Lewat film tersebut seakan hanya Sean Connary satu-satunya agen rahasia di dunia yang mampu membongkar jaringan mata-mata Rusia.
Sean Connary menjadi pahlawan bagi negara-negara non-komunis, blok Barat khususnya. Sebab hasil kerjanya yang membongkar jaringan mata-mata komunis, sama dengan menyelamatkan Barat dari kehancuran akibat berbagai rencana sabotase Rusia.
Dan yang tak kalah menarik bumbu ceriteranya. Wanita-wanita super cantik, sexy dan pintar, yang sengaja dipilih agen rahasia Rusia untuk diumpankan kepada Sean Connary, juga berhasil dilumpuhkan.
Sekalipun pada awalnya, Connary bisa ditipu atau ditahan, tetapi akhirnya ia bisa melepaskan diri.
Sementaa para wanita cantik itu bukan hanya berhasil ia yakinkan agar berpihak kepada Barat, tetapi sekaligus dia gerayangi di atas tempat tidur dengan klimaks tak tertandingi.
Sean Connary menciptakan lawan menjadi kawan. Rusia sebagai salah satu negara adidaya di benua Eropa, dibuatnya menjadi tak berdaya.
Film "From Rusia With Love" itu tentu saja tidak sepenuhnya faktual. Ada fiksi dan rekayasa di dalamnya. Banyak hal yang dimaksudkan men-stigma-kan Rusia sebagai negara tertutup dengan sistem pemerintahan yang non-demokratis.
Di era Perang Dingin, perang Blok Barat melawan Blok Timur (Komunis), film itu sebetulnya menjadi bagian dari materi propaganda Barat.
Moral ceriteranya bertujuan agar dunia tidak atau jangan pernah percaya kepada Rusia atau negara komunis. Pada waktu itu negara komunis ini juga dipersepsikan sebagai negara yang teknologinya tertinggal jauh dari blok Barat.
Kini, hampir setengah abad film "From Rusia With Love" itu diproduksi berikut Rusia sudah pecah dari negara induk Uni Sovyet - pada tahun 1990, sudah berubah banyak.
Setelah Perang Dingin usai, tak ada lagi film Barat yang diproduksi untuk "melecehkan" Rusia.
Negara yang kini dipimpin oleh Vladimir Putin, seorang politisi yang memulai karir di dinas rahasia Uni Sovyet, KGB, Rusia Kini, tidak lagi bisa dikategorikan sebagai negara komunis, negara yang teknologinya tertinggal jauh dari Barat.
Rusia dalam dua puluh lima tahun terakhir sudah berubah menjadi negara maju dan terbuka, setara dengan negara-negara Barat. Kekuatan ekonominya di dunia menduduki urutuan ke-6.
Rusia sudah muncul sebagai negara pesaing baru bagi negara-negara industri yang bergabung dalam Kelompok Tujuh (Group of Seven atau G-7). Yaitu Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Itali, Prancis, Jerman dan Inggeris.
Itu pula sebabnya pada tahun 1993, semasa Rusia dipimpin Boris Yeltsin, G-7 buru-buru meminangnya untuk mendirikan kartel baru atau menjadi bagiam dari G-8.
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa Rusia sudah sejajar dengan negara industri dari Barat. Rusia juga sudah pantas disebut sebagai negara modern.
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Vladimir Putin, pekan ini, mengambil tempat di kota Sochi, sebuah kota modern.
Disebut kota modern sebab Sochi merupakan sebuah kawasan resort di bagian Barat Rusia yang dipasarkan sebagai daerah tujuan wisata bagi negara-negara kaya di Eropa, Asia dan benua Amerika.
Sochi dua tahun lalu menjadi tempat penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin. Dimana mayoritas pesertanya berasal dari negara Barat.
Sochi juga merupakan tempat penyelenggaraan balap mobil tahunan Formula One. Di luar Formula One dan Olimpiade, setelah Piala Dunia Sepakbola Qatar, tuan rumah berikutnya adalah Rusia.
Di Indonesia, memang belum semua memahami bahwa Rusia sudah berubah drastis. Tidak banyak yang tahu bahwa saat ini di Bali dan sekitarnya terdapat enam ribu pemukim musiman asal Rusia. Mereka memiliki properti di Bali dan sekitarya.
Rusia sudah menjadi sebuah negara pluralis, dimana kebebasan beragama merupakan salah satu kegiatan yang dijamin oleh negara.
Vladimir Putin yang lahir, besar dan berkarir di era komunis, dalam kedudukanya sebagai Presiden Rusia saat ini, tanpa ragu meresmikan pengoperasian sebuah mesjid terbesar di negaranya. Sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Presiden dari Amerika Serikat ataupun Perdana Menteri dari sebuah negara anggota Negara Persemakmuran.
Dalam status Rusia seperti itulah, Presiden RI, Joko Widodo mengunjungi negara yang dijuluki oleh negara Barat sebagai Beruang Siberia ini.
Kunjungan Presiden Joko Widodo memang tidak dalam rangka hubungan bilateral. Melainkan dalam rangka multilateral - memperingati kerja sama ASEAN - Rusia yang sudah berusia 20 tahun.
Kendati tidak dalam konteks bilateral, tetapi kunjungan tersebut tetap bisa dimanfaatkan oleh Joko Widodo dan Vladimir Putin untuk membahas kerja sama dua negara.
Pagi tadi, TVRI melaporkan dari Sochi bahwa Widodo dan Putin antara lain membahas tentang kesempatan Rusia menggunakan teknologinya dalam pemberantasan "ilegal fishing". Pencurian ikan di laut wilayah Indonesia oleh kapal-kapal berbendera negara asing.
Sebagai sebuah kerja sama, sekalipun belum tahu kapan realisasinya dan sejauh mana efektifitasnya, namun agenda pemberantasan dan pembasmian pencurian ikan ini, patut dilihat sebagai sebuah proyek yang sangat strategis.
Sebab jika pembasmian pencurian itu bisa dilakukan dan berhasil, ratusan bahkan ribuan triliunan rupiah yang berbentuk devisa, bisa diselamatkan Indonesia.
Laut kita yang kaya raya yang selama ini hanya menjadi bancakan negara-negara pencuri dan mafia perdagangan hasil laut, pada akhirnya bisa diselamatkan.
Kehadiran armada ataupun teknologi Rusia di matra laut dalam rangka membasmi pencurian ikan, bisa memberi efek keseimbangan atas kehadiran armada asing yang semaunya bermanuver di wilayah Indonesia.
Oleh sebab dari sisi ini saja, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia sudah patut kita maknai sebagai sebuah perjalanan yang sangat bermanfaat. Perjalanan untuk mengingatkan hadirnya kembali Indonesia sebagai sebuah negara yang butuh sahabat sekaligus dibutuhkan oleh sahabat dalam koridor dan dimensi kesetaraan.
Perjalanan yang tidak dimaksudkan untuk mengemis bantuan, meminta pinjaman atau membentuk konspirasi.
Mengunjugi Rusia, itu sama dengan langkah membuat keseimbangan dalam hubungan persahabatan antar bangsa.
Sebuah langkah positif dan konkrit yang sejalan dengan kebijakan Indonesia dalam politik luar negeri yaitu bebas aktif.
Sebab ada perasaan yang tak bisa disembunyikan. Yang menilai bahwa dalam satu tahun terakhir ini Presiden Joko Widodo terkesan tidak berbeda banyak dengan presiden terdahulu, Susilo Bambang Yudhoyono.
Keduanya tetap menjadikan Amerika Serikat sebagai kiblat untuk segala kebijakan. Kiblat Indonesia ke Amerika Serikat dari waktu ke waktu terus menguat. Perbedaan Joko Widodo dan SBY hampir tak ada jika sudah menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan AS.
Sejak dilantik pada Oktober 2014, Presiden Widodo sudah dua kali berkunjung ke Amerika Serikat. Presiden Soeharto saja yang naik ke kekuasaan atas bantuan AS, tidak melawat ke Amerika Serikat seperti cara Widodo.
Selain Presiden, Wapres Jusuf Kalla maupun sejumlah elit politik Indonesia, paling banyak berkunjung atau berkiblat ke Washington. Berkunjung tidak hanya dalam arti bekerja. Untuk berobat atau istirahat saja, harus atau perlu ke Amerika.
Menguatnya kiblat Indonesia ke Amerika Serikat, tentu saja tidak sepenuhnya salah atau merugikan.
Namun jika pidato Presiden Joko Widodo pada April 2015 atau enam bulan setelah ia dilantik sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia, yang dijadikan ukuran, kiblat ke Washington ini mencerminkan ketidak konsistenannya atas ucapan dan tindakan.
Dalam pidatonya di Bandung bertepatan dengan peringatan 60 tahun Konperensi Asia Afrika, Presiden secara mengejutkan mengecam Amerika Serikat , PBB, Bank Dunia dan IMF.
Di mata Presiden Widodo, kebijakan global AS dan lembaga-lembaga internasional tadi, telah menghasilkan banyak negara sehat menjadi negara miskin.
Pidato ini mengingatkan retorika almarhum Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia.
Namun memori itu hanya bertahan sebentar. Sebab tak lama setelah itu, sikap Indonesia terhadap AS, PBB, Bank Dunia dan IMF, melemah.
Presiden pun kemudian menerima kunjungan berturut-turut President Bank Dunia dan Managing Director IMF. Terakhir bersedia menerima pinjaman uang dari Bank Dunia dan IMF. Kembali Indonesia dijerat hutang oleh AS.
Saya tidak bermaksud mengajak Presiden menjauhi Amerika Serikat, PBB, Bank Dunia dan IMF. Melainkan jauhilah sikap yang selalu menganggap para pihak ini sebagai sahabat permanen apalagi penyelamat.
Dengan negara manapun, sikap Indonesia harus bebas aktif. Bahkan apabila memang dibutuhkan, bebas aktif itu harus juga kita ambangkan. Bila perlu dimanifestasikan dalam bentuk multi interpretatif atau multi standard.
Politik di era modern, di dunia tanpa pembatas, politik bebas aktif Indonesia juga harus dijalankan bebas tanpa batas. Tida boleh kaku melainkan kalkulatif.
Kalau Amerika Serikat atau PBB berikut Bank Dunia dan IMF dalam melaksanakan kebijakannnya bisa "double standar" atau standar ganda, Indonesia pun bisa menerapkan lebih dari itu : multi standard. Yang terpenting kepentinagan Indonesia, kepentingan nasional tercapai dan terjaga.
Oleh sebab itu sambutan positif perlu diberikan atas keputusan Presiden Joko Widodo yang menyempatkan diri berunding dengan Presiden Rusia. Semakin banyak kerja sama yang bisa diwujudkan oleh kedua negara, semakin banyak kepentingan ini terjaga.
Sebagai warga bangsa, saya bangga melihat Joko Widodo tidak datang sebagai Presiden yang sedang mencari pinjaman uang.
[***]
penulis adalah jurnalis senior