Ia juga merupakan cucu Rasyulullah dari putri yang sangat dicintsainya bernama Fatimah Azzahra. Rasulullah sangat menyayangi Hasan (Øسن) dan adik kembarnya Husain (Øسين). Rasulullah pernah memperlama sujudnya saat shalat, disebabkan oleh karena Hasan dan Husain kecil bermain kuda-kudaan dipunggungnya. Seorang sahabat yang melihat kejadian ini bertanya dengan sopan kepada Rasulullah sang khuswatun khasanah: "Wahai Rasulullah mengapa baginda terlihat sujud cukup lama ?" Rasulullah menjawab: Mereka berdua adalah calon penghuni surga.
Saat ayahnya yang menjabat sebagai Khalifah keempat mangkat, karena dibunuh ketika menuju masjid hendak menunaikan shalat subuh, Hasan lalu dibaiat oleh para pengikut ayahnya, untuk meneruskan kekhalifahan yang dipimpin sang ayah.
Kekhalifahan Hasan ditentang oleh Gubernur Syam (kini wilayahnya meliputi: Suriah, Lebanon, Jordania, dan Palestina) Muawiyah bin Abu Sufyan, yang menjadi lawan politik ayahnya. Abu Sufyan merasa lebih berhak untuk melanjutkan tugas kekhalifahan setelah Ali bin Abi Thalib meninggal dunia. Karena itu, muncul dualisme kepemimpinan ummat Islam.
Perundingan damai dilakukan untuk menghindari perpecahan ummat yang berpotensi menimbulkan pertumpahan darah, berlangsung sekitar 6-7 bulan. Perundingan ini kemudian menghasilkan perjanjian yang dihormati kedua belah pihak. Diantara isi perjanjian itu antara lain: Setelah Muawiyah mangkat nanti, kekhalifahan harus dikembalikan kepada Ummat, sedangkan khalifah berikutnya akan ditentukan secara musyawarah.
Sekitar 20 tahun Muawiyah berkuasa dan berhasil mengkonsolidasi serta memperluas kekuasaan Islam. Ia juga mengenalkan manajemen baru dalam mengelola negara, seperti membentuk militer profesional, administrasi negara yang berjenjang rapi, dan sebagainya.
Akan tetapi Muawiyah juga dikenal sebagai pemimpin Islam yang mengubah gaya kepemimpinan yang sederhana dan zuhud, menjadi kepemimpinan yang glamor dan penuh kemewahan, mulai dari gaya makan, pakaian, kendaraan, sampai bentuk singgasana dan istana. Muawiyah juga memulai pemisahan pemimpin agama dan kepala negara, yang sebelumnya menyatu.
Hasan bin Ali walaupun usianya jauh lebih muda dibanding Muawiyah yang sebaya dengan ayahnya, ternyata ia mangkat lebih awal karena mrninggal diracun. Siapa yang meracunnya tidak diketahui dengan pasti.
Saat Muawiyah merasa usianya sudah mulai tua, dan berbagai penyakit menggerogoti dirinya. Atas saran sejumlah penasihatnya, dengan alasan demi menjaga persatuan ummat, maka ia mewasiatkan kalau sampai ajalnya tiba, maka anaknya Yazid yang akan menjadi penerusnya. Dengan kata lain ia mengkhawatirkan perjanjian yang dibuatnya dengan almarhum Hasan bin Ali.
Saat Muawiyah mangkat, Yazid bin Muawiyah dibaiat menjadi Khalifah di Damaskus yang menjadi pusat kekhalifahan saat itu. Yazid segera mengirim delegasi ke Madinah untuk meminta baiat dari Husain bin Ali, sebagai keluarga Rasulullah untuk memperkuat legitimasinya. Husain dengan santun akan tetapi tegas menolaknya.
Menurut berbagai sumber yang layak dipercaya, ada sejumlah alasan mengapa ia menolaknya. Akan tetapi, paling tidak ada dua hal yang sangat memberatkannya: Pertama, ayah handanya Muawiyah yang mengangkat dirinya telah melanggar perjanjian yang dibuatnya dengan saudara kembarnya. Kedua, Yazid tidak memiliki keluhuran moral yang diperlukan bagi seorang pemimpin Islam.
Gagal mendapatkan dukungan dengan cara damai, kemudian Yazid mulai menggunakan cara politik untuk memaksa Husain. Ia menggunakan kekuasaan untuk mengintimidasi dan mengisolasi Husain, keluarga, dan para pengikutnya yang sudah tidak banyak lagi. Merasa tidak aman tinggal di kota Madinah, Husain memutuskan untuk Hijrah ke Makkah, kemudian ke Kuffah.
Mengetahui langkah yang ditempuh cucu Rasulullah ini, Yazid kemudian menggunakan cara militer untuk mendapatkan baiatnya. Ia mengirimkan 4.000 pasukan berkuda untuk mengejar Husain dan pengikutnya yang hanya berjumlah 72 orang, ditambah perempuan dan anak-anak. Saat kedua kelompok ini bertemu, Husain tetap menolak permintaan Yazid.
Di Padang Karbala yang kemudian menjadi bagian dari sejarah kelam tarikh Islam terus disesali dan ditangisi, Husain dan para pengikutnya diisolasi selama berhari-hari sehingga kehausan. Berbagai upaya untuk melunakkan hati para pengepungnya gagal dilakukan. Saat mereka putus asa dan memaksa untuk meraih air, kemudian dibantai satu-persatu. Husain bin Ali bin Abi Thalib cucu Rasulullah ini, kemudian menemui ajalnya dengan sangat tragis. Kepalanya terpisah dari badannya.
Kematian Husain terus dikenang dan diperingati, sebagai simbol perlawanan antara yang hak dan bathil. Husain juga menjadi simbol keberanian sekaligus kesiapan berkorban demi menegakkan kebenaran. Bahkan Rasulullah sering disebut dengan panggilan Jaddal Husaini yang artinya kakek Husain.
Sementara itu Hasan bin Ali sang kakak kembar dilupakan. Walaupun secara substansial, jasa Hasan dalam menjaga persatuan ummat dan melindungi hak rakyat atas masalah kepemimpinan, tidak kalah penting dibanding patriotisme Husain yang sangat gigih dalam menegakkan kebenaran.
Tewasnya dua saudara kembar cucu kesayangan Rasulullah ini, meninggalkan pertanyaan theologis: Apakah kematian mereka yang tragis di usia muda disebabkan Allah bermaksud memutus hubungan darah dalam kepemimpinan Islam yang kini dikenal dengan politik dinasti? Wallahua’lam.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi