Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Golkar Perlu Bantuan Donald Trump?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 11 Desember 2017, 14:37 WIB
Golkar Perlu Bantuan Donald Trump?
Donald Trump-Setya Novanto/Net
POLITISI Senayan memiliki salah satu hak istimewa. Yakni melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap siapa saja yang akan menjadi Duta Besar, Gubernur Bank Indonesia dan Panglima TNI.

Kepatutan dan kelayakan itu, tidak bisa dirumuskan dalam sebuah UU atau Peraturan Pemerintah. Kepatutan dan Kelayakan, secara implisit lebih bermakna akhlak, moral dan normatif.

Itu sebabnya, sangat jarang DPR menolak atau tidak meloloskan seseorang dari uji kepatutan dan kelayakan tersebut.

Jika makna akhlak, moral dan normatif ini yang dijadikan patokan maka apapun alasannya, Setyo Novanto sudah tidak patut dan layak berstatus sebagai Ketua DPR RI atau 'pimpinan' dari para politisi Senayan.

Sebab sangat janggal dan jarang - seseorang yang sudah berada dalam penjara, masih memiliki hak-hak istimewa sebagai Ketua DPR RI.

Tak ada yang tahu, apakah fasilitas berupa ajudan, pengawal dan mobil pengawal, ikut ditempatkan di dekat ruang dimana Setya Novanto ditahan.

Persoalan seperti ini, mungkin tidak atau belum sempat diatur dalam UU. Maka terjadilah peristiwa politik yang menggelikan atau jadi bahan tertawaan orang-orang waras.

Aneh bin lucu.

Sehingga kita bukannya serius mengatasi "dekadensi moral dan akhlak" ini. Kita hanya sebatas bisa tertawa dalam hati, terbahak sendirian di dalam kamar mandi dan seterusnya.

Mari kita gunakan logika. Bukan argumentasi politik apalagi argumentasi hukum.

Apakah patut dan layak, manakala ada Presiden negara sahabat yang berkunjung ke Indonesia - lalu dia minta beraudiensi dengan Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Tamu negara tersebut lantas minta diantar ke Rumah Tahanan KPK?

Atau lebih spesifik lagi. Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang pernah menerima audiensi Setya Novanto selaku Ketua DPR RI, ingin melakukan kunjungan resiprokal kepada Setya Novanto. Lalu Trump harus diantar oleh protokol kenegaraan ke "Istana KPK"?

Prosedur seperti ini seharusnya dilakukan secara konsisten, kalau kita menganggap sebagai tersangka yang belum mendapatkan ketetapan hukum bersalah, Setya Novanto masih berhak sebagai Ketua DPR.

Tapi konsistensi menjadi sebuah aib bangsa. Jadi tetap saja dilematis.

Pertemuan empat mata Trump-Novanto di dalam "Istana KPK", pasti akan menarik perhatian masyarakat dunia, lewat liputan khas media-media Amerika. Indonesia akan lebih terkenal di dunia. Walaupun sisi yang dikenal oleh dunia, bukanlah sisi yang membanggakan. Melainkan sisi yang bisa bikin malu - terutama mereka yang urat malunya, belum putus.

Ilustrasi ini terpaksa saya angkat ke permukaan.

Sebab kalau irama di lembaga DPR dan Partai Golkar yang dijadikan ukuran, khususnya yang menyangkut jabatan Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Pohon Beringin itu - kecenderung melawan arus. Gejalanya tidak sehat.

Keberpihakan yang melawan hati nurani orang yang masih waras dalam berpikir, bakal terjadi dan terus menguat. Yang tidak patut kita anggap layak dan wajar.

Persoalan mengganti Ketua DPR RI, sepertinya tidak menjadi skala prioritas oleh Golkar ataupun politisi yang menghendaki Indonesia harus terus bermasalah.

Okeylah, jabatan Ketua DPR ini hanya "simbol". Tapi sangat tidak sehat kalau cara berpolitik seperti itu, dipelihara.

Harus konsisten dong. Dan ingat.......

Ketika mau merebut posisi Ketua DPR tersebut, sejumlah politisi melakukan "pemerkosaan" terhadap UU MD3. Mengubahnya secara diam-diam, hanya untuk menjadi pemenang yang tidak elegan.

Tapi ketika ketuanya mau diganti, alasan yang muncul, seolah-olah tanpa Ketua DPR, lembaga legislatif kita itu, tetap bisa berfungsi.

Kepemimpinan bisa diatur oleh dua tiga orang. Seakan-akan DPR itu perusahaan swasta yang didirikan oleh para makelar politik dimaksud.

Sebetulnya penundaan penggantian Ketua DPR sengaja diperlambat. Ada proses "buying time" yang ujung-ujungnya transaksional.

Sejatinya yang membuat politik Indonesia kisruh, lebih disebabkan oleh banyaknya politisi Senayan yang diam-diam berambisi duduk di kursi itu.

Lumayan khan, jadi Ketua DPR RI walaupun tinggal beberapa bulan paling tidak di buku sejarah dan CV akan tercatat dengan tinta emas, prestasi merebut kursi DPR 1 tersebut.

Muncul persepsi yang membingungkan masyarakat. DPR sebagai lembaga tinggi negara, boleh dan tidak punya Ketua DPR.

Dan kebingungan itu terus dibangun, dipelihara dan diamini.

Mengganti Setya Novanto dari kedudukan Ketua DPR RI, dibuat sedemikian rupa rumit, bukan karena persoalannya rumit. Tapi cara berpikir para elit politik kita - dalam menghadapi pergantian itu, dibangun dengan pola pikir yang rumit.

Lama-kelamaan, mengganti Setya Novanto sebagai Ketua DPR sama rumit dan sulitnya seperti mengganti Donald Trump sebagai Presiden AS oleh Joko Widodo yang masih menjabat Presiden RI.

Atau proses mengganti Setya Novanto dari kursi Ketua DPR, sesuatu yang mustahil.

Rakyat Amerika dari seluruh penjuru dunia, menolak Jokowi menggantikan Donald Trump di Gedung Putih. Namun para penggagas yang merubah UU MD3 bergabung dengan kaum oportunis, berusaha menggoalkan pergantian tersebut.

Dalam contoh lainnya, mengganti Setya Novanto itu mungkin sama sukarnya mengganti Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu dengan Mahmoud Abbas, Presiden Palestina.

Prilaku oleh sejumlah elit politik kita saat ini, memang banyak yang aneh-aneh. Manakala kepentingan pribadi dan golongan sudah tidak sesuai, sesuatu yang tidak ada, bisa diadakan secara tiba-tiba.

Heibatnya, keanehan-keanehan itu mulai mendapatkan pembenaran dan justifikiasi. Yah berpolitik dengan cara "kotor" memang sebuah keharusan di Indonesia.

Dalam rumus perbandingannya, seorang Joko Widodo yang dipilih langsung oleh sebagian besar rakyat Indonesia, karena alasan ketidaksukaan oleh yang tidak memilihnya, berusaha menggantinya di tengah jalan.

Sebab kalau itu terjadi, perjuangan itu tidak sekedar sebuah kemenangan politik. Melainkan lebih dari itu �" bisa membuat malu seorang Presiden Jokowi secara terbuka.

Sebaliknya seorang Setya Novanto yang secara kasat mata sudah melakukan banyak pembangkangan terhadap institusi kenegaraan, masih terus dibela.

Yang memprihatinkan, pembelaan itu lkonn lebih banhyak dipengaruhi oleh status Setya Novanto, sebagai salah seorang politisi terjaya di Indonesia.

Jadi yang diperlukan dari Setnov, bukan kualitasnya. Tapi isi tasnya.

Berbagai alasan, argumentasi dikeluarkan dari sudut pandang sempit termasuk yang tidak kontekstual.

Para pembela mulai dari ahli hukum kaya "hedonis" - yang biasa berbelanja lima milyaran rupiah per sekali jalan ke luar negeri, sampai dengan politisi yang senang melakukan provokasi, ramai-ramai membela Setya Novanto.

Mereka-mereka ini baru sedikit mengendor jiwa partisan dan patriotismenya, setelah KPK membekukan rekening koran Setnov di semua bank.

"Seng ada doi no. Mau apa lagi bela-bela pa tuang Setnov....", begitu kata seorang putera Papua yang menjadi pemerhati dalam kasus "Papa Minta Saham".

Kata-kata "semua orang di depan hukum, sama...." atau "pre assumption of innocent", menjadi pernyataan yang membanjiri halaman-halaman media cetak, media mainstream dan media dunia maya.

Kalau mau ditarik kesimpulan secara instan, cara pandang dan cara kita menghadapi kasus Setya Novanto, memalukan. Jelas-jelas banyak yang caranya dipaksakan atau direkayasa.

Hal yang memalukan ini berimbas ke Partai Golkar.

Inilah untuk pertama kalinya Golkar seperti kehilangan kepekaan ataupun keseimbangan. Golkar terlihat sebagai partai penampung orang-orang yang suka bikin malu.

Pekerjaan mengganti Setya Novanto selaku Ketua Umum partai pohon beringin itu pun diersulit.

Untuk memperoleh kesepakatan diselenggarakannya Munaslub, Golkar sudah harus menanyai satu persatu semua kadernya.

Katanya, cukup dua pertiga perwakilan - DPD yang setuju, Munaslub sudah bisa digelar.

Kenyataannya tidak demikian. Satu suara berupa hak veto Setya Novanto yang disimpan di kamar penjara, bisa mengugrukan semuanya.

Setya Novanto, sekalipun dari dalam penjara tetap saja yang paling menentukan.

Kalau keadaan terus begini, mungkin sudah saatnya Golkar minta bantuan.

Yang pantas diminta membantu, bukan orang Indonsia atau dari Senayan. Melainkan seorang Donald Trump. Tujuannya agar obyektif.

Presiden Amerika Serikat pernah menerima Setya Novanto di Trump Tower, New York.

Trump terkenal dengan kemampuan manuver politik yang sulit diduga.

Trump oleh kalangan tertentu disebut sebagai seorang politikus licin dan li*ik.

Apa boleh buat Trump adalah problem solver Golkar.

Nampaknya campur tangan orang seperti Donald Trump memang dibutuhkan.

Problem bangsa ini mulai dari yang terbesar, terberat sampai yang terkecil, semakin sulit diselesaikan.

Boleh jadi karena kemampuan kita berpikir sudah rusak, karena sewaktu masih kanak-kanak, kita tidak sempat diimunisasi.

Pertumbuhan otak dan cara kita berpikir menjadi imun tergadap kecerdasan. Tidak peka terhadap mana persoalan mendesak dan mana yang remeh temeh.

Semoga saja ada solusi. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA