Kedua anak, dikirim dalam waktu yang berbeda. Tapi keduanya ketika dikirim, sama-sama menginjak usia 15 tahun dan duduk di kelas III SMP. Yang pertama, perempuan, di tahun 1994 dan yang kedua laki-laki di tahun 1996.
Saat itu saya bekerja sebagai wartawan "Media Indonesia", media milik Surya Paloh.
Gaji sebagai wartawan "Media Indonesia", pasti tidak cukup untuk menyekolahkan anak di luar negeri. Tapi saya beruntung, mendapat tambahan penghasilan lumayan. Menjadi Project Editor dari pembuatan buku "The Non-Aligned Movement Towards Next Millenium" bersama Prof. Dr. Juwono Sudarsono.
Dari proyek buku yang didanai Presdir PT Bimantara Citra sebesar US$ 5,- juta dolar, saya ikut kecipratan jumlah yang lumayan.
Sebagai contoh untuk bolak-balik Jakarta - New York selama periode pertengahan 1993 hingga pertengahan 1995, dalam rangka mengumpulkan bahan bagi penerbitan buku tersebut, uang yang saya kantongi per hari tidak kurang dari US$ 500,-.
Tapi uang itu saya usahakan tidak terpakai semuanya. Saya lakukan penghematan besar-besaran. Tidak makan di restoran tapi warung-warung pojok di sekitar kawasan Manhattan, New York.
Uang makan siang dan makan malam sebesar masing-masing US$ 150,- dolar per hari - karena saya boleh mentraktir Duta Besar dari negara anggota Gerakan Non Blok di PBB, hanya saya gunakan US$ 15,- saja. Pertemuan dengan Duta Besar diusahakan terjadi di luar jam makan siang atau makan malam.
Sehingga secara matematika, dana yang terkumpul selama hampir dua tahun, cukup untuk membiayai anak untuk sekolah di Australia.
Sebagai wartawan sebetulnya saya punya jaringan di kalangan diplomat di negeri Kanguru itu. Tapi entah mengapa, saya tidak punya semangat memanfaatkan jaringan itu untuk kepentingan pribadi.
Di Canberra, ibukota Australia ada Sabam Siagian (almarhum) yang menempati pos Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh. Pak Sabam merupakan mantan atasan saya di harian "Sinar Harapan" dan selalu memperlakukan saya seperti adik atau sahabat terdekatnya.
Namun saya tidak tergoda mengontaknya untuk urusan sekolah anak. Karena saya cukup paham karakternya. Ia bisa membedakan persoalan yang patut dan yang tidak pantas.
Di Konsulat Jenderal RI, Sydney, juga ada Budi Rahardjo, diplomat senior yang menjadi sahabatku di Prancis di tahun 1980-an.
Kami sama-sama mendapat beasiswa untuk belajar di negeri parfum tersebut. Sama-sama satu tempat kos di kota Vichy, sewaktu kursus bahasa Prancis dan baru berpisah tempat tinggal setelah pindah ke Paris.
Kedekatan kami sudah seperti kakak beradik. Kami pernah berselisih tapi juga dengan cepat bersahabat. Kami berselisih di kota Vichy yang sebenarnya lebih disebabkan oleh rasa jemuh yang menggumpal di kala musin dingin. Kami rindu keluarga yang berada ribuan kilometer di Jakarta.
Hubungan persahabatan kami menjadi sangat kental. Antara lain disebabkan oleh perasaan senasib, hidup pas-pasan dengan uang beasiswa.
Lagi-lagi saya tidak mau memanfaatkan kedekatan hubungan dengan Budi. Walaupun ia tinggal sekota dengan kedua anakku. Satu-satunya yang saya manfaatkan, undangannya berkeliling Sydney dengan sedan BMW seri 7.
Di Jakarta atau Indonesia ketika itu, sedan ini baru dimiliki oleh belasan orang. Itupun karena yang mereka beli, kendaaran yang dipake oleh semua Ketua Delegasi APEC yang ber-KTT di Bogor.
Saya tidak ingin memanfaatkan jaringan dengan Pak Sabam dan Mas Budi, untuk urusan anak. Sebab keberadaan mereka di luar negeri untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sementara keberadaan anak-anak saya di luar negeri untuk kepentingan pribadi.
Sehingga menurut pandangan saya, tak patut kalu saya menelpon atau menulis surat agar Pak Sabam dan Mas Budi menugaskan staf mereka. Menjemput anak saya di airport dan mencarikan tempat indekos di Australia.
Sok gengsi? Barangkali iyah.
Yang pasti saya tidak ingin terjadi, profesi kewartawanan saya, digunakan untuk hal yang tidak patut.
Lagi pula saya sudah pesankan kepada anak-anak, bahwa keputusan mengirim mereka ke luar negeri, dalam rangka menghadapi persaingan hidup yang semakin keras. Di luar negeri mereka harus bisa mengurus diri sendiri atau hidup mandiri. Tidak ada pembantu dan harus bisa mencuci baju dan membersihkan kamar sendiri.
Saya bahkan minta mereka untuk tidak bergaul dengan orang Indonesia di negeri Kanguru tersebut. Takutnya, kalau terlalu banyak kontak dengan sesama orang Indonesia, saya mereka akan lebih banyak berbahasa Indonesia. Akibatnya kemampuan mereka berbahasa Inggeris hanya setara dengan saya. Yang cuma kursus loncat loncat di beberapa tempat kursus bahasa di Jakarta.
"Kalian harus kuasai bahasa Inggeris. Sehingga kalaupun hanya menjadi pembantu rumah tangga, tapi jadilah kalian pembantu rumah tangga dari orang super kaya di negara-negara maju"
"Jujur, papa mungkin tidak membiayai seluruh tahun belajar kalian. Sebab uang yang ada hanya sebatas dari proyek buku. Tapi sebagai orangtua, kalaupun kalian tidak tamat tapi sudah fasih berbahasa Inggeris, papa tidak malu kalu kalian jadi pembantu rumah tangganya Sultan Brunei", ujar saya berkali-kali.
Pengalaman mengirim atau menyekolahkan anak keluar negeri, menjadi topik yang cukup menarik bagi saya. Setelah mengamati perdebatan luas di media-media sosial yang mempersoalkan sikap Fadli Zon, Wakil Ketua DPR-RI.
Perdebatan mulai menyentuh ranah politik. Sebab tindakan Fadli Zon mulai dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan Rachel Maryam, yang juga sama dengan Fadli sebagai politisi Gerindra. Ketika berkunjung ke Prancis beberapa tahun lalu, Rachel juga meminta fasilitas dari Kedubes RI di Paris.
Mulai terjadi politisasi. Antara lain sudah ada yang mengundang wartawan untuk menghadiri Konperensi Pers di mana pihak pengundang ingin mengadukan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan Dewan DPR-RI. Niat ini sangat bermuatan politik.
Tanpa pengaduan ataupun sidang Mahkamah Kehormatan, Fadli Zon sebetulnya sudah disidang oleh netizen yang bergerak di dunia maya.
Bukan tidak mustahil terjadi - kalau tak ada yang mengingatkan, tindakan Fadli Zon kali ini bakal dihubungkan dengan Prabowo Subianto, pendiri dan Ketua Umum Partai Gerindra.
Mengingat Fadli Zon merupakan politikus kesayangan Prabowo Subianto, maka tindakan Zon meminta fasilitas bantuan ke KBRI di Amerika Serikat seolah didorong atau diketahui bahkan merupakan kebijakan Prabowo Subianto sebagai pimpinan Partai Gerindra.
Para penanggap sebaiknya memisahkan Prabowo Subianto dari prilaku Fadli Zon.
Saya menduga, secara moral Prabowo Subianto tidak senang dengan cara Fadli Zon menyurati KBRI dan Konjen RI di Amerika Serikat. Karena karakter yang dikesankan oleh Prabowo, dia ingin setiap anggota masyarakat Indonesia punya martabat atau harga diri.
Meminta fasilitas bantuan itu hal biasa tetapi merendahkan martabat. Meminta fasilitas, sementara negara sudah memberi fasilitas, itu mencerminkan karakter yang tidak pernah puas.
Permintaan bantuan itu sebetulnya hal yang biasa. Tetapi menjadi hal yang luar biasa dan tidak patut, karena cara Fadli Zon melalui pendekatan formal.
Dengan kop surat lembaga tinggi negara, Zon telah mencampur adukan pekerjaan persoalan negara dan pekerjaan pribadi. Kop surat lembaga tinggi negara itu seakan mengirim pesan, bahwa bantuan itu mutlak harus diberikan.
Para penanggap juga mungkin melihat sosok Fadli Zon sebagai politisi yang tidak mendengarkan kritik. Nyaris tak ada kritik terhadap Fadli Zon yang ditanggapinya dengan bahasa lunak.
Sehingga ketika mereka melihat ada hal yang tidak patut dilakukan Fadli Zon, para penanggap tambah bersemangat 'menyerang' Zon.
Sudah saatnya para penanggap dan pengeritik Fadli Zon, menghentikan hujatan mereka.
Rakyat dan bangsa sudah mendengar. *****