Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menko Rizal Ramli Sidak Bebas Visa, ASITA Apresiasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Rabu, 27 April 2016, 18:10 WIB
Menko Rizal Ramli Sidak Bebas Visa, ASITA Apresiasi
menko rr sidak
rmol news logo Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) mengapresiasi langkah Menko Maritim Rizal Ramli yang pada Senin kemarin melakukan inspeksi mendadak ke Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Apalagi selama ini, anggota ASITA sering komplain soal implementasi kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) itu. Karena di lapangan masih tidak visa free.

"Kami semua sadar, sebetulnya BVK adalah kebijakan yang sangat bagus. Kami merasakan ada pertumbuhan rata-rata 5% setiap bulannya. Tapi sayang, koordinasi antarlembaga atau kementerian masih lemah. Sikap tegas Pak Menko Maritim Rizal Ramli dengan sidak itu membuat kami lega," ungkap Ketua Umum ASITA Asnawi Bahar dalam rilisnya (Rabum 27/4).

Karena dalam sidak kemarin tersebut, dia menjelaskan, Menko Rizal menemukan sendiri, banyak keluhan soal wisman yang masih harus membayar visa on arrival, meskipun negaranya sudah dinyatakan berstatus BVK. [Baca: Pascasidak, Ini Jurus Menko Rizal Ramli Optimalkan Kebijakan Bebas Visa]

Asnawi sendiri yakin, kebijakan BVK yang diberlakukan pada 169 negara itu bisa menaikkan wisman ke tanah air. Deregulasi dengan BVK itu memudahkan orang asing untuk berkunjung ke tanah air. Misalnya, di China ada kota seperti Shenyang, Chengdu, Wuhan, Dangdong, Xiamen, Anhui, Xi’an dan lainnya yang tidak ada KBRI atau KJRI. Untuk mengurus VISA, mereka harus terbang ke Beijing, atau Shanghai, atau Guangzhou, yang jaraknya jauh dan tentu akan merepotkan.

Mereka pasti akan memilih tempat wisata yang lebih mudah, murah, simple, tidak rumit, tidak harus antre menunggu, dan terbang di satu kota yang kehilangan waktu efektif. Dari sisi costumers, atau calon wisman, regulasi baru Bebas Visa itu sangat menguntungkan. Mereka juga tidak perlu membayar USD 35 setiap kali hendak mendapatkan izin masuk ke Indonesia itu.

Bagi Indonesia, mereka tidak membayar USD 35, tetapi selama di tanah air mereka membelanjakan USD 1.200 per kepala per visit. Angka USD 35 itu tidak seberapa dibandingkan dengan USD 1.200, yang 40 persen digunakan untuk kuliner dan souvenir, 30 persen untuk airlines, dan 30 persen untuk hotel dan akomodasi. Pajak yang dipungut dari hotel, restoran, souvenir, shopping itu kembali ke negara. Sisanya masuk ke industri yang menghidupi orang Indonesia juga.

"Kadang kami-kami ini sedih, dan bingung. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu, terkesan tidak didukung oleh unsur pemerintah sendiri. Jadi, kami-kami yang di lapangan ini selalu repot dengan complain para wisatawan, karena itu tidak ada dalam item biaya,” kata dia.

Dari analisa Asnawi, problem ini terjadi pada kunjungan wisatawan yang bersifat perorangan. Sedang yang melewati grup, tour operator dan travel agent, Asnawi menjamin clear. Kalau dari asosiasi semua sudah satu suara. Tidak ada pemungutan biaya pembuatan visa karena semua anggota kami sudah kumpulkan dan beri pengarahan soal kebijakan BVK,” ucapnya.

Solusinya, Asnawi menyarankan agar pemerintah rajin menggelar Rapat Koordinasi khusus tentang kepariwisataan. Dulu pernah dilakukan. Tapi dari 22 kementerian atau institusi yang diundang banyak yang tidak hadir. Saya menyarankan, industri dan pelaku pariwisata dilibatkan dalam rakor tersebut, terutama soal kebijakan bebas visa masuk itu,” kata dia.

Asnawi menjelaskan, bebas Visa itu bagian dari international openness, yang menjadi salah satu poin dalam pilar penilaian World Economic Forum (WEF). Semua mengakui kebenaran dari pilar itu, karena akan memudahkan orang untuk masuk ke negara ini, tanpa perlu harus mengurus Visa. Seperti orang yang di kota kecil di China.[zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA