Pelatihan kerja dipilih sebagai strategi terobosan, mengingat profil angkatan kerja nasional yang berjumlah 128 juta masih didominasi oleh lulusan SD-SMP (62 persen). Keterlibatan swasta, sebagaimana arahan Presiden Joko Widodo, sangat penting untuk mengurangi kesenjangan pekerja terampil yang dialami Indonesia dewasa ini.
"Kita diprediksi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia. Syaratnya, kita harus punya 113 juta tenaga kerja terampil, sementara posisi hari ini baru sekitar 55 juta-an yang tersedia. Jadi, kita perlu cetak 4 juta tenaga kerja terampil setiap tahun sampai dengan 2030. Itu kerja besar dan karenanya keterlibatan swasta sangat penting," ujar Hanif.
Hanif katakan, pihak swasta dan dunia usaha dapat mengambil sejumlah peranan. Pertama, membangun atau mengoptimalkan pelatihan kerja di setiap perusahaan, terutama usaha besar dan menengah.
Kedua, bekerja sama dengan pemerintah untuk mengoptimalkan produksi SDM di BLK pemerintah maupun lembaga pelatihan kerja swasta (LPKS).
Ketiga, menggalang instruktur pelatihan kerja berbagai bidang kejuruan prioritas dan bersama dengan pemerintah mendistribusikannya ke berbagai pusat pelatihan kerja di daerah.
Keempat, memastikan sektor terkait menerapkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKN) sebagai instrumen dasar pelatihan berbasis kompetensi.
Kelima, memastikan penguatan akses dan mutu sertifikasi profesi di setiap sektor, termasuk memperbanyak dan meningkatkan mutu Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Keenam, bersama dengan pemerintah dan perguruan tinggi membentuk pusat kajian vokasi untuk memetakan input SDM dan
demand pasar kerja agar
match, serta mengarahkan dan mendampingi semua stakeholder yang terlibat dalam pendidikan dan pelatihan vokasi.
Ketujuh, mengundang investasi dalam maupun luar negeri di bidang pelatihan kerja yang sesuai dengan kebutuhan prioritas pembangunan nasional dan pasar kerja dalam maupun luar negeri.
[ald]
BERITA TERKAIT: