Kurawa dan Pandawa adalah sepupu, keturunan prabu Sentanu yang memiliki putra bernama Wicitrawirya yang memiliki dua putra yaitu Destarastra sebagai ayah Kurawa dan Pandudewanata sebagai ayah Pandawa.
KebencinAkibat perebutan tahta kekuasaan kerajaan Hastinaputera maka terjadi permusuhan antara Kurawa yang didukung tim pemenangan di bawah pimpinan Sengkuni melawan Pandawa yang didukung tim pemenangan di bawah pimpinan Sri Kresna.
Masing-masing kubu habis-habisan all-out rawe-rawe-rantas-malang-malang-putung memberhalakan junjungan masing-masing sebagai yang terbaik, teradil, terjujur, terarif, terbijaksana, terluhur, termulia dan ter-ter lain-lainnya.
Dalam terbawa gejolak syahwat perebutan kekuasaan timbul kebencian antara Kurawa terhadap Pandawa dan sebaliknya yang menular ke tim pemenangan masing-masing.
Terhanyut arus kebencian luar biasa deras tak menentu arah maka kedua kubu sibuk saling mengolok, mengejek, menyemooh, menghujat, memfitnah, menjebak, membongkar, menyabot demi membunuh karakter pihak lawan sehingga kebencian makin memuncak sampai akhirnya meledak menjadi Bharatayudha di padang kurusetra menewaskan seluruh anak-cucu Destarastra yang tergabung di kubu Kurawa.
Segenap anggota keluarga besar Pandawa juga perlaya di medan Bharatayudha dengan hanya menyisakan Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa dan Drupadi.
Hampa dan GetirBharatayuda merupakan bukti kemubaziran kebencian. Alih-alih euphoria bergembira-ria euforia merayakan kemenangan ternyata Pandawa hanya murung akibat kecewa menghadapi fakta bahwa Bharatayuda hanya mewariskan perasaan hampa bahkan getir belaka.
Alih-alih menikmati kekuasaan yang dengan susah payah berhasil direbut, malah Pandawa mewariskan tahta singgasana kerajaan Hastinapura kepada cucu Arjuna yang tidak gugur di Bharatayuda yaitu Parikesit.
Dengan perasaan hampa dan getir, Yudistira beserta isteri dan keempat adiknya menanggalkan serta meninggalkan segenap atribut gemerlap duniawi demi sebagai rakyat jelata tanpa dikawal paspampres menempuh perjalanan menuju ke swargaloka sebagai tujuan akhir kehidupan yang sejati.
Insha Allah, kemubaziran kebencian yang memuncak menjadi malapetaka mahadahsyat Bharatayudha bisa menjadi teladan buruk untuk tidak ditiru oleh mereka yang sedang lupa daratan maka saling membenci akibat sibuk memperebutkan kekuasaan di dunia fana ini.
Penulis adalah pembelajar falsafah wayang purwa.