Hal itu dijelaskan Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam dialektika demokrasi bertema 'Yuyun, Kebiri dan Hukuman Mati' di Media Center DPR, Jakarta (Kamis, 12/5). Pembicara lainnya adalah Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh, dan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar.
Saleh menduga bahwa yang dimaksud kejahatan luar biasa itu terkait dengan situasi dan kegentingan yang memaksa. Dalam kondisi seperti itu, Presiden berhak mengeluarkan Perppu.
"Namun penggunan istilah
extra ordinary crime perlu mendapatkan penjelasan khusus agar tidak disangkutpautkan dengan istilah kejahatan luar biasa pada pengadilan internasional seperti (kejahatan) genocide," ungkap politikus PAN ini.
Diakuinya saat ini sudah dirasakan adanya hal-ihwal kegentingan yang memaksa yang membuka ruang bagi Pesiden untuk menetapkan Perppu, termasuk Perppu Kebiri atau Perppu UU 35/2015 tentang Perlindungan Anak. Mengingat merebaknya kasus kekerasan seksual kepada anak-anak.
"Semestinya Presiden sudah mengeluarkan (Perppu) karena sudah lama drafnya selesai. Saya dapat infornya dari Mensos dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Jadi tinggal ditetapkan untuk segera dikirimkan ke DPR," tandasnya.
Sedangkan Ketua KPAI, Asrosun Niam mengakui jika sejak ada isu kebiri tingkat kejahatan seksual menurun di tahun 2015. Tetapi setelah empat bulan kemudian di mana isu kebiri hilang dari pemberitaan, kekerasan seksual, terutama terhadap anak kembali meningkat.
"Kebiri itu memang terjadi pro dan kontra di masyarakat. Tapi, kalau membuat undang-undang kebiri maka akan menjadi produk politik dan butuh waktu lama. Untuk itu. Presiden RI setuju Perppu dengan melakukan melalui pendekatan hukum sampai disetujui 20 tahun. Bahkan setuju hukuman mati, karena korban akan mengalami trauma seksual dan masa depan yang suram," jelasnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: