Untuk itu, sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas Aksi 212 menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan. Sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, dengan mengumandangkan kembali Aksi 212 ingin mencoba menguasai ruang publik.
"Menguasai ruang publik adalah target para elite 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah," ujarnya kepada wartawan, Jumat (1/12).
Bagi mereka ruang publik adalah politik. Menurut Hendardi, atas dasar itu gerakan tersebut sesungguhnya tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional. Bahkan, gerakan akan terus dikapitalisasi.
"Dan sangat disayangkan gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia," jelasnya.
Menurut Hendardi, apapun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya.
Namun demikian, dalam perkembangannya, terlihat secara perlahan gerakan itu mulai kehilangan dukungan. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.
"Warga juga telah menyadari gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elite 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak relevan menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," demikian Hendardi.
[wah]
BERITA TERKAIT: