Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilema Perang Saudara Dan Luka "Permesta"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Sabtu, 27 Mei 2017, 13:21 WIB
Dilema Perang Saudara Dan Luka "Permesta"
"BAGE doi kamare kwa pace", ujar beberapa pria dewasa begitu saya turun di pertigaan desa Ponto, Kecamatan Talawaan, (dulu Dimembe), Minut, Sulawesi Utara.

Saat itu, Agustus 2009, saya pulang kampung, setelah terakhir kali menginjakkan kaki di Manado, tahun 1992.

Karena saya diajak Benny Tengker, salah seorang bekas tentara “Permesta” - maka keinginan bernostalgia di tempat di mana orangtuaku almarhum, membesarkan di masa “Permesta”, pun muncul.

Saya tertarik mengunjungi Desa Ponto. Karena letaknya mudah dicapai, setelah melalui jalan lingkar dari Bitung, di mana Benny Tengker punya villa. Saya menyusuri jalan lingkar melewati Likupang.

Ponto bagi anak “Permesta” seperti saya, mungkin sebuah desa yang paling tidak disukai. Sebab dari desa inilah Tentara Pusat yang berintikan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) pimpinan Mayor Benny Moerdani - merancang bagaimana cara menghancurkan “Permesta” secara efektif.

Hanya desa itu, satu-satunya desa di Minahasa - dibangun sebuah Tugu Pendaratan sebagai peringatan akan keberhasilan pasukan Benny Moerdani melakukan pendaratan di “Bumi Permesta”.

Dari Ponto-lah RPKAD menyerang lapangan terbang Mapanget (Sam Ratulangi) - melewati desa Kampung Baru (mayoritas penduduknya beragama Islam), Warisa, desa orangtua saya, Patokaan, Wusa, Koka, baru kemudian Mapanget.

Salah satu basis kekuatan “Permesta” adalah Mapanget yang dijaga oleh Angkatan Udara “Permesta” yang dikenal dengan nama AUREV (Angkatan Udara Revolusioner).

Para lelaki di tugu itu, nampaknya memang sengaja berjaga di sana, untuk meminta uang jasa, kepada siapa saja yang datang ke Tugu Pendaratan tersebut. Karena setelah setengah abad Perang Saudara “Permesta” berakhir, tempat itu sudah mulai menjadi “obyek wisata”.

Sekali lagi Tugu Pendaratan itu dibuat, untuk mengenang jasa Tentara Pusat pimpinan Mayor Benny Moerdani.

Saat itu saya ditemani Didi Kairupan, sepupu saya yang orangtua kami sewaku zaman “Permesta” tinggal di desa Warisa, sekitar 4 kilometer dari Ponto.

Didi lahir, ketika “Permesta” baru berkobar. Sehingga dia terpaksa bertanya kepada saya tentang apa makna Tugu Pendaratan tersebut. Rupanya, Didi tidak pernah mendengar cerita soal “Permesta” dari kakak tertuanya Frans Kairupan. Padahal Frans Kairupan merupakan pengawal pribadi Kolonel Tenges, yang berjuang di Minahasa Selatan.

Sakit sekali hatiku mendengar permintaan uang jasa dari para lelaki setempat. Hanya saja saya sadar mereka, tidak tahu perasaan dan alasan mengapa saya merasa sangat sakit hati. Antara lain, karena mungkin mereka belum lahir, ketika Perang Saudara “Permesta” meletus.

Jujur, berada di seputar Tugu Pendaratan itu, tiba-tiba perasaan luka akibat “Permesta”, dibangunkan kembali. Nostalgia pahit yang terjadi 60 tahun lalu kembali terbayang.

Sebab saat Perang Saudara “Permesta” berkecamuk di tanah kelahiran saya, desa Ponto merupakan tempat bermukimnya para “pengkhianat”. Para kolaborator yang anti “Permesta”.

Saya sebut “pengkhianat”, karena warga desa Ponto termasuk yang menjadi penyebab atas terbunuhnya saudara-saudara orangtua saya di desa Warisa.

Tentara Pusat pimpinan Benny Moerdani banyak menggunakan jasa warga Ponto yang saat itu 99,99 persen beretnis Sangir dan Talaud, untuk memvonis siapa yang mereka anggap pendukung “Permesta”.

Yah di saat itu sangat mudah menunjuk hidung, sebab semua warga Warisa boleh dibilang pendukung “Permesta”. Bahkan di saat itu, bukan warga desa saja yang menjadi pendukung “Permesta”. Melainkan secara simbolik bisa dikatakan, semua hewan peliharaan - apakah itu anjing, babi, ayam, sapi, monyet, burung kakatua, dan burung nuri merupakan pendukung “Permesta”.

Rumput, tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon kelapapun sekalipun bukan benda hidup, bisa dimasukan sebagai pendukung “Permesta”.

Benar dugaan saya, para lelaki di tugu Ponto itu, memang tidak paham apa makna sesungguhnya dibangunnya Tugu Pendaratan tersebut. Hal tersebut saya ketahui dari percakapan singkat dengan mereka.

Mereka pun cukup terkejut ketika oleh Didi, diberi tahu bahwa saya merupakan putra dari warga desa yang cukup tersohor di desa-desa sekitar. Terutama setelah Didi menyebut nama orangtua angkat saya - yang satu-satunya warga yang kuburannya di pekarangan rumah, di desa Warisa.

Dalam perjalanan kembali ke Manado, kami melewati Kampung Baru, desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kami mampir di rumah Lurah (Hukumtua) bernama Ali, yang lebih tua beberapa tahun dari saya.

Di desa Islam ini, tidak ada perasaan sakit hati atau luka “Permesta” yang muncul. Karena sekalipun warganya berbeda keyakinan dengan kami di Warisa, tetapi di sini tidak ada “pengkhianat” seperti di Ponto. Warga Kampung Baru dan Warisa, hidup rukun berdampingan - baik di masa sebelum, era dan pasca “Permesta”.

Ini bisa terjadi, antara lain karena hampir setiap minggu digelar pertandingan bola kaki antar kedua kampung. Profesi warga Kampung Baru (Islam), rata-rata pedagang. Warisa, petani. Jadi saling mengisi.

Di saat Natal dan Tahun Baru, warga Kampung Baru sering beracara ke Warisa. Sebaliknya di kala lebaran warga Warisa bertandang ke Kampung Baru.

Juga terjadi kawin campur. Dan dalam perkawinan campur itu, tidak pernah muncul ketegangan karena perbedaan agama.

Selepas dari Kampung Baru, kami ke Warisa, melewati kebun-kebun kelapa, di antaranya peninggalan orangtuaku.

Ada hal kecil yang memilukan hati. Saat Didi Kairupan menceritakan bahwa ada sebuah lahan milik Ong Sundalangi, warga Warisa - yang sudah menjadi milik pejabat tertinggi di daerah Sulawesi Utara.

Tapi bukan soal pejabat itu yang bikin saya pilu. Melainkan saya khawatir, akan ada lagi tanah-tanah milik warga yang jatuh ke orang luar yang berduit banyak. Pada akhirnya desa saya akan menjadi desa orang termiskin.

Ini terjadi karena kehidupan ekonomi masyarakat desa, dari waktu ke waktu terus mengalami kemerosotan.

Saya juga saksikan, kepadatan penduduk semakin tinggi, ditandai oleh banyaknya rumah-rumah yang maaf, termasuk di bawah standar.

Apa arti itu semua? Bagi saya simpel. Perjuangan “Permesta” tidak berhasil mensejahterakan rakyat, minimal desa saya.

Pengorbanan orangtua dan saudara-saudara kami yang tidak hanya semangat, tetapi termasuk jiwa dan raga, menjadi sia-sia.

Situasi ini pula yang mengganggu pikiran saya. Setelah saya bandingkan kehidupan tokoh “Permesta” seperti Om Ventje Sumual atau Om Alex Kawilarang.

Pasca “Permesta” kedua tokoh itu langsung tinggal di Jakarta dengan kehidupan yang jauh lebih layak dibanding ketika waktu berjuang di tanah Minahasa. Mereka meninggal secara terhormat dalam arti dilepas oleh keluarga, handai tolan ke tempat peristirahatan terakhir. Anak cucu yang mereka tinggalkan, mungkin tak ada yang melarat seperti di desa saya.

Atau coba bandingkan dengan Frans Kairupan, sepupu saya, bekas ajudan Kolonel Tenges. Terlalu panjang untuk ditulis di sini, terlalu memalukan kalau diungkap semua.

Kalau Tuhan berkehendak, sniscatya testimoni dia, akan saya bukukan.

Perjuangannya pasca “Permesta” sangat mengenaskan. Mula-mula dijanjikan akan dijadikan tentara penuh di Pulau Jawa. Ternyata hanya dibohongi. Setiba di Surabaya, dilucuti, lalu dibuang ke Palembang, Sumatera Selatan.

Berada di Palembang, pada masa itu, sama dengan Bung Kanro dibuang Belanda ke Digul, Papua. Sebab jarak dan sarana yang menghubungkan Palembang dan Manado, praktis minim.

Betapa sakitnya seorang pejuang "Permesta" mendapat perlakuan seperti itu, sementara Ventje Sumual dan Alex Kawilarang bekas pimpinan mungkin hidup nyaman di Jakarta!

Di asrama tentara setempat, kebutuhan hidup sebagai manusia, tidak dipenuhi.

"Kami diminta siap-siap ke Kalimantan Utara untuk perang dengan Komunis di sana. Tapi tidak pernah terjadi. Kami senang, karena Komunis musuh Permesta. Di Palembang kami pernah jual Tiang Listrik, demi untuk sesuap nasi", salah satu potongan cerita almarhum, Frans Kairupan.

Frans meninggal 4 tahun lalu, dan dia lah sebetulnya yang menyemangati saya agar masuk tentara dan belajar tentang dampak negatif sebuah Perang Saudara.

Secara tersirat, dia memendam dendam. Entah ke Sumual atau Kawilrang. Tapi karena saya anak tunggal saya tidak bisa masuk AKABRI.

Saya akhirnya masuk Perguruan Tinggi Publisistik, Jakarta untuk menjadi wartawan. Sebagai anak “Permesta” cukup beruntung. Tuhan memberkati kehidupan saya. Karena saya menjadi satu-satunya anak desa dari Warisa, yang bisa berkarir swebagai wartawan di media-media mainstream: “Sinar Harapan”, “Prioritas”, “Media Indonesia” da “RCTI”. Dua kali memperoleh beasiswa. Dari pemerintah Prancis dan dari Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, John Holdridge.

Sebagai wartawan, saya melampaui apa yang saya cita-citakan. Bisa mewawancarai tiga tokoh dunia : Perdana Menteri Israel Yithzak Rabin dan Menlu Israel Shimon Peres, semuanya di tahun 1993, di Tel Aviv.

Juga dengan Presiden Libya Moamar Khadafy di Tripoli, Libya, 2003.

Dan saya tidak mau disebut bahwa bea-siswa yang saya terima itu, karena saya anak “Pertmesta”. Begitu juga rekam jejak di dunia jurnalistik tersebut. Itu terjadi hanya karunia dan rencana Tuhan.

Terakhir, saya membaca buku Babara Harvey tentang "Permesta" - “A Half Rebellion” atau Pemberontakan Setengah Hati.

Hati saya menjerit. Sebab dari buku itu saya punya kesimpulan subyektif bahwa “Permesta” hanya dijadikan tumpangan Amerika untuk mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.

Kesimpulan saya itu bulat. Sebab Barbara sebagai mahasiswi dari Washington, meneliti ke Indonesia, dan hasil penelitiannya tentang “Permesta” berhasil menjadikan dia seorang PhD (Philosophy of Doctor). Disertasinya tentang “Permesta”.

Belakangan terungkap dia bagian dari jaringan CIA yang ditugaskan di dunia diplomasi. Sebab setelah mendapat Phd, dia ditugaskan ke Surabaya sebagai Konsul Jenderal, kemudian Wakil Duta Besar AS di Jakarta.

Hampir sama dengan Stepleton Roy, Dubes AS di Jakarta tahun 1996-1999, yang juga agen CIA. (Sekedar pengingat, Indonesia mengalami targedi kerusuhan rasial tahun 1998 yang berakhir dengan jatuhnya Soeharto).

Sehingga bagi saya “Permesta”, sebagai sebuah Perang Saudara, tidak patut dibanggakan oleh putera Minahasa.

“Permesta” menjadi salah satu penyebab kehancuran Tanah Minahasa. Penyebab tersisihnya putera-putera terbaik asal Minahasa dalam persaingan lokal apalagi global.

“Permesta” menghapus semua peran dan jasa besar seperti tokoh legendaris asal Minahasa. Apakah itu Sam Ratulangi, AA Maramis. Babe Palar, Arnold Mononutu, Walter Monginsidi dan masih banyak lagi yang tak bisa disebut.

Inilah beberapa latar belakang, mengapa saya takut Indonesia terjerumus dalam Perang Saudara. Luka “Permesta” itu mungkin tidak akan pernah sembuh. [***]

Penulias adalah wartawan senior

Keterangan Foto: Derek Manangka, berkaos biru, kedua dari kanan, berfoto bersama warga Desa Ponto, di Tugu Pendaratan RPKAD (kini Kopassus). Dari desa inilah Mayor Benny Moerdani merancang penghancuran "Permesta" sekitar 60 tahun lalu.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA