Hidup Berdampingan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Selasa, 07 November 2017, 07:29 WIB
Hidup Berdampingan
Jaya Suprana/Net
FAKTA sejarah membuktikan bahwa beberapa kali huru hara rasialis anti China terjadi di persada Nusantara tercinta ini. Sebagai warga Indonesia yang secara sosioetnobiologis kebetulan tergolong keturunan China jelas fakta sejarah itu mencemaskan sanubari saya. Bahkan sebagai insan yang secara langsung merasakan derita akibat huru hara, saya menguatirkan petaka huruhara rasialis anti China akan kembali meledak di persada Nusantara.

Pesan Gus Dur

Saya sangat berterima kasih kepada almarhum Gus Dur yang pada masa beliau menjadi Presiden Republik Indonesia telah meletakkan batu pertama sebagai landasan Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras di Indonesia. Namun saya tidak pernah melupakan pesan wanti-wanti Gus Dur kepada bahwa sebagai warga keturunan yang de facto merupakan minoritas di Indonesia, saya wajib menjaga dan mengendalikan diri agar jangan sampai terjerumus “umpak-umpakan” sehingga bersikap terkebur, pongah, arogan, sombong, apalagi sewenang-wenang akibat mentang–mentang merasa diri dilindungi Undang-Undang anti disriminasi ras di Indonesia.

Secara kebetulan konstelasi sosial minoritas keturunan China di Indonesia beda dari minoritas kulit berwarna di Amerika Serikat. Sementara minoritas kulit berwarna di Amerika Serikat berada pada posisi  yang tidak menguasai ekonomi nasional AS maka minoritas keturunan China di Indonesia kebetulan berada pada posisi yang cukup dominan pada ekonomi nasional Indonesia.

Yang merasa cemburu akibat suasana kesenjangan sosial di Amerika Serikat adalah kaum minoritas, sebaliknya yang cemburu  di Indonesia adalah kaum mayoritas. Kecemburuan sosial diperparah dengan beban perbedaan etnis jelas makin potensial menjadi pemicu kebencian peledak huruhara rasialis. Apalagi apabila kaum minoritas lupa diri sehingga “umpak-umpakan” bersikap terkebur, arogan bahkan sewenang-wenang maka resiko meledaknya huruhara anti rasialis terhadap kaum minoritas menjadi makin parah.

Kesenjangan Sosial

Kaum minoritas etnis di Indonesia bukan hanya warga keturunan China saja namun juga warga keturunan lain-lainnya terutama Arab dan India. Namun di dalam lembaran hitam sejarah Nusantara jarang tercatat huruhara rasialis anti Arab atau anti India. Pasti ada alasan tertentu mengenai kenapa yang menjadi sasaran utama huruhara rasialis di Indonesia bukan kaum keturunan Arab atau India.

Alasan agama mungkin tepat untuk warga keturunan Arab yang memeluk Islam sebagai agama mayoritas warga Indonesia namun kurang tepat bagi warga keturunan India yang mayoritas memeluk agama Hindu dan Sikh. Mungkin alasan yang lebih tepat adalah sesuai pesan wanti-wanti Gus Dur kepada saya yaitu sikap dan perilaku umpak-umpakan, terkebur, pongah, arogan, sombong yang memang rawan memicu antipati. Antipati rawan memuncak menjadi kebencian. Kebencian rawan memicu kekerasan huruhara selama kesenjangan sosial memang masih nyata hadir di persada Nusantara tercinta ini.

Jihad Al Nafs
Ketimbang menyalahkan orang lain, saya memilih untuk mematuhi dan menaati wejangan wanti-wanti Gus Dur sambil berupaya menghayati makna adiluhur yang terkandung di dalam hadits jihad-Nafs: Al Sukuni meriwayatkan dari Abu Abdillah Al Shadiq bahwa ketika Nabi Muhammad SAW menyambut pasukan sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, beliau bersabda: ’Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!’ Ketika orang-orang bertanya tentang makna sabda itu, Rasul SAW menjawab: “Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad Al-Nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri!”

Maka ketimbang mubazir bersusah-payah berusaha merubah sikap perilaku orang lain, saya lebih memilih untuk berupaya merubah sikap dan perilaku pribadi saya sendiri agar jangan sampai terjerumus menjadi “umpak-umpakan” dengan senantiasa berupaya mengendalikan diri sendiri untuk tidak bersikap terkebur, pongah, sombong, arogan, dumeh alias mentang-mentang akibat merasa dilindungi UU Anti Diskriminasi Ras.

Tidak layak apabila saya sebagai minoritas untuk menuntut mayoritas menghormati dan menghargai diri saya namun adalah hukumnya wajib bagi diri saya sebagai minoritas untuk senantiasa bahkan niscaya menghormati serta menghargai mayoritas. Yang paling indah adalah mayoritas dan minoritas hidup berdampingan dalam suasana saling menghormati dan saling menghargai. Istilah “saling” mutlak perlu sebab penghormatan dan penghargaan tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh pihak tertentu saja.[***]


Penulis adalah Cantrik Gus Dur Dalam Pembelajaran Kebangsaan


< SEBELUMNYA

Hikmah Heboh Fufufafa

BERIKUTNYA >

Dirgahayu Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA