"Yang memutuskan dia hadir atau tidak dalam suatu rapat atau kunjungan, ya politisi itu sendiri. Oleh karena itu pertanggungjawaban dibuat lumpsum. Lumpsum pun sebenarnya tidak pas," kata anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, M. Prakosa, dalam keterangan beberapa saat lalu (Jumat, 13/5).
Menurutnya, sistem yang pas adalah seperti yang dipraktikkan di negara-negara dengan pemilihan langsung. Yakni politisi mendapat suatu jumlah biaya tertentu dalam satu tahun untuk kebutuhan bertemu konstituen dan kunjungan kerja. Dari situ, apakah si anggota memakai staf atau tidak untuk daerah pemilihan masing-masing, akan menjadi keputusan politiknya.
"Sementara kalau DPR kita sekarang ini sebenarnya merendahkan martabatnya sendiri. Karena kalau kita akan kunjungan dapil, harus minta uang ke Sekjen SPR. Setelah Sekjen oke, baru kita bisa ke dapil," kata dia.
Dengan praktik demikian, anggota dewan sepertinya berada di bawah Sekjen DPR, paling tidak dalam hak keuangan. Sementara Anggota parlemen di negara-negara lain pasti punya hak keuangan, tidak seperti di Indonesia yang diperlakukan seperti pegawai.
"Masa akan melakukan kegiatan harus minta Sekjen? Dan setelah selesai kegiatan harus membuat laporan pertanggungjawaban? Sepertinya Sekjen seakan seperti atasan yang memutuskan kita untuk dapat berkegiatan. Sekjen DPR itu kan bagian dari Eksekutif atau Pemerintah. Jadinya, kalau mau melakukan kegiatan politik adalah harus ijin Pemerintah atau eksekutif," demikian Prakosa.
[ysa]
BERITA TERKAIT: