Koruptor, misalnya, melakukan kriminal dengan motif ekonomi. Tetapi, kekerasan seksual terhadap anak terjadi karena pelaku mengganggap dirinya lebih kuat dan berkuasa atas korban. Itu lebih kejam daripada koruptor. Berdasarkan alasan perbuatan saja, pertimbangan hukumannya harus sudah memberatkan.
Dalam perspektif teori kriminologi, penegak hukum masih mengandalkan keberadaan bukti fisik seperti DNA pelaku yang masih melekat di tubuh korban ataupun luka di alat kelamin maupun anggota tubuh lain. Permasalahannya, para korban kekerasan sesksual baru melapor ke aparat beberapa hari, bahkan berbulan-bulan karena mereka harus meneguhkan mental dan batin terlebih dahulu.
Akibatnya, dalam memproses perkara, aparat memakai pendekatan keraguan yang beralasan dan hanya membangun konstuksi kasus berdasarkan laporan para korban, tanpa disertai bukti forensik. Itu membuat jaksa dan hakim dalam pengambilan keputusan bersikap sangat berhati-hati dan tidak menjatuhkan hukuman maksimal.
Keterangan dari korban berusia anak juga kerap diremehkan dan dipandang tidak valid.
Kendala kultural juga sering menghambat untuk korban dan keluarganya cepat melaporkan peristiwa kekerasan seksual terhadap anak dengan alasan dipandang sebagai aib keluarga.
Untuk itu aparat negara, seperti di Filipina, memberatkan pencarian bukti kepada pelaku, bukan korban.
Mendesak Pemerintah agar memperbaiki sistem pemidanaan pelaku kekerasan seksual daripada membuat peraturan baru untuk menjatuhkan pemberatan hukuman seperti kebiri kimiawi karena berpotensi merendahkan martabat manusia dan kurang etis.
Lembaga Pemasyarakatan sejatinya juga dilengkapi dengan tenaga ahli kejiwaan guna merehabilitasi pelaku. Sejauh ini, rehabilitasi masih berupa pendekatan kerohanian, olah raga, dan pengajaran keterampikan. Belum ada yang fokus kepada perubahan pola pikir dan penyembuhan psikologis. Ketika dibebaskan pun, mereka juga harus tetap berada dalam pemantauan.
Belum lagi dalam profesi kedokteran dokter seharusnya mengobati bukan untuk merusak organ seseorang. Secara etika, merusak organ seseorang itu tidak sesuai etika kedokteran.
Hal lain yang harus digalakkan adalah ketahanan keluarga Indonesia dan partisipasi publik memberikan perlindungan terbaik buat anak-anak Indonesia.
Dalam perspektif HAM, hendaknya hukuman kepada pelaku bukan berupa balas dendam. Di dalam masyarakat yang dewasa dan peradaban modern, hukuman kepada pelaku kriminal bertujuan memberi ganjaran yang setimpal dan pembinaan agar pelaku kembali menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia. Hukuman yang bersifat merendahkan martabat manusia tidak memberi jaminan penyelesaian masalah, tetapi lebih pada pemuasan dendam semata. Hukuman seperti kebiri itu justru berpotensi menumbuhkan dan mewariskan dendam berkelanjutan bagi pelaku ataupun orang yang merasa dipermalukan.
Dengan demikian, Komnas HAM tidak merekomendasikan hukum kebiri; lebih baik gunakan hukum seberat-beratnya. Sebaiknya Perpu Kebiri tidak sampai terbit. [***]
Penulis adalah Komisioner Komnas HAM
BERITA TERKAIT: