Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pakistan Terjerat Dalam Militerisme, Politik Dinasti, Dan Masyarakat Sipil Yang Terfragmentasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Minggu, 05 Mei 2019, 10:52 WIB
Pakistan Terjerat Dalam Militerisme, Politik Dinasti, Dan Masyarakat Sipil Yang Terfragmentasi
Ilustrasi/Net
SAAT saya memenuhi undangan untuk menghadiri serangkaian kegiatan di Tiongkok, dalam rangka memperingati hari HAM sedunia. Kegiatan dimulai dari Beijing, kemudian diikuti oleh kunjungan ke sejumlah objek bersejarah di sejumlah kota,  yang puncak acaranya dilaksanakan di Nanjing Massacre Memorial Hall di kota Nanjing.

Saya bertemu dengan delegasi dari banyak negara, dan sepanjang perjalanan kami berdiskusi tentang berbagai hal dan saling bertukar pandangan. Ada seorang delegasi sebut saja Mr. B, karena begitulah inisial namanya. Mr. B selalu berusaha mendapatkan perhatian dan mendominasi diskusi. Ia sering mengutip Al Qur'an,  Hadits, dan menyebut nama Rasulullah.

Mr. B sangat bangga dengan asal negaranya, Pakistan. Akan tetapi prilakunya sangat memalukan; ia sering merokok di tempat yang jelas-jelas terulis dilarang  merokok. Ia selalu terlambat, sehingga membuat panitia sering harus menjemputnya, dan selalu membuat delegasi lain menggerutu, karena sering menghilang dari group tanpa memberitahu.  Yang sangat mengherankan, ia tidak pernah merasa bersalah dan terus meminta diistimewakan.  Semoga sosok Mr. B bukan cerminan karakter bangsa yang diwakilinya.

Muhammad Ali Jinnah sebagai Presiden pertama Republik Islam Pakistan, sekaligus Bapak pendiri negara Pakistan, pada awalnya tidak berfikir untuk mendirikan negara baru yang terpisah dari India. Sebagai pengacara sekaligus politisi yang menonjol di Kongres Nasional India. Jinnah mengadvokasi persatuan Hindu-Muslim, membantu pembentukan Pakta Lucknow 1916 antara Partai Kongres dan Liga Muslim seluruh India, dan mengusulkan empat belas poin rencana reformasi konstitusional untuk mengamankan hak politik komunitas Muslim.

Namun, pada 1920, Jinnah mengundurkan diri dari Partai Kongres, ketika partai tersebut menyepakati untuk ikut dalam kampanye satyagraha atau pemberontakan non kekerasan yang diinisiasi oleh Gandhi, yang ia anggap sebagai anarki politik. Jinnah kemudian memutuskan untuk meninggalkan negrinya, kemudian tinggal  di London, tempat ia pernah sekolah.

Menurut Akhilesh Pillalamarri dalam tulisannya The Origins of Hindu-Muslim Conflict in South Asia ,kuatnya komunalitas masyarakat berdasarkan agama di kawasan Asia Selatan, tidak bisa dilepaskan dari strategi politik penjajah Inggris. Projek kolonial berupa ‘divide et impera’ (divide and rule) telah membentuk antagonisme agama, untuk menjamin keberlanjutan imprialisme. Karena itu kegagalan yang dihadapi Jinnah, sehingga membuatnya putus asa dan mengasingkan diri, tidak bisa dilepaskan dari faktor ini.

Muhammad Iqbal seorang pemikir sekaligus sastrawan muslim India yang sangat menonjol, meminta Jinnah untuk segera kembali ke negrinya untuk memimpin rakyatnya. Iqbal tidak segan-segan menuduh Jinnah mengabaikan krisis-krisis yang dihadapi komunitas Muslim di India. Menurut Akbar S. Ahmed, Jinnah mulai berubah dan menerima gagasan-gagasan Iqbal, terkait perlunya ummat Islam India memiliki tanah air sendiri, sebelum Iqbal menghadap yang Maha Kuasa pada 1938.

Besarnya pengaruh kepala-kepala suku, tuan tanah, dan tokoh-tokoh Islam konservatif membuat Pakistan mengalami friksi internal tidak berkesudahan. Peran militer dalam politik yang mengakibatkan kudeta berulang-ulang, penguasa sipil yang cendrung membangun dinasti politik, serta kelompok Islam  kinservatif yang bermain di wilayah simbolik.

Persaingan antara partai-partai Islam berkubang di wilayah normatif,  dimana satu sama lain mengklaim lebih Islami, dengan cara menawarkan penerapan syariah Islam yang lebih keras. Sementara syariah dimaknai secara sederhana, sebagai hudud terkait hukuman potong tangan bagi pencuri,  atau hukuman rajam bagi penjinah, maksimal terkait urusan larangan minuman beralkohol dan judi.

Kelompok-kelompok seperti ini sibuk dengan simbol dan abai dengan isi atau substansi. Itulah sebabnya, pakaian dan jenggot menjadi penting, sementara masalah akhlak dan kewajiban hidup bersahaja bagi para pemimpin  cendrung diabaikan. Begitu juga syariah terkait kewajiban menuntut ilmu, mensejahterakan rakyat, dan larangan korupsi serta nepotisme dalam mengelola negara kurang mendapat perhatian.

Bangladesh yang semula disebut dengan Pakistan Timur, yang memisahkan diri dari Pakistan Barat pada 1971, juga mengalami nasib serupa, bahkan lebih parah lagi. Ada dua dinasti politik yang mendominasi kekuasaan disana sejak berdirinya negara Bangladesh sampai saat ini; yakni dinasti Hasyinah Zia dan dinasti Halidah Zia. Lebih parah lagi, isu kejahatan perang yang terjadi masa pemisahan Bangladesh, masih dimainkan untuk menghukum lawan-lawan politiknya.

Sementara itu, ummat Islam yang masih tinggal di India, hidup sebagai minoritas yang kreatif. Industri film Bollywood didominasi oleh pemain yang yang beragama Islam, baik aktor maupun produsernya. Mohammad Rafi sampai saat ini diakui sebagai pencipta lagu dan penyanyi pop India yang belum tertandingi. Begitu juga Syahrukh Khan sampai saat ini masih menjadi bintang film yang paling menonjol. Selain itu masih banyak lagi nama-nama tenar,  yang di belakang namanya menggunakan "Khan", menunjukkan mereka memiliki darah biru, ningrat Islam keturunan dinasti Mughal.

Dalam sain dan teknologi ummat Islam India juga memiliki peran besar. Abdul Kalam adalah salah seorang Bapak Teknologi India, yang berkat prestasi dan konstribusinya dalam mengembangkan rudal dan teknologi ruang angkasa, ia kemudian diangkat menjadi Presiden India.

Jika saja Pakistan tidak pernah lepas, mungkin India saat ini akan lebih maju dari Tiongkok, jika merujuk pada luas wilayah, jumlah penduduk, dan potensi alam yang dimilikinya. Wallahua'lam. rmol news logo article

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA