Idawati, saya juga senang dengan reaksi spontanmu. Dengan begitu saya tidak merasa sendirian. Bahwa tidak menginjak Singapura bukan berarti sama dengan akhir zaman atau sebuah kiamat.
Kita harus berani bersikap. Bangsa kita tidak pernah melecehkan Singapura. Justru Singapura yang terlalu meremehkan kita. Masih ingat bagaimana dua anggota Marinir Indonesia - Usman dan Harun dihukum mati di tiang gantungan negara itu lebih dari 50 tahun lalu?
Masalahnya, Singapura sekarang semakin memerlihatkan superioritasnya. Sementara pemerintah kita diam seribu bahasa.
Kita bangsa Indonesia seperti dihipnotis oleh Singapura. Seolah negara tetangga itu, demikian penting. Menyimpan begitu banyak hal menarik yang patut dijelajah. Dan kalau kita belum menjelajah, hal itu sama dengan kita termasuk manusia yang ketinggalan zaman.
Persepsi dan perspektif seperti itu harus kita buang. Negara kita yang begini besar dianggapnya hanya berisikan kumpulan manusia-manusia yang dengan mudahnya bisa disepelekan.
Mari kita buat Singapura sepi dari kunjungan orang Indonesia. Mari kita ajak semua orang Indonesia berbuat semaunya untuk Singapura agar bisa masuk dalam "Daftar Cekal" otoritas negara itu.
Jadi jangan cuma Suryo Prabowo dan Adnan Buyung Nasution (almarhum) yang di-black list.
Yang saya khawatirkan, kalau makin banyak yang dia cekal dan kita tidak bereaksi, Singapura akan menilai kita sebagai bangsa yang penakut.
Dalam hitungan saya selama kurang lebih 40 tahun, kita berusaha toleran dan menahan diri. Kita selalu perlakukan Singapura sebagai tetangga terdekat yang baik. Pembangunan negara itu pun coba kita tiru. Disiplin masyarakatnya kita jadikan rujukan.
Atau kita sebagai orang Indonesia-lah yang selalu menjadi promotor Singapura.
Kita bangga naik Eskiu (SQ), Singapore Airlines kalau ke Singapura atau destinasi lain dari pada naik GA (Garuda).
Pada tahun 2000-an awal, saham Telkomsel sebesar 35 persen, berhasil dia caplok. Sejumlah pengamat mencurigai pencaplokan itu. Otoritas Sigapura dicurigai menyogok pihak-pihak terkait agar bisa mendapatkan saham sebesar itu.
Yang pasti dengan saham sebesar itu semua pembicaraan, termasuk para VVIP, bisa dipantau oleh Singapura. Bukan mustahil, dengan teknologi yang canggih semua percakapan penting seluruh anggota kabinet dan Presiden RI, bisa disadap oleh Singapura.
Jika ini benar, maka tindakan tersebut jelas kontra-produktif.
Kalau betul Singapura menyuap para pejabat tertentu kita demi sebuah bisnis, maka cara Singapura, tidak elok. Dia rusak mental pejabat kita sementara bangsanya tercitrakan sebagai negara bersih koruptor.
Buang persepsi bahwa Singapura adalah tetangga terdekat yang baik. Jauhkan lamunan itu dari pikiran kita.
Saatnya untuk kita katakan hendaknya para pejabat yang mau cek kesehatan atau mau berobat, jangan lagi pilih dokter dan rumah sakit Singapura.
Kita sarankan juga supaya tidak ada elit atau petinggi kita yang keluarganya merasa terhibur, apabila ada anggota keluarganya meninggal di rumah sakit Singapura.
Kasus pencekalan Suryo Prabowo perlu kita jadikan pengingat bahwa selama ini kita sudah membiarkan tetangga kita memelihara singa kecil, yang kelak menjadi pemangsa yang menakutkan.
Saya teringat pada peristiwa tahun 1970-an. Ketika harian "Sinar Harapa" sibuk melaporkan tentang penjualan tanah ke Singapura oleh oknum-oknum pejabat RI di Kepulauan Riau.
Saat itu "Sinar Harapan" harian sore yang dikenal sangat kritis di era represif, jelas-jelas menyebut bahwa penjualan tanah, tanah yang digali dari gugusan pulau dekat Batam, sama dengan "menjual tanah air".
Tapi entah mengapa tak satupun pejabat Indonesia yang mendukung sorotan atau kekritisan harian sore itu.
Baru pada tahun 2000-an, muncul kesadaran bahwa tanah-tanah yang dijual ke Singapura empat dekade lalu itu dijadikan material untuk memperluas wilayah Singapura.
Di atas tanah atau di pinggir pantai Singapura yang menghadap Riau Kepulauan, kini berdiri mega sejumlah apartemen mewah. Dan banyak di antara pemilik apartemen mewah itu terdapat orang-orang kaya asal Indonesia.
Secara konseptual Singapura membangun sambil merawat lingkungannya. Sementara kita baru sadar bahwa pulau-pulau yang tanahnya digali untuk menambah luas wilayah Singapura, lingkungannya rusak. Ekosistemnya hancur dan kita dicap sebagai bangsa perusak lingkungan. Dan negara yang ikut mengecam kita sebagai perusak lingkungan, yah Singapura juga.
Harian "Sinar Harapan" yang kritis kepada Singapura, pada tahun 1986 ditutup pemerintah. Harian itu antara lain mengkritisi kegagalan pembangunan Pulau Batam. Bahwa kegagalan itu bukan tanpa sebab.
Berbagai cara dilakukan negara tetangga itu agar Batam tidak bisa menjadi "little Singapore". Maka jadilah Batam hanya sebagai sebuah "mega proyek" Indonesia yang setengah gagal dan setengah berhasil.
Batam sebagai "bonded warehouse", tidak berhasil. Batam sebagai pintu gerbang etc, tidak ada geregetnya. Batam sebagai tempat relokasi pabrik, tak tercapai semuanya.
Tetapi dari sekitar Batam, Singapura bisa memanfaatkan segalanya. Mulai turisme di Pulau Bintan, peternakan babi, ikan segar, perkebunan yang menjual sayur mayur dan rempah-rempah, semuamya berjalan lancar.
Jadi yang lebih penting lagi - apakah anda dan saya, bisa konsekwen? Tidak mau menginjakkan kaki di Singapura?
Kalau saya, sudah berjanji - minimal kepada keluarga, bahwa saya tidak akan pernah mau ke Singapura lagi. Apalagi hanya untuk liburan, belanja atau sekedar bikin foto Instagram kemudian diposting di media sosial. No way.
Kalau mau liburan ke luar negeri, jangan tanggung-tanggung. Pergi ke tempat jauh seperti Skandinavia, Eropa Timur atau negara-negara Asia yang dulunya merupakan bagian dari Uni Sovyet, seperti Azarbaijan atau Kazakhstan. Di sana kita tak akan dicekal, walaupun harus punya visa.
Itu yang lebih baik dari pada ke Singapura.
Di atas kertas kita tidak perlu visa tapi dalam praktek punya hak visa bebas pun kita masih bisa dipersulit Singapura.
Kalau cuma mau mencari kenyamanan, yah ga usah ke Singapura.
Mungkin saya baru akan ke Singapura kalau tiba-tiba saya kejatuhan duit dari awan yang jumlahnya berkarung-karung. Pecahannya terdiri dari dolar Amerika.
Jika ini terjadi saya ingin berjudi di Kasino, Singapura.
Saya ingin merasakan atau melihat betapa cerdiknya Singapura mengkonsep perjudian di negara itu. Betapa pintarnya strategi Singapura menyiapkan tempat berjudi bai para penjudi asal Indonesia.
Singapura punya data riset bahwa Jakarta atau Indonesia tak bakal bisa menyediakan tempat berjudi. Siapa berani berhadapan dengan sweeping-an ormas yang menggunakan simbol agama.
Nah dengan adanya kasino di Marina Bay dan Pulau Teguh Santosa, uang-uang panas termasuk uang halal, bisa terbang ke Singapura dalam wujud "Capital Flow".
Boleh dong saya bermimpin. Termasuk bermimpi kelak tak ada lagi orang Indonesia yang melihat Singapura sebagai salah satu destinasi penting di Asia.
Tokh seperti saya kemukakan, tidak menginjak Singapura bukan berarti sebuah kiamat.
[***]
Penulis adalah jurnalis senior