Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Astra, Dari Om William Ke Mas Prijono

*) Sejarah Yang Tak Dibelokkan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Kamis, 01 Juni 2017, 07:48 WIB
<i>Astra, Dari Om William Ke Mas Prijono</i>
UNTUK ketiga kalinya secara berturut - saya diundang manajemen Astra menghadiri acara buka puasa bersama dengan pimpinan media massa dan para tokoh pers. Ucapan terima kasihku kepada Bung Yulian Warman yang atas nama manajemen Astra, menempatkan saya sebagai tokoh pers.

Seperti yang terjadi Selasa 30 Mei 2017 kemarin - di Fairmont, salah satu hotel terbaru dan terbaik di Jakarta, acara tersebut mendapat perhatian yang cukup besar dari komunitas pers. Perhatian mana mencerminkan, Astra bagi kalangan masyarakat pers sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam industri media.

Sekalipun buka puasa bersama tersebut, bukanlah sebuah acara yang luar biasa, tetapi banyak hal menarik dan istimewa yang saya rekam sebagai hal penting untuk diketahui publik.

Misalnya soal peran pendiri, William Soerjadjaja dan tongkat estafet kepemimpinan di Astra yang sudah dibuat sejak awal - yang dampak positifnya baru dirasakan setelah puluhan tahun.

Artinya, kalau Astra bisa menjadi salah satu korporasi terbesar di Indonesia, itu bukan semata-mata karena keberuntungan ataupun mujizat.

Keberhasilan Astra antara lain ditentukan oleh sebuah perencanaan yang baik, yang berangkat dari wawasan yang visioner - jauh ke depan.

Astra didirikan 60 tahun silam oleh pengusaha keturunan Tionghoa itu - yang semasa hidupnya dikenal, sangat peduli pada kemajuan Indonesia, negara dimana dia dilahirkan dan dibesarkan. Pengusaha yang tidak hanya berpikir mencari keuntungan sebanyak-banyaknya di Indonesia, kemudian berpikir bagaimana bisa punya negara cadangan, sebagai tempat alternatif pelarian, jika merasa tidak nyaman di bumi Nusantara.

Seorang pengusaha sukses yang setelah menjadi kaya raya, tetap membumi dan suka menolong sesama.

Walaupun William Soerjadja yang banyak disapa orang sebagai Om William, sudah tidak punya peran apa-apa di PT Astra, tetapi sebagai peletak dasar atas visi dan misi perusahaan, namanya tetap harum dan diharumkan oleh manajemen yang meneruskan gagasannya.

Ini terlihat dari isi buku tentang Astra yang diterbitkan dalam rangka memperingati 60 tahun usia perusahaan swasta itu.

Foto Om William ditempatkan di halaman khusus, berikut penjelasan atas visi dan impiannya. Sementara foto para eksekutif yang mengendalikan perusahaan tersebut yang nota bene, merekalah yang berhasil menyelematkan Astra dari “kehancuran”, justru tidak ditonjolkan sebagaimana lasimnya.

Dengan kata lain, manajemen Astra saat ini, tidak ingin menghapus, merubah atau membelokkan sejarah. Tidak punya niat mencari nama baik di atas jasa orang lain.

Sikap positif manajemen Astra ini saya soroti, karena hal ini saya anggap merupakan sebuah contoh yang baik dan patut ditiru.

Karena yang umumnya terjadi, ada perusahaan swasta, yang sukses tapi kemudian oleh penerusnya atau pemilik baru, mengesampingkan peran perintis, peran pendahulu. Padahal ibarat pohon, pertumbuhannya tidak mungkin langsung bisa berbuah. Semua ada prosesnya.

Tidak perlu sebutkan di sini, perusahaan mana saja yang manajemen barunya berprilaku seperti itu. Tetapi ada beberapa perusahaan yang sengaja, merubah sebuah sejarah. Termasuk mengubah nama dan logo, untuk menghilangkan beberapa jejak dan peran penting para pendahulu atau perintis.

Walaupun kewenangan mengubah merupakan hak prerogatif sang pemilik baru, tetapi secara etika hal itu tidak baik. Hal itu sama dengan sebuah sikap yang melakukan pengelabuan kepada publik. Sikap yang tidak jujur dan tak beretika.

Atau mirip dengan Panca Sila dalam sejarah perjalanan Indonesia. Panca Sila pernah dibelokkan. Fakta kelahiran Panca Sila pernah dikaburkan. Baru pada hari ini tanggal 1 Juni, Hari Kelahiran dikembalikan ke hari jadi asalnya.

Selama lebih dari 40 tahun, kelahiran Panca Sila disebut tanggal 18 Agustus.

Hal itu semata-mata untuk menghapus jejak dan peran Soekarno, Proklamator sekaligus penemu Panca Sila dan Presiden yang pertama Republik Indonesia.

Masih segar dalam ingatan, ketika pelajaran Civic diajarkan di SMP pertengahan tahun 1960-an. Ketika itu guru sekolah masih mengajarkan bahwa penemu Panca Sila adalah Ir. Soekarno.

Namun setelah Soekarno berpulang di tahun 1970, secara pelan tetapi pasti, sejarah Panca Sila dikoreksi. Jadilah kisah dan sejarah Panca Sila punya dua versi. Salah satu versinya 18 Agustus dengan menyebut penemunya Mohamad Yamin.

Oleh karena itu sikap manajemen Astra - khususnya dibawa kepemimmpinan Prijono Sugiarto, yang tidak membelokkan sejarah perusahaan otomotif itu, patut diapresiasi.

Keberadaan Prijono Sugiarto sendiri di posisi orang nomor satu grup Astra, terjadi melalui sebuah persiapan jangka panjang. Prijono satu-satunya yang pernah menjadi anggota Biro Direksi selama 20 tahun baru kemudian dipercaya menjadi Presiden Direktur.

Prijono, rupanya sejak muda dikader oleh Om William. Sejak baru masuk PT Astra, sudah sering diajak berdiskusi, berdialog atau mendengarkan visi dan cita-cita dari si Sang Pendiri.

Hal mana menunjukkan, Om William sejak awal, jauh-jauh hari, sudah mempersiapkan Prijono sebagai pengganti atau penerusnya.

Tapi yang lebih menarik lagi, walaupun pada akhirnya manajemen Astra, tidak dikendalikan lagi oleh Om William, para pemegang saham terus memelihara apa yang sudah ditanam oleh sang pendiri.

Sejarah ini menunjukkan, sekalipun kepemilikan Astra sudah berubah boleh dibilang hampir 180 derajat, tetapi para pemilik, pemegang saham, tetap melihat nilai-nilai yang ditanamkan Om William - dalam pengembangan SDM-Sumber Daya Manusia. Om William ditempatkan sebagai pendiri yang visioner.

Menarik salah satu petikan cerita, yang terungkap secara tak sengaja dari percakapan tak resmi - saat berbuka puasa kemarin.

Prijono Sugiarto, 57 tahun, sebagai Presiden Direktur sudah mengumumkan rencananya untuk pensiun pada usia 60 tahun. Padahal pendahulunya Johnny Gunawan, penisun saat usianya 63 tahun.

Prijono atau Mas Pri tidak ingin terus berada di pucuk pimpinan. Dia ingin memberi kesempatan kepada mereka yang masih muda, untuk menggantikannya.

Dan dia bersyukur sebab para pemegang saham setuju dengan rencananya walaupun dengan catatan dia akan berperan sebagai Presiden Komisaris yang aktif.

Manakala ini terwujud, maka apa yang dilakukan oleh Prijono, tak ubahnya dengan budaya pengkaderan yang telah diawali oleh Om Willam.

Sejarah Astra - sebagai perusahaan swasta yang didirikan WNI keturunan etnis Tionghoa ini, nampaknya tidak pernah diulas secara terbuka dan komprehensif oleh kalangan pers. Ada semacam kesenegajaan menghindar untuk membahasnya.

Padahal kalau itu dilakukan, masyarakat luas akan lebih memperoleh gambaran yang utuh dan bisa menunjukkan betapa seorang William Soerjadjaja, tidak sekedar seorang pebisnis. Dia justru seorang “negarawan” pertama yang lahir dari dunia bisnis. Sebab negarawan biasanya diidentikkan dengan politisi atau pemikir masalah-masalah kebangsaan.

Kalau boleh diungkap atau “now it can be told”, eksistensi Astra sebetulnya, pernah mengundang kecemburuan sosial. Kecemburuan yang asalnya bukan dari kalangan konsumen. Melainkan dari pengusaha, pesaing Astra.

Selain itu pada waktu “Malari” (Malapetaka 15 Januari Tahun 1974), Astra yang kantor pusatnya ketika itu di Jalan Ir. Juanda, Jakarta Pusat berseberangan dengan Bina Graha, kantor Presiden Soeharto, sempat menjadi sasaran demonstrasi mahasiswa.

Dinding kacanya dilempari batu, dengan asumsi, Astra bagian dari “kroni” Soeharto.

Produk otomotifnya “Toyota” yang buatan Jepang, juga jadi sasaran amuk massa, berbasis ketidaksukaan kepada investor Jepang.

Massa yang berdemo itu, sebetulnya terprovokasi. Bukan oleh agitasi tokoh mahasiswa 1974 seperti Hariman Siregar dan Theo ambuaga, melainkan pebisnis yang sedang bersaing dengan Astra atau Om William.

Usai jadi sasaran mahasiwa, Astra menjadi sasaran kecemburuan sesama pebisnis.

Astra dijadikan sasaran oleh pebisnis khususnya yang dekat dengan kekuasaan - Presiden Soeharto. Di antara mereka juga terdapat pengusaha keturunan Tionghoa.

Mereka ambisius menguasai Astra melalui bantuan penguasa Orde Baru.

Berminat dalam pengertian cemburu. Diminati dalam arti “dicemburui”. Ini terjadi di saat Astra sedang menjadi perusahaan swasta nasional yang sangat dipercaya industriawan otomotif Jepang.

Intinya, Astra dan Om William, “dikerjain”. Ringkasnya, kepemilikan Astra "diaduk-aduk". Sampa-sampai, tak satupun anggota keluarga Soerjadjaja berada di perusahaan tersebut.

Kalau sebelumnya putra-putri Om William seperti Edward Soerjadjaja, Edwin Soerjadjaja dan Yudith Soerjadjaja menduduki posisi Direksi, tiba-tiba saja mereka semua sudah terpental dari jajaran BoD (Board of Director).

Tetapi uniknya, sekalipun keluarga William Soerjadjaja sudah tak ada di sana, citra bahwa Astra masih merupakan milik keluarga tersebut, terus melekat.

Astra sendiri pernah mengalami krisis yang cukup serius, bersamaan dengan terjadinya krisis politik dan ekonomi di Indonesia.

Tapi dengan berbagai upaya dan kiat yang dilakukan oleh manajemen, Astra akhirnya tetap bisa survive. Kini Astra merupakan salah satu perusahaan terbuka yang terus meraup untung.

Saat ini perusahaan yang menjadi anggota grup Astra, tidak kurang dari 200 perusahaan. Sementara total karyawannya lebih dari 200 ribu karyawan.

Bidang usaha yang digelutinya pun, tidak lagi terbatas pada dunia otomotif, “core” bisnis yang pertama kali digelutinya. Astra termasuk salah satu pemegang saham Bank Permata.

Sementara untuk bidang bisnis yang menjadi andalannya sejak awal, yaitu pembuatan sepeda motor dan mobil, sudah berkembang demikian pesat.

Dalam setahun Astra memproduksi 10 juta unit sepeda motor, sementara untuk mobil, sebanyak satu juta per tahun.

Acara buka puasa bersama kemarin, juga tak kalah pentingnya dicatat.

Sebab yang menjadi tuan rumah dari acara buka puasa bersama itu, seorang Nasrani. Sementara doa secara Islam dilakukan oleh seorang Ustadz. Dan yang memberi apresiasi atas cara Astra berbisnis, seorang tokoh pers terkemuka yang beragama Islam.

Yang tak lain “Bapak Broadcasting” Indonesia, Dr. Ishadi Sk dari Trans TV Grup.

Indahnya sebuah kemajemukan dan kebersamaan yang dipantulkan dari sebuah acara buka puasa bersama. [***]

Penulis adalah wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA