Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Presiden Joko Widodo (Bukan) Mandor Bangunan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/haris-rusly-moti-5'>HARIS RUSLY MOTI</a>
OLEH: HARIS RUSLY MOTI
  • Senin, 07 Mei 2018, 18:55 WIB
Presiden Joko Widodo (Bukan) Mandor Bangunan
Foto/Net
KONON kabarnya kebijakan ekonomi dan keuangan yang dirilis oleh Pemerintahan Joko Widodo dalam berbagai bentuk paket, sepenuhnya disetir oleh investor, baik investor lokal maupun asing.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Jika terkait kebijakan ekonomi dan investasi, kabarnya Pak Joko Widodo tak mau berdiskusi dan mendengar masukan dari pihak manapun.

Katanya kuping Pak Presiden nyaris tak ada saringannya setiap mendengar kritik dan masukan yang datang dari pihak investor, langsung dijabarkan ke dalam bentuk kebijakan.

Kritik dan masukan yang datang dari lingkaran dalam pemerintahan maupun dari pihak oposisi, walaupun baik untuk kepentingan bangsa, pasti dianggap angin lalu saja.


Pak Joko tak menghiraukan jika diingatkan tentang dampak dari sebuah kebijakan ekonomi yang membahayakan keamanan nasional dan mengancam kedaulatan negara. Katanya Pak Presiden Joko sangat keras kepala, cenderung ngeyel dan menggampangkan masalah.

Sebagai contohnya adalah kebijakan yang lahir secara kilat dalam bentuk Perpres Nomor 20/2018 tentang TKA. Diduga kuat Perpres TKA itu dibuat sebagai salah satu syarat yang diajukan investor kereta cepat Jakarta-Bandung untuk mencairkan anggaran tahap awalnya.

Sebelumnya, sejumlah kebijakan ekonomi yang sangat membahayakan keamanan nasional dan kedaulatan negara juga dirilis oleh pemerintahan Joko Widodo.

Diantaranya pertama, Perpres Nomor 21 tahun 2016, tentang kebijakan untuk membebaskan visa kunjungan kepada 169 negara, katanya untuk menarik turis dan investasi asing.

Kedua, kebijakan yang membolehkan WNA memiliki property di Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 103 tahun 2015. Padahal UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) melarang hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah dan bangunan terhadap WNA.

Investor Sebagai Panglima

Jika di zaman Orde Lama, kita dikenalkan dengan jargon politik sebagai panglima. Di zaman Orde Baru dikenal juga dengan jargon ekonomi sebagai panglima.

Lalu di zaman reformasi dikenal dengan jargon demokrasi sebagai panglima. Maka di zaman Pak Joko Widodo saat ini, jargonnya turun pangkat menjadi sangat teknis, yaitu investor sebagai panglima.


Jargon investor sebagai panglima itu terlihat jelas dari warna berjilid-jilid paket kebijakan dibuat oleh Pak Joko, yaitu untuk melindungi, menciptakan kenyaman dan keamanan bagi tuan besar investor.

Kendati dampak dari kebijakan itu mengancam keamanan nasional dan menempatkan rakyat kita menjadi "koeli" yang melarat dan kelaparan di negeri sendiri, tak akan menjadi soal bagi Pak Joko.

Coba perhatikan Donald Trump, apapun kata orang tentang pribadinya. Tetap saja Trump adalah pemimpin yang hebat dan sangat tepat untuk rakyat dan negara Amerika saat ini.

Di saat terpilih menjadi Presiden USA, yang pertama kali dilakukannya adalah memproteksi (melindungi) rakyat dan negaranya melalui kebijakan pengetatan border protection-nya yang sangat kontroversial.

Donald Trump bertindak melawan doktrin dan arus pasar bebas yang telah menjadi kesepakatan global, yaitu dengan memproteksi industri nasionalnya yang runtuh digempur oleh industri dari China.

Trump memberlakukan tarif 25 persen untuk baja impor dan 10 persen untuk aluminium. Bagi Trump, industri baja dan alumunium yang kuat penting bagi keamanan nasional.

Berbeda dengan Pak Joko yang katanya berasal dari wong cilik dan dari kaum nasionalis, namun tak nampak kebijakan yang dibuat untuk melindungi rakyat kecil dari predator ekonomi global yang keji dan tak beradab.

Padahal tugas utama dari dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang tercantum di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi (memproteksi) segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Pak Joko tak membuat kebijakan yang memproteksi petani kita yang digempur dan dihabisi oleh kartel impor pangan. Pak Joko juga tak memproteksi industri nasional kita yang tumbang oleh serangan industri asing.

Pak Joko juga tak melindungi tenaga kerja dan calon tenaga kerja kita yang terancam oleh gempuran kuli-kuli asing di era pasar bebas.

Perhatikan nasib driver ojek on line yang terlunta-lunta yang tak dilindungi oleh negara, terancam terserang penyakit TBC dan sejenisnya akibat polusi yang dihirup di jalanan.

Presiden (Bukan) Mandor

Kita memang menangkap kesan, selama hampir empat tahun berkuasa, Presiden Joko Widodo bertindak tak ubahnya seperti seorang mandor, yang menjalankan tugas dari pemborong.

Memang tragis nasib bangsa kita, sejak zaman kolonial hingga saat ini, mentalitas pejabat kita tak berubah, tetap bermental mandor yang bekerja untuk kepentingan kompeni (berasal dari company, VOC).

Seorang Presiden itu mendapatkan mandat dari rakyat yang memilihnya, bekerja dan menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan konstitusi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Berbeda dengan mandor bangunan misalnya, diangkat dan diberi tugas oleh pemborong, menjalankan perintah dari pemborong. Mandor tak punya kewenangan membuat keputusan. Hanya bisa bertindak do atau don't.

Hakikat dari pekerjaan mandor itu adalah untuk memastikan kuli-kuli miskin bekerja siang malam di bawah pengawasannya untuk memperkaya sang juragan kompeni.

Bisa dibayangkan jika seorang Presiden itu bermental mandor, maka seluruh langkahnya adalah untuk memastikan berjalannya kepentingan sang tuan investor, mensejahterakan dan memperkaya tuan investor.


Di zaman kolonial, juragan pabrik bergelimang gulden hasil penjualan produk pabriknya di pasar Eropa, si mandor kecipratan recehan gulden tersebut, sementara kuli-kuli kebun dan pabrik tetap miskin mengenaskan.

Demikianlah nasib rakyat kita saat ini, ternyata bumi masih datar, belum berubah jadi bulat, nyatanya belum terjadi putaran nasib, rakyat kita masih belum berganti nasib, tetap menjadi kuli miskin seperti zaman kompeni VOC, menderita lapar dan dipimpin oleh gerombolan pejabat yang bermental mandor.[***]

*Penulis adalah aktivis Petisi 28 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA