Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dubes Palestina: Jerusalem Ibukota Abadi Negara Palestina

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Kamis, 26 April 2018, 08:28 WIB
Dubes Palestina: Jerusalem Ibukota Abadi Negara Palestina
Dutabesar Dr. Zuhair Alshun/RMOL
PERJUANGAN bangsa Palestina masih panjang. Walaupun faktanya dalam sidang Majelis Umum PBB di bulan November 2012 sebanyak 138 dari 193 anggota PBB memberikan pengakuan kepada Negara Palestina sebagai negara peninjau bukan anggota (non-member observer state).

Sebanyak 41 negara memilih abstain dan sembilan negara lainnya menolak kendati masih mengakui Palestine Liberation Organization (PLO) yang didirikan pada tahun 1964 di Ramalah, Tepi Barat, sebagai perwakilan bangsa Palestina.

Tuntutan utama bangsa Palestina adalah pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan terhadap Negara Palestina di wilayah sebagaimana tercantum dalam Partition Plan yang telah diadopsi Sidang Umum PBB menjadi Resolusi 818 (II) pada bulan November 1947. Di dalam Partition Plan disebutkan bahwa Negara Palestina berhak atas kedaulatan di Jalur Gaza yang berada di tepi Laut Mediterania dan berbatasan dengan Mesir serta di Tepi Barat yang bersebelahan dengan Jordania. Juga atas sebuah enclave pemukiman bangsa Arab di Jaffa yang berdampingan dengan Tel Aviv.

Di sisi lain, bagi bangsa Palestina, Jerusalem adalah pusat pemerintahan, selain merupakan salah satu kota suci bagi umat Muslim. Posisi Jerusalem sebagai ibukota Negara Palestina dinyatakan pertama kali pada saat proklamasi kemerdekaan Negara Palestina di bulan November 1988 oleh Dewan Nasional Palestina. Kemudian ditegaskan kembali oleh Dewan Legislatif Palestina pada 2002.

Akhir tahun 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Manuver Trump ini memicu ketegangan baru di samping ketegangan tradisional yang selama ini terjadi akibat perluasan pemukiman Israel di tanah Palestina yang terus berlangsung.  

Redaksi mengunjungi Dutabesar Palestina untuk Indonesia, DR. Zulhair Al Shun, di kantornya, Jalan Ki Mangunsarkoro No. 64, Menteng. Ini adalah kantor baru Kedubes Palestina yang sebelumnya berada di Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng.

Dubes Alshun lahir di Irtah sebuah distrik di Tulkram, Tepi Barat, pada 31 Juli 1958. Sebelum ditugaskan ke Jakarta, ia lebih dahulu ditugaskan sebagai Dubes Palestina di Kerajaan Maroko antara 2015 hingga 2017. Itu sebabnya, keluarga Dubes Al Shun, seorang istri dan tiga anak, masih berada di Rabat, Maroko.

Pada tahun 2008 hingga 2015, diplomat senior ini bertugas sebagai Dubes Palestina di Ethiopia yang juga meng-cover Kenya dan Uganda. Di saat bersamaan, Dubes Alshun juga bertugas sebagai perwakilan PLO di United Nations Environment Programme (UNEP) dan United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat).

Dubes Al Shun mendapatkan gelar master dan doktor bidang administrasi bisnis dari Universitas Rajathan, Jaipur, India.

Berikut adalah kutipan wawancara redaksi dengan Dubes Palestina Dr. Zuhair Al Shun:

Selamat datang di Jakarta. Bagaimana perasaan Anda bertugas di Indonesia?

Terima kasih atas sambutannya. Seperti yang sudah saya sampaikan kepada Menteri Luar Negeri RI Ibu Retno Marsudi, saya sangat senang dengan persaudaraan kedua bangsa, Indonesia dan Palestina. Saya sebenarnya tidak merasa asing berada di Indonesia. Saya merasa disini ada ketenangan, ada cinta dengan rakyat Indonesia. Insya Allah, perasaan ini akan tetap berlanjut sampai akhir hayat.

Kami dengar keluarga Anda masih berada di Maroko. Bisa Anda ceritakan sedikit?

Itu benar. Keluarga saya belum bisa ikut ke Jakarta. Anak-anak saya masih sekolah. Insya Allah kalau mereka sudah selesai sekolah, keluarga akan ikut saya ke Jakarta. Ada satu anak saya yang akan selesai SMA, dan akan didaftarkan di salah satu universitas di Indonesia untuk belajar di Fakultas Kedokteran. Anak saya yang paling kecil, kelas 9, atau SMP, juga akan didaftarkan sekolah di Jakarta. Tetapi yang paling besar masih kuliah dan akan tetap di Maroko sampai sekolahnya selesai.

Tentu ini sudah sering dibicarakan, tetapi secara khusus saya ingin mendengarkan pandangan Anda tentang sejarah hubungan kedua negara.

Kalau kita membahas dukungan Indonesia kepada rakyat Palestina dan perjuangan Palestina, itu cukup besar. Kami menghormati dan sangat menghargai dukungan ini, dimana Indonesia mendukung Palestina atas dasar yang kokoh, mendukung bangsa Palestina kembali ke tanah mereka, dan mendukung bangsa Palestina untuk mendirikan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Selain dukungan politik dan diplomatik, Indonesia juga pernah dan sampai sekarang memberikan bantuan dalam bentuk ekonomi dan keuangan. Salah satunya adalah gedung Kedutaan baru ini yang kami anggap sebagai hadiah dari pemerintah Indonesia.

Kami sangat menghargai dukungan dan bantuan ini, dimana kami tahu walaupun ekonomi Indonesia tidak, apa namanya, tidak begitu kaya, tetapi tetap mau memberikan bantuan kepada rakyat Palestina.

Terkait dukungan Indonesia pada rakyat Palestina dan pemerintah Palestina, apakah pihak Palestina sangat puas?

Kami tidak meragukan usaha Indonesia untuk mendukung perjuangan Palestina. Indonesia merupakan salah satu negara besar, dan negeri Islam terbesar, yang memiliki eksistensi dan kekuatan yang sangat besar pula di berbagai organisasi dan forum internasional. Indonesia bisa memainkan peranannya yang sangat penting dengan baik. Peran penting Indonesia itu sangat jelas. Dan untuk dukungan Indonesia itu, kami sangat menghargai.

Dukungan Indonesia kepada Palestina tidak hanya disampaikan di organisasi internasional, melainkan juga di organisasi lain seperti OKI dan ASEAN. Indonesia juga sangat aktif mengajak negara lain untuk mendukung dan membantu negara Palestina.

Amerika Serikat berencana memindahkan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem. Bagaimana pandangan Anda?

Kami melihat keputusan ini sebagai keputusan yang mengecewakan karena menghambat proses perdamaian. Keputusan itu juga berarti bahwa Amerika Serikat mengundurkan diri dari posisi sebagai moderator. Presiden Donald Trump kini secara nyata terlihat menjadi mitra pemerintah Israel yang dipimpin Benyamin Netanyahu dalam soal pendudukan tanah Palestina.

Kini Amerika Serikat tidak lagi berperan sebagai mediator yang seharusnya netral dan membantu mencari solusi dalam upaya menciptakan perdamaian.

Namun kami berharap mereka mau berpikir kembali tentang keputusan itu.

Presiden Trump dan Amerika Serikat tidak memiliki tanah ini. Dengan demikian mereka tidak berhak memberikan tanah ini untuk siapapun, termasuk kepada Israel.

Kami sudah memutuskan, Jerusalem sebagai ibukota abadi Palestina. Kalau kita lihat kenyataan di Jerusalem, semua hal memperlihatkan bahwa kota ini, Jerusalem, adalah kota Palestina, kota Arab, dan kota Islam, yang akan tetap seperti itu selama-lamanya.

Apa kira-kira motif Amerika Serikat sehingga mereka ingin memindahkan Kedubes mereka dari Tel Aviv ke Jerusalem?

Kalau kita bertanya mengapa mereka mengambil langkah itu, sebenarnya terkait dengan ketegangan yang sekarang terjadi di Timur Tengah. Secara spesifik dan secara umum, umat Islam sedang mengalami banyak perang dengan sesamanya. Ini membuat kita tidak bersatu dan lemah. Pihak yang diuntungkan oleh situasi ini adalah negara-negara lain.

Dari sisi lain, saya kira ini juga berkaitan dengan persoalan internal di Amerika Serikat, yakni untuk memuaskan kelompok konservatif di sana.

Tetapi waktu mereka membuat keputusan ini, mereka tidak memperhitungkan akibatnya. Mereka kaget dan hal yang membuat mereka kaget adalah reaksi umat Islam dan reaksi warga Palestina. Mereka tidak menyangka bahwa kami bersatu. Kami berharap umat Islam benar-benar bersatu untuk menjatuhkan dan menggagalkan rencana Amerika Sertikat ini.

Tadi Anda mengatakan bahwa negeri-negeri Muslim di Timur Tengah tidak satu suara. Ini salah satu pertayaan yang kerap muncul ke permukaan setiap kali kita membahas sikap negeri-negeri Muslim dan Arab dalam hampir semua isu di Timur Tengah. Mengapa hal ini terjadi?

Sebenarnya, semua hal yang terjadi baik di Timur Tengah, di kalangan umat Islam, maupun secara umum, adalah hasil dari prinsip kolonialisasi, divide and rule.

Mereka, colonial powers, memanfaatkan titik lemah negara Arab dan negara Islam dengan membuat fitnah dan menciptakan perpecahan di kalangan internal dan umat Muslim. Dengan demikian mereka, colonial powers, bisa menjalankan agenda mereka, seperti mengontrol sumber daya alam, juga untuk menopang dan menjaga kelangsungan hidup negara Israel.

Masyarakat internasional juga sering menyoroti problem domestik Palestina, perpecahan antara Hamas yang berkuasa di Gaza dan Fatah yang berkuasa di Tepi Barat. Banyak pandangan yang menilai, sulit membayangkan Palestina bisa memiliki satu suara bila di lingkungan internal Palestina juga terjadi perpecahan…

Saya kira ada kesalahapahaman dalam melihat persoalan ini. Kepemimpinan dan otoritas Negara Palestina sampai sekarang masih satu dan merupakan kepemimpinan nasional yang mewakili seluruh rakyat Palestina.

Masalah yang terjadi dengan Hamas memang sangat menyedihkan. Hamas melakukan kudeta di tahun 2007, dengan menggunakan senjata. Kami berharap Hamas mau duduk bersama dan punya niat untuk menyelesaikan masalah ini.

Saya setuju dengan Anda, bahwa itu melemahkan pihak Palestina dalam negosiasi menghadapi konspirasi yang sedang dijalankan pihak lain. Tidak ada satu orang pun di Palestina yang mendukung perpecahan ini (antara Hamas dan Fatah), kecuali musuh Palestina dan musuh umat Islam.

***

Didirikan tahun 1954, untuk waktu yang cukup lama Fatah menjadi faksi politik utama di Palestina. Pendiri dan pemimpin Fatah, Yasser Arafat, menjadi pemimpin PLO sekaligus ikon internasional perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina hingga ia meninggal dunia di tahun 2004.  

Konstelasi politik di Palestina memasuki babak baru setelah di tahun 1987 kelompok yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin mendirikan Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas) dan menguasai Jalur Gaza.

Berbeda dengan Fatah, Hamas menginginkan semua wilayah yang disebutkan di dalam Partition Plan 1947 menjadi wilayah Palestina.

Setelah Yasser Arafat meninggal dunia pada 11 November 2004, Pemimpin Fatah lainnya, Mahmoud Abbas, secara aklamasi ditunjuk menggantikan Arafat. Legitimasi politik Abbas semakin kuat setelah ia memenangkan pemilihan presiden pada Januari 2005.

Setahun kemudian giliran Hamas yang memenangkan pemilihan anggota Parlemen dengan merebut 74 kursi dari total 132 kursi di Parlemen Palestina, dan menempatkan pemimpin Hamas Ismail Haniya sebagai perdana menteri.

Setelah serangkaian konflik bersenjata antara Fatah dan Hammas di tahun 2007, pada tanggal 14 Juni 2007, Presiden Mahmoud Abbbas mengumumkan pembubaran pemerintahan Ismail Haniya.


***

Kalau kita melihat situasi di arena global, saat ini terjadi persaingan baru antara Amerika Serikat, Federasi Rusia, dan Republik Rakyat China (RRC). Sering disebutkan bahwa AS mendapatkan tantangan yang serius dari RRC, sementara Rusia pun kembali tampil sebagai salah satu pemain utama dalam banyak isu internasional. Bagaimana Palestina memandang perubahan global politic landscape ini dalam kaitannya dengan upaya mendapatkan pengakuan sebagai negara yang merdeka?

Dari era PLO sampai era Negara Palestina sekarang, kami mengadopsi prinsip untuk tidak mengintervensi dan campur tangan dalam masalah negara lain. Kami tentu mengamati apa yang terjadi di lapangan internasional dengan menggunakan kacamata kepentingan nasional kami. Kami cukup putus asa dengan peran buruk Amerika Serikat sebagai mediator dan sponsor perdamaian di Timur Tengah.

Sementara mengenai RRC dan Rusia, atau negara lain, perlu saya sampaikan bahwa kami bergeak berdasarkan kepentingan nasional kami dan demi mendapatkan dukungan kemerdekaan atas Negara Palestina.

Jadi, kami tidak ada masalah (dengan persaingan global baru) dan kami mencari frame yang lain. Kami tidak ingin ada satu negara saja yang mengontrol dan mendominasi  proses perdamaian di Timur Tengah. Kami ingin kuartet internasional, yakni Uni Eropa, AS, Rusia dan PBB, bersama-sama terlibat aktif dalam pembicaraan damai Timur Tengah.

Kami tengah mencari alternatif untuk menyelesaikan dominasi AS (dalam isu Timur Tengah) dimana kebijakan terakhir (memindahkan Kedubes ke Jerussalem) telah membatalkan posisi negara itu sebagai mediator netral dalam pembicaraan damai.

Bagaimana relasi antara Palestina dan  Rusia dan China sejauh ini terhadap Negara Palestina bagaimana?

China dan Rusia adalah negara sahabat kami. Mereka mendukung perjuangan Palestina dari dulu hingga sekarang. Mereka mendukung hak bangsa Palestina memiliki negara sendiri berdasarkan hukum-hukum internasional yang ada. Mereka mendukung proses perdamaian dan lebih adil tanpa memaksa salah satu pihak. Mereka lebih netral. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA