Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dubes AS: Indonesia Mencapai Milestone Baru Demokrasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 07 Agustus 2019, 04:58 WIB
Dubes AS: Indonesia Mencapai Milestone Baru Demokrasi
Foto: JFCC
DILANTIK sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Republik Indonesia pada tanggal 4 November 2016, Joseph R. Donovan Jr. menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Joko Widodo pada bulan Januari 2017.

Sebelum ditugaskan di Jakarta, ia menduduki posisi Direktur Utama Bagian Washington di American Institute, Taiwan. Dubes Donovan juga pernah bekerja sebagai Penasihat Kebijakan Luar Negeri untuk pemimpin Kepala Staf Gabungan di Pentagon (2012-2014), Associate Professor di National Defense University di Washington, D.C. (2011-2012), dan Kepala Deputi Asisten Menteri Luar Negeri untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Departemen Luar Negeri AS (2009-2011).

Selain itu Dubes Donovan juga pernah menjabat sebagai Konsul Jenderal AS di Hong Kong (2008-2009), Wakil Duta Besar AS di Tokyo, Jepang (2005-2008), dan Direktur Bagian Tiongkok dan Mongolia, Deplu AS (2003-2005). Dalam kariernya sebagai pejabat dinas luar negeri, Dubes Donovan pernah ditempatkan di Taiwan, Tiongkok, Korea Selatan, dan Qatar.

Sebelum bergabung dengan dinas luar negeri, ia pernah menjadi relawan Peace Corps di Seoul, Korea Selatan. Dubes Donovan memperoleh gelar sarjana dari School of Foreign Service, Georgetown University dan Master of Arts dari U.S. Naval Postgraduate School.

Pertengahan bulan Juni lalu, Dubes Donovan berkesempatan hadir dalam forum yang diselenggarakan Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) di Hotel Ayana, Jakarta Pusat, dimana tema utama yang dibicarakannya terkait dengan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan AS.

Selama 2,5 tahun di Indonesia, ia mempelajari betapa kedua negara memiliki banyak kesamaan. Sama-sama memiliki keberagaman budaya, dan sama-sama merayakan keberagaman itu sebagai pondasi penting kebangsaan, serta menyebarkannya menjadi model yang menginspirasi seluruh dunia.

Di bagian akhir pertemuan, Dubes Donovan memberi kesempatan kepada anggota JFCC yang hadir, termasuk Kantor Berita RMOL, untuk mengajukan pertanyaan. Umumnya pertanyaan yang disampaikan terkait pada sejumlah isu yang sedang terjadi. Termasuk soal pemilihan umum di Indonesia yang baru berakhir yang menurut Dubes Donovan adalah milestone baru dalam demokrasi Indonesia.

Perang Dagang antara AS dengan China sudah pasti masuk dalam daftar pertanyaan yang diajukan, begitu juga dengan kebijakan AS terhadap negara-negara  yang menjalin hubungan perdagangan militer dengan Rusia dan menjalin hubungan teknologi IT dengan China. Pertanyaan mengenai ketegangan di Laut China Selatan pun tak lupa diajukan. Dubes Donovan menjawab semua pertanyaan dengan lugas.

Berikut ini adalah petikannya:


Menyambut periode kedua Presiden Jokowi, saya ingin tahu bagaimana perasaan Anda melihat perkembangan investasi asing di Indonesia. Masih ada beberapa hal yang menjadi hambatan dan seberapa optimis Anda dengan iklim investasi di Indonesia?

Presiden Jokowi dan banyak penasihatnya kerap menyampaikan bahwa Indonesia perlu membuka ekonomi kepada dunia luar. Saya setuju dengan hal itu.

Saya kira dalam periode pertama pemerintahannya Presiden Jokowi telah memperlihatkan arah yang benar. Tapi jalan yang harus ditempuh masih panjang. Dan sudah pasti kami ingin menjadi bagian dari proses itu.

Salah satu keputusan fundamental yang harus dipertimbangkan Indonesia adalah apakah Indonesia akan menggantungkan diri hanya pada pasar domestik, atau memperkuat perusahaan-perusahaan Indonesia untuk berkompetisi secara global. Dan, berkompetisi secara global berarti membuka lebih lanjut ekonomi Indonesia.


Masih ada kebingungan mengenai isu Kopassus. Dapatkah diasumsikan bahwa combat training dengan Kopassus dilanjutkan kembali tanpa perubahan apapun terhadap Leahy Amendment?

Pelaksana Menteri Pertahanan Patrick M. Shanahan ketika berkunjung ke Indonesia beberapa hari lalu mengatakan bahwa kita mengambil langkah-langkah tambahan untuk memulai latihan dengan Unit 81 Penanggulangan Terorisme (Gultor) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat.

Proses ini dimulai hampir sembilan tahun lalu, di tahun 2010. Saat itu kami mulai berinteraksi dengan bagian tertentu dari Kopassus dalam apa yang kami sebut sebagai SME, subject matter engagements.

Apa yang akan kami lakukan adalah dengan sangat hati-hati (cautiously) memulai rinteraksi dengan Unit 81, dan kita lihat bagaimana kita bisa bergerak maju.

Untuk langsung menjawab pertanyaan Anda, semua ini akan dilakukan secara konsisten dengan kewajiban hukum termasuk yang terkait dengan Leahy Amendment.


Tetapi apakah Kongres memang harus mengubah Leahy Amendment untuk mengizinkan combat training dengan Kopassus? Tahap pertama adalah medical training…

Akan ada beberapa pelatihan. Dan kami masih berkerja untuk menyusun detail dari latihan dengan Unit 81 itu. Sejujurnya, saya tidak tahu, dan saya tidak akan berspekulasi tentang apa kewajiban legislasi yang dibutuhkan.

Tetapi saat ini, berdasarkan apa yang saya pahami, apa yang kami lakukan dengan Unit 81 tidak membutuhkan hal itu. Kami tentu saja berkonsultasi dengan Kongres untuk masalah ini.


Mengapa harus berkerjasama dengan Unit 81 Kopassus?

Karena itu adalah unit kontra terorisme.


Di akhir pemilihan presiden kita menyaksikan ketegangan di sini. Kita menyaksikan kekerasan. Kita menyaksikan orang terluka. Delapan orang dilaporkan tewas. Saya ingin tahu perspektif Anda. Apa yang Anda bayangkan tentang stabilitas di sini, termasuk tentang kemungkinan perpecahan akibat pemilihan umum.

Pertama-tama, saya menyampaikan kembali ucapan selamat karena Indonesia berhasil mencapai milestone baru dalam demokrasi. Juga selamat kepada Presiden Jokowi atas pemilihan yang dipersiapkan dengan baik, dan kami siap melanjutkan kerjasama dengannya, dan melanjutkan pembicaraan terkait status strategic partnership.

Saya rasa, kalau kita mengkategorikan kampanye dalam pemilu yang lalu, secara umum berlangsung damai. Tentu ada tuduhan-tuduhan dan laporan-laporan. Juga insiden yang terisolasi. Saya kira sangat penting agar semua itu ditangani sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, proses hukum yang diatur Konstitusi.

Proses di Mahkamah Konstitusi yang akan berlangsung besok akan menangani beberapa dari tuduhan-tuduhan ini dan saya rasa merupakan cara yang tepat untuk menanganinya.


Bisakah Anda jelaskan kepada kami tentang Perang Dagang antara Amerika Serikat dan China dan peluang kawasan Asia Tenggara menjalin hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat. Vietnam sudah memperlihatkan hal itu. Apa yang akan dilakukan dengan Indonesia dalam kaitan ini?

Saya tentu berharap seperti itu juga. Penting untuk mengingat isu utama dalam dispute kami dengan China. Apa yang kami cari adalah solusi yang dapat diterapkan (enforceable solution) kepada market China. Itu kunci utamanya.

Terlepas dari apakah Perang Dagang antara AS dan China ada atau tidak ada, kita melihat kerjasama AS dengan Indonesia tumbuh. Tahun lalu volume perdagangan kami sebesar 29 miliar dolar AS. Ekspor kami naik sebesar 20 persen. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat juag meningkat antara 3 sampai 5 persen.

Indonesia masih memiliki surplus yang signifikan walaupun sedikit turun tahun lalu.

Ini memperlihatkan kepada Anda bahwa kami baru menyisir permukaan dari ekonomi besar Asia dan negara yang memiliki populasi paling banyak di Asia Tenggara. Jadi masih banyak ruang untuk tumbuh di sini terkait dengan hubungan bilateral kami.


Bagaimana dengan generalized system of preferences (GSP) yang berlaku?

Pertama, ingat GSP adalah sistem sukarela dimana Amerika Serikat memberikan pajak masuk hampir nol persen untuk beberapa produk dari beberapa negara.

Saya kira, tahun lalu Indonesai merupakan negara terbesar keempat yang menerima program voluntarily ini. Jadi, sekitar 2,1 miliar dolar AS barang Indonesia, sekitar 10 persen dari ekspornya ke Amerika Serikat, datang dengan menggunakan program ini.

Kami secara periodik mereview kemampuan negara tertentu untuk ikut dalam program ini. Dan salah satu kriteria yang kami gunakan adalah, bagaimana akses barang dan jasa Amerika Serikat di pasar negara-negara yang sedang kami review itu. Saat ini kami sedang mereview Indonesia, dan proses review itu telah berlangsung sejak beberapa bulan lalu.

Kami berinteraksi dengan sangat aktif dan saya kira kedua belah pihak memiliki keyakinan yang baik untuk mendiskusikan hal ini. Saya akan mengkategorikan ini sebagai: satu sama lain menerima bahwa secara natural kami optimistis dan akan bekerja ke arah resolusi yang sangat menjanjikan.


Anda mengataan bahwa hubungan Indonesia dan Amerika semakin baik. Lantas mengapa Presiden Donald Trump tidak melakukan kunjungan bilateral ke Indonesia? Bagaimana Anda melihat peran Indonesia ketika memimpin Dewan Keamanan pekan lalu? Juga bagaimana Anda melihat peran Indonesia dalam meningkatkan proses perdamaian di Timur Tengah, terutama di Palestina?

Pertama, mengenai kunjungan Presiden Trump. Saya tidak bisa memberikan detail mengenai hal itu. Walaupun sebenarnya tahun lalu ada beberapa kunjungan yang sangat penting. Tahun lalu ada kunjungan Menteri Pertahanan Jim Mattis (Januari 2018) dan kunjungan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo (Agustus 2018).

Bulan Mei yang lalu Pelaksana Menteri Pertahanan Patrick M. Shanahan berkunjung ke Jakarta, dan Jakarta adalah tempat pertama yang dikunjunginya di kawasan ini. Bahkan Wakil Presiden Mike Pence berkunjung ke Indonesia di awal-awal pemerintahan (April 2017).

Presiden Trump dan Presiden Jokowi juga berkali-kali berbicara di dalam pertemuan berbagai organisasi internasional. Itu hal yang baik. Tetapi tentu saja, semakin sering semakin baik.

Terkait isu Peacekeeping, kami menilai Indonesia memainkan peran yang sangat positif. Dan kami tentu saya mendorong Indonesia untuk terus meningkatkan peran itu. Dan kami sering membicarakan hal ini.

Terkait isu Timur Tengah, kami menyadari bahwa ini adalah isu yang penting bagi masyarakat Indonesia. Kami berkomitmen pada upaya mencapai perdamaian abadi di Timur Tengah, dan kami melanjutkan upaya kami ke arah itu.


Kapal Korea Utara ditangkap di perairan Indonesia tahun lalu dan itu terkait dengan pelanggaran sanksi. Bagaimana Amerika Serikat mengawasi dan mengontrol pelanggaran sanksi yang dilakukan Korea Utara di Indonesia maupun di Asia Tenggara?

Saya rasa perlu kami sampaikan bahwa kami bekerja sama dengan banyak pemerintahan di dunia untuk menerapkan sanksi yang diputuskan Dewan Keamanan PBB. Kasus yang Anda maksudkan adalah kasus kapal Wise Honest.

Saya tidak bisa memberikan detail karena masih ada kasus hukum yang sedang dijalankan di Amerika Serikat. Tetapi yang dapat saya katakan disini adalah, kasus itu merupakan contoh yang sangat baik dan sempurna antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk menegakkan resolusi Dewan Keamanan PBB.


Beberapa bulan lalu Anda mengunjungi Pulau Natuna. Bisakah Anda jelaskan apa yang Anda saksikan di sana? Apakah ini (kunjungan ke Natuna) untuk menghadapi klaim China di kawasan perairan itu?

Saya berkunjung ke Pulau Natuna beberapa bulan lalu dan melakukan beberapa hal. Saya bertemu dengan pengusaha di sana, saya bertemu dengan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan perikanan dan bisnis perikanan. Saya bertemu dengan pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis pariwisata. Saya juga berkunjung ke sekolah-sekolah dan bertemu dengan pengelola sekolah. Kami membicarakan tentang peluang pendidikan bagi anak-anak Natuna di Amerika Serikat.

Saya juga bertemu dengan pihak TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Laut. Saya juga menyempatkan diri mencoba scuba diving.

Kami tentu saja mencari tahu program apa yang dapat kami lakukan di Natuna bersama dengan pemerintah Indonesia.


Jadi tidak ada hubungannya dengan ketegangan antara Indonesia dan China di perairan kawasan itu?

Itu urusan antara Indonesia dan China. Kami tentu saja mengakui bahwa Natuna adalah bagian dari teritori Indonesia.


Bagaimana dengan Laut Natuna Utara?

Dimana itu? Apakah ada yang tahu? Saya tahu bahwa nama itu disampaikan pemerintah Indonesia. Tetapi saya tidak tahu apakah itu sudah disampaikan oleh badan internasional yang berwenang untuk memberikan nama. Saya tidak tahu apa statusnya.


Saya ingin menyambung topik mengenai kunjungan Pelaksana Menteri Pertahanan Patrick M. Shanahan yang baru lalu. Apakah ada pembicaraan mengenai jet tempur F-16?

Kami bicara tentang beberapa hal yang bisa kami lakukan. Pertama, adalah cara yang bisa kami lakukan untuk memperkuat hubungan di sektor pertahan dan keamanan. Kami membicarakan tentang upaya untuk membuat interaksi dan latihan lebih besar dan lebih berarti, sehingga menjadi kesempatan yang baik bagi siapapun yang terlibat untuk berlatih.

Kami juga membicarakan kemungkinan penjualan peralatan militer. Semoga itu juga akan berlanjut.


Baru-baru ini Indonesia menandatangani kesepakatan pembelian APC (Armoured Personnel Carrier) dengan Rusia. Indonesia juga menjalin kerjasama dengan China dalan pengembangan teknologi 5G. Apakah ini menjadi perhatian bagi Amerika Serikat?

Seperti yang Anda ketahui kami memiliki CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) Legislation khususnya terkait kesepakatan militer berbagai negara dengan Rusia. Tujuan di balik CAATSA Legislation adalah untuk mengubah perilaku Rusia. Ini terutama diberikan terkait isu Ukraina dan Krimea secara khusus. Jadi itu tujuan dari legislasi ini. Bukan untuk menghukum partner kami.

Tentang 5G, bagi kami ini tentang keamanan. Bukan isu perdagangan. Dan kami percaya keamanan komunikasi, jaringan, teknologi, dan software di belakangnya adalah isu keamanan nasional yang sangat penting.

Kami peduli dengan bahaya vendor di area ini yang tunduk pada pemerintahan asing yang dapat melakukan spionase.

Tentu saja kerjasama ini berdampak pada kami, juga pada sekutu kami, tergantung pada apa yang mereka punya.

Yang kami lakukan sekarang adalah meminta agar mereka mempertimbangkan kembali infrastruktur 5G sehingga aman.


Apakah Amerika Serikat meminta pemerintah Indonesia untuk memperhatikan program 5G nya?

Saya kira, kami mendorong semua negara melakukan itu.


Ada semacam spirit nasionalisme yang muncul bersamaan dengan proses pemilihan umum. Beberapa perusahaan Amerika Serikat seperti Chevron tidak mendapat kontrak dan harus menyerahkannya kepada Pertamina. Juga ada kasus pembelian saham Freeepot yang ramai dipublikasikan. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Dalam proses negosiasi Freeport, Presiden Jokowi mengatakan itu adalah win-win solution. Saya kira itu pertanda yang baik.

Hal yang ingin saya katakan adalah, karena Indonesia berharap menarik lebih banyak pelaku bisnis asing dan karena Indonesia berharap menarik lebih banyak investor asing, maka sekutu terbesar Indonesia seharusnya adalah perusahaan asing. Dan dalam kasus ini yang ingin saya sampaikan adalah perusahaan Amerika Serikat yang sudah lama beroperasi di sini.

Kalau perusahaan asing percaya bahwa Indonesia sungguh ingin berkerja dengan mereka, dan kalau mereka percaya bahwa memang ada peluang disini yang sustainable, mereka akan menempatkan uang mereka pada peluang yang ada.

Mereka akan menjadi pihak yang ikut meyakinkan investor mereka untuk datang ke Indonesia.


Bagaimana dengan isu minyak sawit. Uni Eropa sangat kritis soal ini. Di mana posisi Amerika Serikat dalam hal ini, apakah lebih ke persoalan perdagangan atau persoalan lingkungan?

Terkait dengan minyak sawit tidak ada larangan di pihak Amerika Serikat. Itu adalah salah satu komoditas ekspor terbesar Indonesia ke AS.

Kami memiliki isu lain yakni bio diesel, dan Indonesia memiliki peluang untuk ikut berparitispasi dalam isu bio diesel.

Soal minyak sawit kami tidak mempertimbangan dari sisi lingkungan hidup. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA