Isi dan intinya dia keberatan dengan Catatan Tengah edisi 2 September 2017 yang saya tulis.
1.
"....kalau saya sudah dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, logikanya saya tidak akan bisa kirim pesan seperti ini di WA. Karena memang belum ada vonis, persidangan masih berjalan di PN Bndung", tulisnya.
2.
"Cuma sekitar 10 persen fakta yang benar dalam tulisan tersebut. Dari mana anda tahu saya sudah dijatuhi 14 tahun penjara?
Persidangan baru berjalan 11 kali dan akan berlangsung sekitar sampai Oktober.
Jangankan penjatuhan hukuman, penuntutan pun oleh jaksa belum dilakukan. Sekarang masih pemeriksaan saksi-saksi.
Anda terlalu pede menulis yang sumbernya dari pelintiran media ahokers.
Jelas fakta paling mendasar seperti ini sangat penting untuk dikuasai penulis"3.
"Tulisan di atas kurang menguntungkan saya, itu yang paling penting dari saya.
Tapi terlepas dari itu yang jelas :
- cuma sekitar 10 persen fakta dalam tulisan tersebut yang benar
- tone tulisan: patronizing
- opini/analisa penulis, karena didasarkan fakta yang tidak akurat, maka opini/analisanya juga, maaf, jadi ngawur
- dan tidak cuma saya yang dirugikan dari tulisan itu tersebut. Bung juga merugikan diri sendiri. Masa seorang derek manangka seorang wartawan senior bisa menulis karya yg faktanya saja ngaco dan analisanya tidak bisa dipercaya?
Demikian bung"
Tanggapan:Saya memang menulis bahwa hakim "menjatuhkan" hukuman ...... bagi Buni.
Bukan "memvonis".
Tapi beberapa jam kemudian, saya menerima beberapa pertanyaan dari sahabat lain apakah sudah divonis atau baru tuntutan? Di antaranya Bung Despen Ompusunggu, seorang wartawan senior yang kini aktif di Partai Nasdem.
Lantas saya cari lagi rujukan postingan dari tulisan saya. Semuanya menyebut: dituntut.....
Karena itu saya berpendapat, tulisan saya yang menyebut Buni Yani "dijatuhi" hukuman ....., tidak menjadi persoalan.
Lain halnya jika saya sebut "divonis" atau hakim "memvonis".
Malam harinya juga saya menerima pertanyaan dari sahabat lainnya soal vonis atau tuntutan?
Maka saya sadar "pemahaman" saya tentang istilah "menjatuhkan" telah menimbulkan kesalahan penafsiran.
Istilah "menjatuhkan" yang saya gunakan, ditafsirkan sebagai sudah "divonis".
Maka saya berkesimpulan, berarti yang mengaku Buni Yani, yang mengirim WA ke saya, memiliki penafsiran yang berbeda dengan saya.
Yang saya bantah kalau saya disebut telah mengutip media ahokers yang melakukan pemelintiran atas kasus Buni Yani.
Itu sebabnya saya lakukan klarifikasi melalui tulisan ini.
Dan kepada sahabat Buni Yani, saya meminta maaf atas terjadinya salah penafsiran.
Seperti yang saya tandaskan dalam Catatan Tengah edisi 2 September 2017 yang mendorong saya menulis, semata-mata karena alasan kemanusiaan.
Saya merasa iba dengan persoalan hukum yang menimpa anda (Buni Yani).
Jadi "tone" kalimat yang saya gunakan pun, harus sejiwa dengan alasan, bahwa saya merasa iba.
Lucu dan aneh tentunya, kalau saya menyebut iba, tapi isinya justru memaki-maki Buni Yani.
Pemahaman saya, istilah "tuntutan" untuk pemenjaraan selama 14 tahun, terdengar atau mendengarnya saja, sudah terasa sebuah beban berat.
Jadi saya perkuat lagi ulasan dengan coba mengajak pembaca yang masih punya rasa empati, kemanusiaan, apa yang akan terjadi pada isteri dan anak-anak Buni Yani ke depan.
Jadi saya tidak bermaksud atau ada maksud untuk merugikan Buni Yani.
Apalagi ikut memelintir berita.
Mengggiring pembaca agar paham apa yang saya maksud dalam tulisan, terbentuk, sering saya lakukan. Tapi tujuannya agar substansinya dimengerti.
Namun hal ini bukan sebuah pemelintiran.
Menyatakan sikap melalui tulisan, sekalipun sikap tersebut melawan arus, bukan hal yang terlarang bagi saya. Itu merupakan sebuah sikap dan integritas.
Namun saya tidak pernah terbiasa memelintir berita, semata-mata karena saya tidak berani menegaskan sikap yang melawan arus.
Saya bukan tipe orang yang tidak punya jelas statusnya, lalu mengaku-ngaku: "oh saya pekerja pers".
Dan ketika ditanya, bekerja di perusahaan pers mana: Lalu jawabannya makin mengambang.
Dan hal ini pernah saya alami atau saya dengar di sebuah tempat dimana saya dan Buni Yani pernah bergabung di di grup diskusi WA.
Saat ini saya tidak sedang terikat dengan media manapun. Tapi status ini tidak membuat saya tidak berani mengaku "wartawan".
Sebaliknya saya kritis terhadap orang yang suka mengaku-ngaku watawan, tapi sejatihnya seorang penulis, dosen dan ataupun calon doktor.
Wartawan dan penulis mengerjakan pekerjaan yang berbeda, sekalipun corak pekerjaannya kelihatannya sama.
Perbedaan lainnya mungkin seperti buah apple dan jeruk, atau antara tennis meja dan tenis lapangan.
Wartawan bukan sebuah profesi yang tak punya cacat atau kelemahan. Tapi wartawan yang mampu menulis sesuatu yang berbobot, perlu juga disamakan/sejajarkan dengan yang calon doktor!
Saya bukan tipe orang yang hari ini mengaku dosen di sebuah lembaga pendidikan dalam negeri, tapi pada saat yang sama juga mengaku sedang mengikuti program doktor di sebuah universitas Eropa. Dan selian dosen serta calon doktor, juga punya status lain sebagai 'pekerja pers'.
Sehingga yang mendengarnya pun bingung, sahabat kita ini sebetulnya siapa?: dosen, pekerja pers atau calon doktor yang sedang cuti di tanah air?
Semoga saja pengirim WA ke saya yang mengaku Buni Yani, paham yang tersirat dari paragraf bagian akhir ini.
Kalau tidak paham dengan yang tersirat dari tulisan ini, berarti anda atau ada yang salah dengan sang pengirim pesan tersebut.
Sebab sejatinya semua ini menjadi latar belakang atas lahirnya Catatan Tengah edisi 2 September 2017, yang menyoroti nasib sahabat Buni Yani
Kiranya penjelasan ini, bisa dimengerti.
[***]Penulis adalah wartawan senior