Sehingga wajar saja jika dalam penyelenggaraan Pilkada, Jakarta khususnya, KPUD setempat menggelar berbagai acara dalam rangka mengawal dan mensukseskan Pilkada ibukota.
Persoalannya menjadi berbeda, menimbulkan pertanyaan apakah KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) sebagai penyelenggara, boleh semaunya menggelar acara - yang kelihatannya sebuah terobosan namun kental dengan kesan pemborosan ?
Terlepas benar tidaknya Ketua KPUD DKI Soemarno, bertindak kurang profesional atau berpihak kepada pasangan Anies - Sandiaga, satu hal yang cukup mencolok adalah di dalam acara penyelenggaraan Pilkada DKI Putaran II, terdapat kegiatan yang membingungkan.
Ada acara yang tidak penting dijadikan penting. Ada acara yang seharusnya tak ada masalah, akhirnya memunculkan masalah.
Contohnya.
Untuk apa acara pengumuman penetapan resmi peserta Pilkada Putaran II, harus digelar di sebuah hotel mewah ?.
Mengapa tidak digelar di Gedung DPRD DKI atau salah satu ruang yang ada di Gedung Balaikota ?
Sudah pasti biaya yang dikeluarkan untuk acara yang sama di Gedung DPRD DKI dan Balaikota, lebih murah dibanding di Hotel Borobudur.
Lalu mengapa di Hotel Borobudur ? Mengapa tidak di hotel yang berada di kawasan Ancol, dimana Pemda DKI masih ada sahamnya di sana.
Kalau hanya untuk mengumumkan KPUD sebetulnya tidak perlu ada acara di Hotel Borobudur. KPUD cukup buat surat keputusan lalu isinya diumumkan lewat media dan didokumentasi di Lembar Negara.
Tapi dengan cara seperti yang dilakukan akhir pekan lalu, seolah-olah masyarakat belum tahu siapa yang akan menjadi peserta Pilkada Putaran II.
Padahal, KPUD sebetulnya tinggal meresmikannya saja. Dua pasangan calon (paslon) yang nama dan nomor urut mereka sudah lama diketahui oleh publik, bukan lagi sebuah rahasia.
Dan kalau hanya mengumumkan, kegiatan itu tidak memerlukan sebuah acara resmi dan sakral dengan upacara yang menggunakan panduan protokoler yang ketat.
Disediakan ruang VIP atau VVIP bagi setiap pasangan agar bisa beristirahat sebelum acara dimulai, dan seterusnya. Terkesan lebay pokoknya.
Bandingkan saja dengan Pilpres (Pemilihan Umum Presiden) periode 2004 - 2009.
Kontestasi itu, pada putara pertama diikuti oleh 5 pasang. Bukan 3 pasang seperti Pilkada DKI.
Nah ketika masuk ke putaran II dan hanya pasangan SBY - JK versus Megawati - Hasyim Muzadi yang lolos, tak ada acara seperti yang digelar Ketua KPUD DKI di Borobudur, akhir pekan lalu.
KPUD Jakarta, dengan menggelar acara seperti itu, boleh jadi mau melakukan terobosan. Tapi sayang sekali, terobosan itu terkesan diada-adakan atau dipaksakan. Sebuah terobosan yang tidak menunjukkan kreativitas yang patut ditiru.
Sehingga persepsi yang muncul, penggelaran acara seperti kemarin, cenderung sebuah aksi menghabis-habiskan dana yang sudah terlanjur dialokasikan dalam APBN atau pemborosan.
Lantas muncul pertanyaan salahkah KPUD melakukan pemborosan ? Jawabannya bisa iyah bisa juga tidak.
Tetapi secara moral, KPUD sebagai penyelenggara telah melakukan sebuah pembiaran yang kesannya kontra produktif.
Kesan itu semakin kuat, ketika dalam acara tersebut juga dihadirkan pertunjukan tari.
Bukannya kita tidak senang dan menghargai tari nasional maupun tradisional. Namun relevansinya dengan kegiatan pengumuman tersebut, terkesan terlalu dipaksakan.
Tak bisa dibayangkan, paslon-paslon yang bersaing di Pilkada 19 April mendatang tersebut, sewaktu menonton tarian, apakah mereka masih bisa menikmati ? Sementara secara psikologis politis, mereka sudah terbelah oleh dogma dan stigma yang mana mereka harus saling mengalahkan atau menghabisi.
Mereka sudah tergiring oleh opini publik sebagai dua kubu yang bersaing berat : hidup atau mati. Lalu dalam keadaan seperti itu, mereka diundang menyaksikan sebuah tari, gerakan-gerakan yang menggunakan saraf dan oleh tubuh kelembutan.
Tidak nyambung sama sekali.
Inilah mungkin acara Pilkada si Borobudur Hotel kemarin, patut disebut acara aji mumpung ada anggaran.
Kalau mau menggunakan terminologi sarkartis - kalau bisa boros, mengapa harus berhemat ?
Beginilah rasa kecewa yang muncul setelah mengikuti "run down" dari agenda Pilkada DKI Putaran II. Dimana tidak memunculkan sesuatu yang konstruktif tetapi justru silang pendapat yang berkepanjangan.
Acara penetapan peserta Pilkada DKI Putaran II itu juga diisi dengan makan malam.
Kalau menilik perdebatan yang ada, akibat terjadinya Walk Out oleh pasangan (eks) nomor dua, acara tersebut sebetulnya disusun berdasarkan protokoler yang ketat.
Yang tujuannya baik, yakni mungkin untuk memberi pembobotan. Pilkada DKI yang hanya bisa digelar sekali dalam lima tahun, harus memiliki tingkat sakralitas yang tinggi.
Sayangnya, selain acara yang terlalu dipaksakan, Pilkada Putaran II DKI juga diisi dengan kampanye yang waktunya cukup panjang. Mulai 7 Maret hingga 15 April 2017.
Pencoblosan 19 April.
Saya tidak tahu apakah penyelenggaraan kampanye dalam putaran kedua ini memang diatur oleh UU atau bagaimana ?
Kalau iya, tentu saja hal ini sebuah kelemahan besar dalam sistem Pilkada kita.
Akan tetapi di sini terkesan KPUD sebagai penyelenggara, tidak cukup peka. KPUD tidak melihat dan mempertimbangkan faktor psikologis dan sensitifitas yang ada di masyarakat.
Publik Jakarta misalnya, sebetulnya tidak lagi memerlukan kampanye dari masing-masing paslon. Pilihannya hanya satu di antara dua paslon. Semua sudah tahu, akan ada pemenang dan ada yang akan jadi pecundang.
Tidak ada putaran lanjutan ataupun "the 3rd chance".
Selain itu materi kampanye apa lagi yang akan dijual oleh kedua paslon ?
Bukankah warga DKI sudah "kenyang" dengan berbagai program yang sudah diumbar oleh kedua paslon?
So, apa lagi urgensinya sebuah kampanye selama 5 minggu ?
Yang diperlukan oleh warga DKI adalah tetap bisa bekerja secara normal sambil berharap secepatnya terpenuhi keinginan melihat hasil Pilkada DKI. Apakah petahana menang atau gagal. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu.
Satu hal yang sudah pasti dengan adanya kampanye dalam Putaran II ini, bakal terjadi pembelanjaan dana lagi. Terjadi pemborosan.
Baik oleh kedua pasangan maupun KPUD sendiri. Yang semuanya kelak menjadi beban kita semua.
Hmmmm kasihan banget nasib bangsa Indonesia yang tinggal di ibukota DKI.
Kita disebut-sebut sebagai warga yang bisa dijadikan barometer atau ukuran.
Sayangnya, dengan contoh Pilkada 2017 ini, kita tidak pantas menjadi ukuran.
Sebab contoh yang kita berikan lewat Pilklada, bukan hal yang patut ditiru.
Tak ada alasan bagi warga DKI maupun Indonesia termasuk para penyelenggara negara untuk mengadopsi gaya hidup yang boros.
Mas Sumarno, Ketua KPUD.
Jika anda mau, nama anda dikenang sebagai warga Jakarta yang baik, punya legacy, laksanakanlah Pilkada Putara II secara efisien dan profesional.
Salah satu elemennya, semangat untuk tidak melakukan pemborosan, harus anda hindari.
Kalau anda ikut-ikutan mendukung pemborosan, itu beda tipis dengan anda mendukung orang yang melakukan korupsi. ***