Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Teluk Yang Kian Labil

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Senin, 02 April 2018, 14:56 WIB
KEPUTUSAN Saudi membeli 48 jet tempur typhoon produksi BAE System Inggris terus menuai kontroversi.

Pembelian yang akhirnya disepakati saat kunjungan Pangeran Muhammad Salman, pemimpin de facto Kerajaan Saudi ke London awal Maret 2018 menyimpan keprihatinan arms race di Timur Tengah. Terutama pada saat Saudi punya masalah dengan Yaman dan Qatar. Transaksi itu juga menambah inventori jet tempur typhoon Saudi yang sebelumnya telah berjumlah 72 pesawat.

Bagi BAE System, jet tempur yang diproduksi konsorsium bersama Leonardo, Airbus dan BAE System adalah rejeki nomplok. Transaksi senilai 10 milyar pounds mendongkrak saham BAE System di London Stock Exchange (LSE). 21 analis investasi yang meng-cover BAE System di LSE menyebut firma pertahanan defence aerospace and security tersebut akan outperforme pasar saham London.

Oleh karena itu mereka menyarankan agar para investor mempertahankan posisi mereka di BAE System dengan mempertimbangkan sentimen investasi yang membaik sejak Oktober 2015. CEO BAE System, Charles Woodburn menyatakan transaksi tersebut merupakan further endorsement terhadap kredensial produk jet tempur BAE System di mata dunia.
 
Kini perlombaan senjata di Timur Tengah bukan lagi terjadi antara Israel, Iran, Saudi and the rest. Tetapi negara-negara Teluk seperti Qatar pun ikut 'terpaksa' memordenisasi angkatan bersenjatanya.

Sebelum Saudi, Qatar juga telah lebih dahulu melakukan pembelian penting dari BAE System sebanyak 24 jet tempur typhoon senilai 5 miliar Pounds. Qatar tidak ingin membiarkan dirinya terisolasi dan tunduk pada tekanan negara-negara pro-Saudi di kawasan Teluk. 

Sebaliknya, Saudi belakangan semakin gencar melakukan high-profile defense deals. Beberapa di antaranya antara lain adalah pembelian sistem misil HAWK dan Patriot oleh Saudi senilai 500 juta USD, kontrak utility helicopters 17 UH dan 60M Black Hawk senilai 194 Juta USD dengan Lockheed, 480 Juta USD dengan Boeing untuk menopang armada jet F-15 Saudi serta 302 Juta USD bagi Raytheon untuk produk lebih dari 600 senjata kendali presisi jarak menengah bagi kepentingan pertahanan negara tersebut.

Courtner Freer mensinyalir dalam The Defense Post bahwa langkah Saudi itu tidak dapat dipisahkan dari manuver Pangeran Muhammad Salman sebagai pemegang kekuasaan de facto di Saudi yang beberapa bulan sebelumnya telah merombak jajaran komando militer negara gurun tersebut (1/3). Operasi militer Saudi yang memasuki tahun ketiga di Yaman menjadi salah satu faktor utama.

Salman juga melihat kontrak-kontrak militer menjadi salah satu source of corruption yang paling subur di negaranya. Dalam salah satu wawancara dengan media setempat, Pangeran Salman pernah memperlihatkan kegusarannya menyaksikan besarnya pengeluaran militer Saudi yang tidak sebanding dengan high military performance. Salman menilai terdapat kesenjangan antara posisi keempat pembelanja militer dunia tetapi Saudi tidak bergeser dari ranking 20-an militer terbaik di dunia.

Maret tahun ini merupakan periode window shopping bagi Pangeran Salman pada beberapa pemasok kebutuhan militer global. Produk-produk militer Inggris, Perancis dan AS nampaknya menjadi pilihan utama Saudi. Yang menarik dari kecenderungan tersebut, Saudi dan beberapa negara di kawasan Teluk membuka diri pada kemungkinan presensi militer asing untuk berada secara permanen di wilayah tersebut.

Meski terlihat bukan tradisi Riyadh, Saudi memiliki ambisi untuk melokalisir military procurement yang diperoleh dari negara asing. Selain berharap dapat memperoleh boosting ekonomi seperti ketika Saudi menyepakati suatu joint venture dengan Lockheed Martin untuk memproduksi 150 Black Hawk secara lokal di Saudi, Riyadh juga ingin kehadiran mereka bisa menjadi deterensi terhadap agitasi eksternal.

Buktinya, Kuwait pun kini turut menimbang-nimbang untuk menerima kehadiran militer Inggris secara permanen di negara tersebut. Bahrain juga telah memutuskan untuk memordenisasi elit pasukan khususnya dengan mengemangkan tim komando parasut melalui bantuan military adviser Inggris. Ini menjadi puncak frustasi terhadap situasi yang terlihat kian labil di kawasan.

Kecenderungan ironis yang terjadi -setelah Dewan Kerjasama Teluk (GCC) gagal menunjukkan kemampuannya sebagai regional security body terhadap sejumlah krisis kawasan yang sangat krusial, beberapa negara anggotanya ramai-ramai mencari security guarantee dari luar.

Bagaimanapun, sejarah pembentukan GCC pada tahun 1981 tidak dapat ditutup-tutupi sebagai bagian dari kekhawatiran meluasnya efek revolusi Iran ketika itu.

Dalam prosesnya, peran GCC yang utama tidak dapat dilupakan sejarah hanyalah ketika membantu rezim Saddam Husein memerangi Iran pada tahun 1980 serta menghalangi kemungkinan Teheran memenangi perang Iran-Irak yang nampak imminent antara tahun 1982 dan 1984. Selebihnya, GCC hanya menjadi stempel sidang dengan pepesan kosong.

Dengan arms race yang terus berkembang, bukan tidak mungkin kawasan Teluk akan menjadi fronliner baru zona uji coba senjata-senjata pamungkas industri-industri militer global. Tidak hanya zona uji coba senjata-senjata terbaru di tempat latihan, tetapi zona konflik dengan kemungkinan ribuan korban jiwa yang akan menjadi objek hidup seperti terjadi di Yaman dan Suriah. Miris dan memprihatinkan![***]

Twitter @eMtedir
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA