Mereka menuntut Pemerintah untuk mengambil langkah serius dalam menangani kasus kekerasan seksual yang belakangan ini banyak terjadi.
Menurut mereka, Indonesia saat ini tengah mengalami darurat kekerasan seksual. Maka dari itu, Pemerintah dan DPR diminta untuk segera membahas dan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Namun begitu, mereka menolak keras hukuman hukuman kebiri dan hukuman mati kepada palaku kekerasan seksual.
"Kami menolak hukuman kebiri dan hukuman mati, karena itu akan memperpanjang rantai kekerasan," ujar project coordinator access to justice IDAHOT, Lini Zurlia di kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (15/5).
Lebih lanjut Lini mengatakan, saat ini negara harus memusatkan perhatian dan kerja pada upaya pemulihan, rehabilitasi dan penghapusan stigma terhadap korban, daripada menghabiskan banyak sumber daya untuk hukuman yang tidak manusiawi dan tidak terbukti efektif serta tidak sesuai prinsip pemidanaan.
Pemerintah juga diminta untuk segera mendorong Kurikulum Pendidikan Seksual Komperhensif dalam institusi pendidikan mulai dari tingkat rendah hingga perguruan tinggi.
"Menghapuskan segala bentuk misoginisme (kebencian terhadap tubuh perempuan) yang secara sosial mengakar kuat dan menjadi fundamen atas kekerasan seksual yang terjadi selama ini," terang Lini.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2015 mencatat kekerasan seksual adalah jenis kekerasan kedua paling tinggi setelah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72 persen atau 2.399 kasus, pencabulan 18 persen atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5 persen atau 166 kasus.
[rus]
BERITA TERKAIT: