Tapi pengirim gambar memberi keterangan bahwa kondisi kesehatan politisi PDI-P saat itu, sangat berbeda dengan gambar tadi. Kondisinya merosot dan berada dalam situasi kritis atau serius.
Disebutkan bahwa setiap 3 hari, politisi yang memulai karirnya di dunia wartawan, harus melakukan transfusi darah.
Sebagai pribadi yang mengenalnya lebih dari 40 tahun, postingan itu seperti mengingatkan. Setiap manusia ada jadwal rahasia yang sudah ditetapkan oleh Tuhan Allah sebagai Maha Pencipta. Kapan sehat, kapan sakit. Kapan senang, kapan sedih.
Yang juga terbayang adalah kenangan sebagai sesama wartawan olahraga.
Mangara yang lebih senior, bekerja untuk harian "Sinar Pagi" sementara saya mewakili suratkabar sore "Sinar Harapan". Tempat pertemuan kami kawasan Senayan, daerah dimana terdapat kantor KONI dan berbagai cabang olahraga.
Dalam bayangan itu, masih tergambar bahwa ketika usia masih 20-an, tidak pernah berpikir, jika diberi umur panjang oleh Tuhan Sang Pencipta, hari tua itu akan diisi oleh berbagai macam penyakit.
Kita akan menjadi sahabat dokter dan pengkonsumsi berbagai macam racun pembunuh penyakit. Dan manakala semuanya sudah tidak mampu, nyawa kita akan melayang - kembali ke alam baka.
Yang ada hanyalah kekuatan dan kekuatan. Seakan kekuatan itu sebuah pemberian yang bersifat abadi, permanen.
Tidak pernah berpikir kelak kekuatan akan berganti dengan ketidakmampuan. Tak pernah menganggap pribahasa di atas awan masih ada langit atau tiada pesta yang tanpa akhir, sebagai ungkapan yang benar.
Pada waktu itu, hubungan kami tidak langsung akrab. Kami bahkan nyaris beradu jotos di kantor SIWO/PWI Jaya, yang saat ini berdiri Hotel Mulia, Senayan.
Saya tidak bisa menerima sifat Mangara yang kasar. Dia meletakkan kedua kaki yang dibungkus sepatu karet, di atas meja, tepat di depan saya duduk. Karena saya lihat dia menggertak, saya pun membalasnya dengan tindak serupa.
"Lu jual, gua beli", begitu kurang lebih kata saya dalam hati sambil menatap matanya dengan tatapan menantang.
Saling tatap-menatap dengan naluri siap dan ingin berkelahi itu terjadi, bukan tanpa sebab.
Sekitar setahun sebelumnya, tepatnya pada 5 Desember 1975, saya dikeroyok oleh petinju-petinju profesional dari sasana "Garuda Jaya", Jakarta.
Pengeroyokan yang sangat tak berprikemanusiaan. Beberapa gigi saya sudah rontok, mulut saya masih dimasukkan ke lobang tempat buangan tinja di wc jongkok.
Para pengeroyok marah, karena di majalah "Junior", anggota penerbitan "Selecta Group" tempat saya bekerja, diturunkan tulisan "love affair" bintang selebriti di era itu.
Bintangnya Ir. Rio Tambunan, pemilik "Garuda Jaya dengan Emilia Contessa, penyanyi pop yang sexy sekaligus diva Indonesia pada waktu itu.
Majalah "Junior" merupakan media pertama yang melaporkan detail ceritera percintaan Rio Tambunan-Emilia Contessa.
Eksklusifitas ini dijadikan alasan oleh para petinju anak buah Rio Tambunan, melihat media tempat saya mengasah profesi, sebagai media yang menyebarkan berita fitnah.
Pemilik sasananya, Ir. Rio Tambunan yang saat itu menjabat Kepala Dinas Tata Kota DKI dengan Gubernnya Ali Sadikin, merupakan sahabat kental Mangara Siahaan.
Keberpihakannya kepada Rio Tambunan ini, ia wujudkan dalam bentuk permusuhan dengan saya.
Tapi setelah insiden itu, hubungan kami berubah menjadi sahabat. Apalagi tulisan di majalah "Junior" memang sesuai kenyataan. Rio dan Emilia menikah di Gereja Matraman dan dalam waktu singkat melahirkan putri bernama Denada.
Mangara menjadi salah seorang sahabat, boleh jadi juga karena Mangara melihat media tempat saya bekerja, bukan lagi majalah infotaintment. Tetapi sudah sebuah media kredibel dan tentu saja diperhitungkan; "Sinar Harapan".
Sementara Mangara bekerja untuk harian "Sinar Pagi", koran yang diterbitkan (alm) Charlie Siahaan pada tahun 1974, saat "Sinar Harapan" sedang dibredel penguasa.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, kami berdua tak berlama-lama di kompleks olahraga Senayan. Saya ditugaskan meliput Parlemen kemudian Istana, sementara Mangara banting stir.
Ia menjadi pemeran utama dalam film "Binalnya Anak Muda" bersama bintang film top saat itu, Yenny Rachman. Masih ada sederet film lagi, setidaknya ada belasan dimana Mangara bermain.
Tetapi entah kenapa di dunia yang satu ini, kesuksesannya tidak sebinar raihan dari bintang seperti Roy Martin ataupun Sophan Sophiaan. Boleh jadi karena panggilan jiwanya bukan di dunia film, sehingga aktifnya tak menarik diulas wartawan film.
Mangara sebetulnya lebih merasa "in" dengan profesi jurnalis. Namun garis tangannya menetapkan ia tak pernah mendapatkan media yang bisa memberi jaminan kesejahteraan memadai.
Pada saat yang sama, waktu berjalan terus, argo kehidupan terus berputar. Tuntutan kebutuhan rutin rumah tangga tak pernah bisa berhenti atau ditunda.
Seperti ceriteranya pada satu pertemuan, dia tertarik bermain film karena bayarannya instan dan lumayan. Tapi mendapatkan peran dalam sebuah film juga seperti sebuah perjudian. Tidak selalu ada tawaran.
Ketika situasi perfilman sedang terpuruk, Mangara tidak bisa lagi keluar dari lingkaran perfilman. Sebab dalam dirinya sendiri sudah melekat julukan bintang film.
Sebaliknya kalau mau kembali ke profesi wartawan, usia sudah terlanjur tua.
Pada situasi seperti itulah, Mangara memutuskan ganti profesi. Anak Siantar ini tak segan-segan menjadi pengemudi taksi. Kepada sahabat-sahabatnya, Mangara tidak pernah merasa malu menceritakan profesi yang digelutinya.
"Yang penting gua ga meras, merampok atau mencuri", ujarnya satu ketika.
Pada awal 1990-an, Mangara memutuskan terjun ke dunia politik. Dia memilih PDI, partai yang saat itu dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai partai gurem.
Berkat statusnya di PDI, Mangara pun bisa masuk ke Parlemen Senayan. Nasibnya Anggota DPR-RI, jelas lebih baik ketimbang selaku wartawan ataupun bintang film. Selain gaji bulanan tetap, juga mendapat fasilitas rumah.
Manggara menjadi anggota Fraksi PDI-P selama tiga periode.
Di mata Edwin Sukowati, aktivis dan politisi yang ikut menginformasikan berita meninggalnya Mangara, tadi malam, Edwin menulis bahwa almarhum merupakan pribadi yang penuh warna kehidupannya.
Yah itu tadi, dari wartawan, kemudian jadi bintang film, lalu jadi sopir taksi. Tapi kemudian menjadi politisi. Dan saat Mangara menjadi politisi, partainya sempat meraih kursi terbanyak di Parlemen.
Ketika postingannya Edwin Sukowati beredar, sejumlah sahabat masih sempat bertanya : siapakah Mangara Siahaan - almarhum?.
Boleh jadi mereka memang tidak mengenalnya. Karena selama 20 tahun terakhir berkiprah dalam dunia politik, Mangara hanya berusaha berperilaku baik. Hanya mau menjaga nama baik pribadi dan keluarga.
Tidak pernah berusaha membuat skandal.
Atau sekalipun Mangara merupakan salah seorang sosok yang penuh warna kehidupannya, tapi warnanya hanya yang itu-itu saja. Monoton.
Tidak apa-apa Ra, .... karena tidak semua melupakan budi baikmu.
Selamat jalan sahabat. Beristirahatlah dengan tenang di perut bumi, Ibu Pertiwi, bumi Indonesia, negara yang kau cintai.
Sekali hidup sesudah itu mati. *****