Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dubes Korsel: Untuk Waktu Yang Cukup Panjang, Solusi Akhirnya Adalah Satu Korea

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 15 Mei 2018, 08:00 WIB
Dubes Korsel: Untuk Waktu Yang Cukup Panjang, Solusi Akhirnya Adalah Satu Korea
Kim Changbeom/RMOL
rmol news logo Pertemuan dua pemimpin Korea, Presiden Republik Korea Moon Jaein dan Pemimpin Tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea Kim Jong Un di Panmunjom, akhir April lalu menghasilkan kesepakatan yang mengarahkan keduanya kepada perdamaian abadi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Tetapi, urusan Semenanjung Korea bukan hanya milik Korea Utara dan Korea Selatan saja. Ada pihak-pihak lain yang patut diperhitungkan pandangan dan pendapatnya. Terutama Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Federasi Rusia dan Kerajaan Jepang.

Pihak-pihak ini ikut menentukan apakah pada akhirnya perdamaian abadi di Semenanjung Korea akan bisa dicapai, atau tidak.

Wartawan Rakyat Merdeka, Teguh Santosa, mewawancarai Dutabesar Republik Korea, Kim Changbeom, baru-baru ini untuk mengetahui lebih jelas prospek dan tantangan yang dihadapi kedua Korea. Termasuk soal for­mulasi Korea Bersatu. Berikut petikannya:

Bagaimana perasaan Anda ketika menyaksikan pertemuan antara Presiden Republik Korea Moon Jaein dan Pemimpin Tertinggi Republik Rakyat Demokratik Korea Kim Jong Un, 27 April lalu?
Secara pribadi saya terlibat dalam banyak negosiasi dengan Korut. Saat bertugas di Jakarta, antara 2003 hingga 2005, saya cukup beruntung dapat menye­lenggarakan pertemuan antara Menlu Korsel dan Menlu Korut di tahun 2004 bersamaan den­gan ASEAN Regional Forum (ARF).

Saat itu saya berhubungan dengan diplomat Korut di Kedutaan Korut di Jakarta, dan akhirnya bisa menyelenggarakan pertemuan antara Menlu Korsel Bang Kimoon dan Menlu Korut Paek Nam Sun yang sudah meninggal dunia. Itu hampir 14 tahun lalu.

Sekarang setelah kembali ke Jakarta, saya mengalami sebuah peristiwa yang sangat berseja­rah, bertemu Dutabesar Korut atas undangan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka.

Saya pribadi merasa, mungkin ditakdirkan untuk melakukan se­suatu yang bisa membawa kami pada proses perdamaian.

Saya menyaksikan siaran langsung pada tanggal 27 April 2018, dan tersentuh oleh adegan ketika Ketua Kim Jong Un me­lintasi batas. Sebetulnya garis demarkasi tidak ada pagar, tidak ada dinding batu, garis kecil yang hampir tidak terlihat. Dia melangkahkan kakinya memasu­ki wilayah selatan Demiliterized Zone. Ini adalah kali pertama pemimpin Korea Utara melintasi garis itu.

Mereka berdua berbicara satu sama lain hampir selama tujuh jam. Pembicaraan keduanya dibungkus dalam Deklarasi Panmunjom.

Pertemuan tingkat tinggi antara kedua Korea terakhir sebe­lum ini dilakukan di tahun 2007, sebelas tahun lalu. Tetapi tidak banyak interaksi antara Korut dan Korsel setelahnya.

Sementara di akhir pertemuan di Panmunjom, kedua pemimpin sepakat untuk meningkatkan hubungan inter Korea dan meng­konkretkan agenda denukliri­sasi, juga sepakat mengurangi ketegangan demi membawa struktur perdamaian abadi di Semenanjung Korea.

Pemerintah Indonesia, Presiden Jokowi dan seluruh pemimpin menyambut baik dan mengucapkan selamat atas pen­capaian luar biasa ini.

Tetapi kita masih menyak­sikan bagian awal, saya rasa. Tentu saja ini telah dicatat se­bagai babak baru dalam sejarah hubungan kedua Korea. Kita harus melanjutkan perjalanan untuk mencapai tujuan tera­khir, yaitu perdamaian abadi di Semenanjung Korea.

Pertemuan pertama pemimpin kedua Korea, antara Kim Jong Il dan Kim Daejung, dilakukan ta­hun 2000. Lalu pertemuan kedua di tahun 2007 antara Kim Jong Il dan Roh Moohyun. Keduanya di Pyongyang, Korea Utara. Apa posisi Anda saat itu?

Di tahun 2007, ketika per­temuan dilakukan pada 4 Oktober, saya adalah Direktur Jenderal Biro Regime Perdamaian Semenanjung Korea di Kementerian Luar Negeri. Dalam pertemuan tingkat tinggi itu juga ada kesepakatan prin­sipil untuk mengakhiri gencatan senjata. Juga ada ajakan untuk melakukan pembicaraan yang Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

Kesepakatan ini dipastikan kembali oleh putra dari Pemimpin Tertinggi Korut di masa itu. Secara khusus saya kira kita menemukan kenyataan bahwa pemimpin Korut kini secara pribadi memiliki komitmen yang lebih untuk melanjutkan pembicaraan damai.

Kepercayaan dan komitmen pemimpin Korut akan memberi­kan kontribusi baik dan menjadi faktor yang mempercepat proses perdamaian di Semenanjung Korea.

Benarkah bahwa dua per­temuan tingkat tinggi sebelum­nya tidak berdampak karena perubahan regime di Korsel?
Banyak yang mengatakan, sebetulnya lebih mudah mem­pelajari politik Korut daripada politik Korsel, karena Korut han­ya punya satu regime. Sementara di Korsel, kalau yang berkuasa adalah partai seperti yang seka­rang berkuasa, maka hubungan kedua Korea akan lebih dekat. Sementara kalau yang berkuasa adalah kubu konservatif maka hal sebaliknya yang terjadi.

Korsel, seperti Indonesia, me­nikmati demokrasi yang dewasa. Kami memiliki agenda pemili­han presiden lima tahun sekali. Di sini dua periode maksimal, di Korea Selatan kami memiliki sistem single term presidency, hanya satu periode.

Saya rasa, sebagian disebab­kan oleh orientasi politik partai yang berkuasa di Korsel. Tetapi ini juga terkait dengan situasi di Korut. Ada semacam kesulitan dalam hal mengkonsolidasi kekuasaan di Korut menyusul kematian mendadak Ketua Kim Jong Il. Saya kira kepemimpin baru, Ketua Kim Jong Un yang mulai berkuasa tujuh tahun lalu merasa kini saat yang tepat bagi mereka untuk keluar dengan lebih percaya diri dan inisiatif baru.

Ada juga kalangan yang mengatakan bahwa pertemuan itu adalah hasil dari tekanan Presiden Donald Trump. Bagaimana respon Anda?
Ada banyak elemen yang perlu kita pertimbangkan. Termasuk posisi Amerika Serikat. Kebijakan Presiden Trump memberikan tekanan maksi­mum kepada Korut mungkin memberikan kontribusi ter­hadap perubahan strategis di Semenanjung Korea.

Tetapi saya rasa, ada tiga kunci utama yang menghasil­kan perubahan ini. Pertama adalah solidaritas internasional. Resolusi Dewan Keamanan PBB membuat Korut berpikir lebih serius tentang kebutuhan untuk berubah.

Kedua adalah konsistensi dari gesture dan inisiatif Korsel terutama Presiden Moon Jaein. Tanpa gesture politik Korsel yang membuat suasana menjadi hangat, Korut tidak bisa bergerak secara strategis.

Ketiga, terkait dengan fak­tor Korut. Ketua Kim Jong Un sendiri, saya kira, merasa bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk bergerak. Setelah mende­klarasikan bahwa Korut telah menyempurnakan status sebagai negara nuklir, kini saatnya fokus pada sektor ekonomi.

Tentu saja ketiga elemen ini sebetulnya saling berkaitan. Tidak ada hal spesifik yang dapat dikatakan sebagai faktor paling penting yang membuat Korut bergerak.

Selama ini pihak Korut selalu mengatakan bahwa perdamaian di Semenanjung Korea hanya bisa dicapai melalui dialog antara kedua Korea dan bangsa Korea, tanpa intervensi pihak asing. Bagaimana Anda menjawab hal ini?
Kita tahu bahwa stakeholder utama dan paling penting da­lam dinamika ini adalah Korut dan Korsel. Tetapi di saat yang bersamaan, saya tidak meng­gunakan istilah intervensi, kita memerlukan kerjasama dan dukungan dari stakeholder lain, seperti AS, China, Rusia, dan juga Jepang.

Itu sebabnya, saya kira, Ketua Kim Jong Un melakukan kun­jungan ke China, yang sangat mengejutkan, sebelum per­temuan inter Korea.

Juga, menurut Presiden Moon Jaein, dia sebetulnya mengha­biskan lebih banyak tenaga dan waktu untuk berdiskusi dengan AS dalam mempersiapkan per­temuan kedua Korea, daripada menghabiskan energi dan waktu untuk mendiskusikannya dengan Korut.

Apakah isu denuklirisasi atau garansi keamanan terhadap Korut, semuanya melibatkan partisipasi dan kontribusi proak­tif, stabil dan konsisten dari, sebagai contoh, AS dan juga China. Jadi saya kira sudah jelas bahwa kami harus berkoordinasi dengan stakeholder yang relevan sehingga semua proses ini bisa dipercepat.

Ini artinya tentara AS akan tetap tinggal di Korsel?
Telah dikatakan Presiden Moon bahwa penempatan tentara AS di Korsel dalam kerangka perjanjian aliansi antara Korsel dan AS. Tidak ada hubungannya dengan perjanjian damai.

Apakah begitu juga dengan latihan militer bersama antara Korsel dan AS?
Ya, saya percaya begitu, akan terus dilanjutkan.

Bagaimana dengan keberadaan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD)?
Itu sudah ditempatkan. Tidak ada alasan (mengangkat kembali hal ini).

Bagaimana dengan China yang sebelumnya menolak ke­hadiran THAAD di kawasan?
Ini cerita yang cukup lama. Mungkin Anda bisa memeriksanya di beberapa arsip. (Tertawa)

Yang Mulia, apakah mung­kin bagi kita memiliki hanya satu Korea di masa depan?
Untuk waktu yang cukup panjang, solusi akhirnya adalah satu Korea. Tetapi tentu saja ini seperti marathon, dan proses ini membutuhkan perseverance dan upaya yang kokoh dan juga me­libatkan pendekatan-pendekatan komprehensif dari Korut dan Korsel untuk menjawab berba­gai isu penting.

Di dalam Deklarasi Panmunjom telah ditetapkan tujuan bahwa kita harus mengurangi kete­gangan militer dan mengurangi risiko apapun dari konfrontasi, dan juga memulai pembicaraan bagaimana membangun per­damaian abadi dan permanen di Semenanjung Korea. Tetapi, yang paling pertama adalah berusaha mengakhiri status ber­musuhan dan gencatan senjata.

Saya kira kedua belah pihak secara prinsipil setuju pada pendekatan inkrimental dan gradual ke arah pencapaian tertinggi reunifikasi pada akhirnya.

Saya kira stakeholder lain­nya, seperti AS dan China, juga negara-negara lain yang memiliki perhatian pada isu ini kurang lebih sejalan dengan isi Deklarasi Panmunjom.

Dalam pertemuan di tahun 2000 antara Kim Jong Il dan Kim Daejung sempat dibicara­kan kemungkinan dari for­mula satu Korea. Ada gagasan tentang konfederasi dan ada juga yang menawarkan bentuk persemakmuran. Bagaimana menurut Anda?
Formua dari reunifikasi me­mang sempat dibicarakan dalam Deklarasi 6 Juni yang ditanda­tangani Presiden Kim Daejung dan Ketua Kim Jong Il saat itu. Tetapi tidak ada follow up terh­adap formula spesifik, walaupun pertemuan 27 April yang lalu memastikan kembali komitmen dari pertemuan di masa sebelum­nya. Saya kira terlalu cepat untuk mengatakan formula seperti apa yang harus kami hasilkan.

Seperti saya katakan, ini adalah pendekatan yang inkremantal dan gradual. Di dalam pembicaraan selanjutnya, bisa saja isu ini mun­cul di atas meja. Tetapi sejauh yang saya tahu tidak ada agenda itu dalam pembicaraan antara Presiden Moon dan Ketua Kim.

Apakah Kawasan Industri Kaesong akan segera dibuka?
Saya tidak punya informasi apapun hal itu. Sesungguhnya sanksi AS (pada Korut) masih berlaku. Selama itu, tidak ada cara untuk melalukan transaksi keuan­gan dengan Korut. Itu sebabnya, di dalam Deklarasi Panmunjom juga tidak disinggung soal Kawasan Industri Kaesong.

Ini artinya kita masih harus menunggu hasil pertemuan Presiden Trump dan Ketua Kim?
Bahkan, setelah pertemuan itu pun kita bisa jadi belum melihat keputusan tentang pembukaan kembali Kawasan Industrial Kaesong. Karena sanksi PBB masih berlaku dan kita harus melakukan sesuatu di luar situasi sekarang ini. Kita memerlukan sinyal yang jelas dari Korea Utara bahwa mereka betul-betul komit melakukan de­nuklirisasi. Kalau tidak, sanksi PBB tidak akan dicabut.

Bagaimana dengan men­gakhiri perjanjian gencatan senjata dan menggantinya dengan perjanjian damai di akhir tahun ini?
Perjanjian damai adalah ta­hap akhir (endgame). Apa yang telah disetujui di akhir tahun nanti adalah untuk secara resmi mendeklarasikan akhir dari status gencatan senjata. Dalam rangka itu telah disetujui kebutuhan me­nyusun formula dari pertemuan tiga pihak atau empat pihak. Kita mengharapkan inilah yang ter­jadi di akhir tahun, mengakhiri secara resmi status gencatan sen­jata menuju perdamaian abadi di Semenanjung Korea. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA