Demi tuhan, dan tahun baru, jangan pergi dulu nyandar saja di pohonku
Daun-daun tisunya lebat ditanam ibu sebelum sekarat
Tunggu, tunggu tolong bertahanlah hingga petang
Cuma setakat petang!
Aku tahu luka membuatmu ingin segera terhapus sirna tak tergenang
Sebelum kau berjalan terus dan perlahan mengunduh kelir lazuardi terjauh,
Izinkan kuhapus pedih dengan daun tisu terpilih semerbak senja putih
Menghidu hal-hal sepele ihwal rehat surya sore juga kita, barangkali rasakan separuh matahari merah sepucat strawberry
sujud di garis shaf cakrawala dan setengah mentari lainnya tetap tegak tak menoleh pelan-pelan meleleh
Seakan kubah yang tumbang dipenuhi gema doa tentang airmatamu yang sempurna namun tak pernah utuh terjatuh
Maka jangan, jangan pergi dulu sampai kau benar-benar berlinang melubangi pipiku
Katakan, apa sekarang? masih ingin ke timur memuja embun gugur atau cukup hanya tersesat bersamaku: mengusap api tenggelam di ufuk barat
Singgahlah kembali kapan-kapan, di sini banyak hiburan
Minimal satu fakta mini bahwa kita sering bercinta tanpa sempat berkenalan. [***]
Tanjungpinang, 2017