Dan saya mengucapkan terima kasih kepada Ezki Suyanto, salah seorang staf khusus Menteri Luhut Panjaitan yang telah memposting kembali tulisan mas Budiono.
Tulisan mas Budiono itu bisa ditafsirkan bahwa kesadaran nasional di antara sesama kita bangsa atau orang Indonesia - yang mencurigai Singapura, sudah tumbuh.
Kesadaran bahwa kita banyak dirugikan Singapura, cukup banyak. Tetapi kita tetap seperti orang yang dihipnotis, tak bisa bicara. Takut membuat hubungan kita dengan Singapura terganggu.
Sejauh ini, yang saya rasakan, hampir tak ada wartawan yang berani mengkritisi Singapura. Hal mana membuat masyarakat luas tidak tersadarkan dari ketertiduran.
Tidak munculnya kesadaran wartawan mengkritisi Singapura, boleh jadi karena teman-teman masih menganggap Singapura sebagai negara kecil. Tak mungkin negara sekecil Singapura, bisa merusak Indonesia, negara yang begini besar.
Sebagai perbandingan, Singapura hanya berpenduduk 5 juta jiwa. Sedangkan Indonesia mencapai 250 juta orang.
Yang paling sering terjadi wartawan nasional lebih mudah terprovokasi melaporkan sengketa antara Indonesia dan Malaysia, ketimbang perselisihan di antara Indo-Singa.
Saya sangat setuju bila kita tempatkan Singapura sebagai negara tetangga yang berada di balik kegiatan yang merugikan negara kita.
Menurut Ezki ataupun Budiono, inti permasalahan dari Tax Amnesty atau TA adalah 'perang' antara kita dengan Singapura.
Singapura sangat berkepentingan agar UU Tax Amnesty tidak jalan. Sebab Singapura bakal menjadi negara yang paling dirugikan jika UU itu benar-benar terlaksana.
Maka untuk mencegahnya, Singapura melakukan 'perang'. Perang dalam arti secara diam-diam, tanpa menggunakan senjata ataupun kekerasan.
Dan yang paling dimanfaatkan Singapura, menurut penfasiran saya dari postingan Ezki Suyanto adalah media sosial maupun media main stream.
Kalau analisa itu benar, bahwa Singapura dengan Indonesia sedang 'berperang' maka sangat masuk akal jika muncul reaksi di masyarakat yang tidak suka atas pemberlakuan TA.
Masyarakat diprovokasi bahwa TA pada hakekatnya sedang menyasar warga pembayar pajak yang kebanyakan.
Dan dari provokasi ini masyarakat diharapkan menuding pemerintahan Jokowi telah berdusta kepada rakyatnya.
Dan hasilnya sekarang, sudah muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar UU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) itu digugurkan.
Saya berharap kalaupun gugatan terhadap TA itu dilakukan, para hakim Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkannya.
Wajar kalau Singapura akan menjadi pihak yang banyak dirugikan apabila seluruh uang panas milik orang Indonesia di sana, dibawa pulang ke Indonesia.
Karena kembalinya sebagian apalagi semua uang-uang di Singapura itu ke Indonesia akan merugikan menyebabkan negara itu mengalami krisis likwiditas.
Itu sebabnya, kata Budiono, otoritas keuangan Singapura memberi insentif sebesar 4% kepada pemilik uang (orang Indonesia), sepanjang ia tidak memindahkan uangnya ke Jakarta atau Indonesia. Sebab yang ditawarkan Indonesia hanya 2%.
Langkah lainnya, Singapura menjanjikan memberi kemudahan bagi WNI untuk menjadi warga negara Singapura, jika tidak mengembalikan uang yang disimpan di negara itu ke Indonesia.
Dengan data ini, kembali kita diingatkan usaha menggolkan UU tentang Kewargenegaraan Ganda, harus dicermati.
Perkiraan sementara oleh Budiono, uang asal Indonesia yang disimpan di Singapura mencapai US$ 200 miliar.
Kalau perkiraan saya, jumlah itu masih bisa bertambah jika uang dibayarkan orang Indonesia yang membeli status penduduk tetap, ikut dihitung.
Data tahun 1999, setahun setelah terjadi Tragedi 1998, jumlah orang Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) Singapura, sebanyak 150.000 orang.
Bila untuk setiap orang dikenakan US$ 1,- juta maka berarti Singapura berhasil meraup dana dari WNI sebanyak US$ 150,- miliar.
Kalau angka itu dikonversi ke mata uang rupiah dengan nilai tukar Rp.10.000 per satu dolar Amerika, maka pada tahun 2000 itu saja, dana Indonesia yang mengendap di Singapura sebesar Rp. 1.500 triliun. Patut dicatat APBN kita pada tahun itu masih berada di bawah Rp. 1.000,- triliun.
Dari catatan itu pula saya merasa nazar saya, untuk tidak akan menginjakkan kaki di Singapura, bukanlah sebuah pernyataan yang berlebihan, mengada-ada ataupun mendramatisir situasi.
Selain itu saya bertambah curiga bahwa pencekalan otoritas Singapura terhadap Letjen (Purn) Suryo Prabowo merupakan sebuah usaha coba-coba. Ingin mengukur sejauh mana reaksi resmi pemerintah atas pencekalan WNI yang dianggap beroposisi dengan rezim Joko Widodo.
Waspadalah. Kejahatan tak akan terjadi, jika anda tidak memberi peluang kepada siapapun. *****