Menurut anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar, M Misbakhun, optimisme Jokowi ini sangat masuk akal dan harus diapresiasi. Dan aapa yang menjadi keyakinan Jokowi bahwa UU Amnesti Pajak akan bisa memperbaiki dan memulihkan ekonomi nasional sudah sangat tepat dan didasarkan pada analisa yang mendalam dan mempunyai dasar argumentasi yang valid.
"Ekonomi akan tumbuh dan yang utama aktivitas ekonomi yang dihasilkan oleh dana WNI yang masuk dari luar negeri membayar pajaknya juga di Indonesia," kata Misbakhun beberapa saat lalu (Selasa, 26/7).
Ia menjelaskan, likuiditas dalam jumlah besar bisa dipakai untuk memperbaiki sektor riil melalui kredit yang disalurkan oleh dunia perbankan dan lembaga keuangan yang ada ke dunia usaha. Selanjutnya, sektor riil yang tumbuh akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Masalahnya, likuiditas keuangan di dalam negeri saat ini sangat terbatas. Imbasnya adalah terhambatnya laju pertumbuhan ekonomi.
Karenanya solusinya adalah
tax amnesty. Sebab, pengampunan pajak akan menjadi jalan bagi dana milik WNI di mancanegara untuk masuk ke dalam sistem keuangan di Indonesia sehingga memperbaiki dan menambah jumlah likuiditas yang beredar di dalam negeri.
"Dana dari luar negeri milik WNI yang masuk ke dalam sistem keuangan di Indonesia juga akan memperbaiki dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Dana-dana tersebut bisa juga langsung diinvestasikan pada instrumen investasi seperti Surat Berharga Negara, obligasi BUMN, obligasi swasta dan surat utang swasta lainnya," ungkap Misbakhun.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu lantas menyodorkan itung-itungan soal tax amnesty. Andai ada Rp 2000 triliun saja dana repatriasi dari luar negeri yang masuk ke dalam sistem keuangan di Indonesia, maka imbasnya akan sangat luar biasa. Apalagi kalau jumlah tersebut ditambah dengan hasil deklarasi harta dalam negeri yang diharapkan mencapai Rp 4.000 triliun.
"Dengan tarif tebusan tiga persen dari perkiraan Rp 6000 triliun pada 2016, maka negara akan mendapatkan dana Rp 180 triliun," demikian Misbakhun.
[ysa]
BERITA TERKAIT: