yang putus akibat perang di awal 1950an.

Jalan menuju reunifikasi tidak mudah, dan sudah tentu reunifikasi bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam satu malam.

Begitu dikatakan Duta Besar Republik Korea Kim Chang-beom dalam wawancara dengan Republik Merdeka beberapa waktu lalu.

Ia menyoroti berbagai “keajaiban” yang terjadi dalam 1,5 tahun terkait hubungan kedua negara.

Hal lain yang dibahas dalam bagian kedua wawancara dengan Dubes Kim itu adalah soal hubungan Korea Selatan dengan Jepang belakangan ini. Ia mengatakan, ketegangan yang terjadi hanya semacam jegukan kecil, yang dapat diselesaikan apabila kedua negara meningkatkan komitmen untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut.

Menurutnya Korea Selatan telah memperlihatkan gesture positif dengan mengirimkan Perdana Menteri Lee Nak-yeon dalam penobatan Kaisar Naruhito tanggal 22 Oktober lalu.

Berikut petikan wawancara itu.


Bagaimana dinamika hubungan Jepang dan Korea belakangan ini? Baru-baru ini Jepang mengeluarkan Korea dari “daftar putih”. Apa alasannya, apakah masih alasan yang lama?

Minggu ini, dua hari lalu, 22 Oktober, Kaisar Naruhito dinobatkan sebagai Kaisar Jepang yang baru. Perdana Menteri Korea, Lee Nak-yeon, diutus untuk menghadiri upacara penobatan di Tokyo itu. Setelah menghadiri upacara penobatan, Perdana Menteri Lee bertemu dengan Perdana Menteri Shinzo Abe. Mereka bertemu sekitar 20 menit. (Dari sisi waktu) cukup singkat, tetapi ini adalah pembicaraan pada level tertinggi yang dilakukan pertama kali setelah beberapa hal yang mengganggu hubungan bilateral kami antara Korea dan Jepang.

Kami berharap akan melihat pertemuan antara kedua Perdana Menteri kemarin dapat menjadi batu lompatan kecil (small stepping stone) untuk kedua negara untuk melakukan konsultasi untuk menemukan jalan keluar. Tentu ini bukan hal yang mudah, karena melibatkan persoalan sejarah dan persoalan hukum. Namun Korea dan Jepang sebagai tetangga dekat dan dua negara yang memiliki nilai yang sama, demokrasi dan open economy, kami telah menjalankan hubungan bilateral yang baik untuk waktu yang sangat lama, saya percaya ini hanya jegukan kecil (small hiccup). Ketika kedua belah pihak menurunkan tensi (cooling down), jegukannya akan hilang.

Pemerintah Korea secara konsisten selalu berusaha melakukan dialog dengan pemerintah Jepang, dan terkadang dialog dan konsultasi ini tidak membawa kemajuan apapun. Tetapi saya kira dialog adalah kunci penting untuk menyelesaikan masalah apapun.

Ada banyak peluang bagi Presiden Moon dan Perdana Menteri Abe untuk bertemu bila mereka mau. Ada ASEAN Plus 3 dan East Asian Summit yang diadakan di Bangkok awal November 2019. Pemerintah China juga akan menyelenggarakan Trilateral Summit antara Korea, Jepang, dan China, di akhir bulan Desember 2019. Cukup banyak peluang, dan semoga kami dapat menyelesaikan sejumlah perbedaan.


Isu Pulau Dokdo ikut menjadi pembahasan?

Tidak. Pulau Dokdo adalah bagian integral dari Korea. Kami tidak menerima perdebatan apapun mengenai Pulau Dokdo. Secara hukum kami memilikinya.


Dalam wawancara dengan Anda beberapa waktu lalu, ketika Anda baru tiba di Jakarta, kita berharap hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan akan semakin baik. Ketika itu Presiden Moon Jae-in baru bertemu dengan Ketua Kim Jong Un. Setelahnya ada pertemuan antara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump di Singapura dan Vietnam. Juga ada kunjungan Presiden Moon ke Pyongyang diikuti kunjungan ke Gunung Paektu. Juga ada pertemuan ketiga pemimpin, Presiden Moon, Ketua Kim dan Presiden Trump di Joint Security Area (JSA) Panmunjom. Lalu, sekarang bagaimana?

Kami masih dalam track menuju perdamaian. Bila kita melihat ke belakang, dua tahun lalu, saat itu ada banyak ekspresi bloomy tentang nasib Semenanjung Korea, banyak skenario mengerikan yang disampaikan. Semenanjung Korea disebutkan berada di tepi perang terbuka. Kita mendengar kata-kata keras dari Presiden Trump dan terkadang dari Ketua Kim Jong Un.

Lalu ada Olimpiade Pyeongchang pada bulan Februari 2018. Itu adalah kereta cepat menuju perdamaian. Lalu ada tiga putaran Inter Korean Summit antara Presiden Moon dan Ketua Kim, juga dua pertemuan di Singapura dan Hanoi antara Ketua Kim dan Presiden Trump, juga pertemuan singkat ketiga pemimpin di Panmunjom pada bulan Agustus 2019.

Kami, terutama Presiden Moon, bekerja keras untuk membuat proses perdamaian ini bergerak maju. Kami telah membuat kedua belah pihak, Korea Utara dan AS, duduk bersama pada working level sehingga mereka bertemu di Stockholm, Swedia, sebagai pertemuan awal tingkat teknis. Ini belum membawa perubahan besar, masih dingin. Beberapa pernyataan dari pihak Korea Utara tidak sepenuhnya sesuai (not favorable) dengan upaya untuk mencapai kesimpulan yang substansial untuk pertemuan ketiga Trump dan Kim.

Seperti Anda juga tahu, pembicaraan damai mengenai Semenanjung Korea yang melibatkan semua stakeholder hampir tidak ada kemajuan (stalemate) tanpa progres yang signifikan untuk empat dekade terakhir. Isu denuklirisasi telah berada di atas meja selama 25 tahun terakhir ketika krisis nuklir pertama terjadi pada 1993. Sejak saat itu kami tidak keluar dengan terobosan (breakthrough) yang signifikan.

Tetapi, entah bagaimana, dalam 1,5 tahun terakhir kita melihat milestone bersejarah. Untuk pertama kalinya Ketua Kim melintasi garis demarkasi dan menapakkan kakinya di wilayah Korea Selatan. Juga untuk pertama kalinya Presiden Trump, Presiden AS, bertemu dengan pemimpin Korea Utara. Dan pemimpin Korea Utara untuk pertama kalinya membawa Presiden AS ke wilayah Korea Utara. Juga Presiden Moon dan Ketua Kim untuk pertama kalinya mendaki Gunung Paektu.

Seperti balance sheet sebuah bank account, Anda memiliki banyak transaksi, tetapi balance belum seperti yang diharapkan. Kita bisa menggambarkannya seperti itu. Begitu banyak transaksi, debit dan kredit, yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). Bahkan saya juga cukup bisa terbuka berbicara dengan Dutabesar Korea Utara An Kwang Il. Mr. An juga sangat gentle dan hangat. Ketika kami duduk bersama, di parlemen atau menghadiri pertemuan diplomatik, kami ngobrol dengan bebas. Tidak ada yang serius, hanya bertukar pembicaraan. Ini juga tidak pernah terjadi sebelumnya. Saya kira pendahulu saya tidak menikmati hal ini.

Saya pernah bertugas sebagai Dirjen Peace Regime di Kemlu Korea (2006). Sebenarnya saya Dirjen Peace Regime pertama. Bila kita melihat sejarah masa lalu, kronologi kejadian-kejadian, dua tahun terakhir sungguh tidak terbayangkan sebelumnya, dan penuh dengan perkembangan yang signifikan.


Ketika dinamika di Semenanjung Korea bergerak ke arah yang positif, masyarkat Indonesia kerap bertanya, bagaimana bentuk dari reunifikasi Korea? Apakah akan menjadi satu negara yang berdaulat, atau apakah akan menjadi satu negara dengan dua sistem? Atau hanya perdamaian di antara dua negara?

Reunifikasi memiliki dua arti. Pertama, bermakna menjadi satu negara, end-state, untuk seluruh Semenanjung Korea di masa depan. Korea Bersatu di Semenanjung Korea. Di saat yang sama, reunifikasi juga merupakan proses dimana kedua Korea dapat bekerjasama menghasilkan solusi untuk mengubah status yang ada saat ini. Bagi saya, reunifikasi sebagai sebuah proses sudah dimulai. Pemimpin kedua negara sudah bertemu. Begitu banyak putaran negosiasi, Panmunjom Declaration, September 19th Decoration, semuanya memiliki solusi dan kesepakatan yang dapat dikerjakan (workable), seperti pengurangan ketegangan, mentranformasi Demilitarized Zone menjadi Peace Zone. Kedua hal ini adalah elemen yang sebenarnya cocok dan perlu untuk reunifikasi.

Reunifikasi tidak bisa dicapai dalam satu malam. Prosesnya sendiri sudah dimulai. Tentu ada ups and downs, dan hiccup, tetapi prosesnya dalam track yang benar.

Sementara sebagai end-state, Korea bersatu secara utuh, adalah sesuatu yang masih jauh. Apa yang harus kami capai saat ini adalah lingkungan perdamaian dan tidak ada risiko untuk kembali ke situasi provokasi dan berusaha membuat masyarakat kedua negara bebas saling mengunjungi, memiliki kolaborasi ekonomi dan perdagangan.

Di saat berusaha mencapai progres yang terukur di bagian yang substansial dan dapat dikerjakan itu, kami dapat semakin dekat satu sama lain menuju end-state, yaitu satu Korea yang utuh. Tetapi ini perlu waktu yang cukup panjang. Ini juga berkaitan dengan bagaimana pemerintah Korea Utara merespon dan mengambil sikap pada isu denuklirisasi.


Bagaimana sikap negara-negara lain dalam

Saya rasa negara-negara besar di sekitar Semenanjung Korea semua berharap Semenanjung Korea yang damai dan stabil. Saya rasa itu juga sebabnya Presiden Trump terlibat dalam beberapa pertemuan, dua pertemuan (di Singapura dan Hanoi) dan pertemuan singkat di Panmunjom dengan Ketua Kim Jong Un. Juga mendedikasikan dirinya pada denuklirisasi Korea dan untuk membuat Korea Utara terbuka. China juga merupakan pemain yang konstruktif dalam proses denuklirisasi dan berusaha membuat Semenanjung Korea stabil, bebas dan damai. Tentu saja ada perbedaan dalam hal pendekatan dan prioritas serta perdebaan kepentingan mereka. Tetapi tetap saja saya kita kepentingan tertinggi mereka adalah Semenanjung Korea yang damai dan stabil. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA