Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

30 MENIT BERSAMA JOKOWI (Habis)

Di Antara Orang Kecil Dan Kekuasaan Yang Menjauh

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Minggu, 24 April 2016, 11:20 WIB
Di Antara Orang Kecil Dan Kekuasaan Yang Menjauh
CERITA ini masih bagian dari catatan di Istana bersama Jokowi. Meskipun waktu yang tersedia sangat sempit ketika pengurus Kadin Paradigma Baru bertatap muka dengan Jokowi di Istana Jumat siang (15/4), akan tetapi intensitas topik pembicaraan membuat dialog menjadi sangat akrab. Jokowi dan Kadin berdiskusi akrab layaknya sahabat lama. Jokowi tidak segan-segan langsung curhat.

Sikap populis Jokowi yang dikenal merakyat dengan 'trade mark' blusukan, sepertinya nyekrup dengan filosofi Kadin Paradigma Baru sebagai peilindung ekonomi rakyat.

Trend korupsi terbuka yang gila gilaan melibatkan pejabat publik dan kalangan dunia usaha di era reformasi ini,  membuat bangsa disorientasi ideologi. Masifnya demoralisasi pejabat berakibat negara jadi oleng dan rakyat kehilangan nakhoda.

Indonesia seakan kehilangan tokoh pemimpin panutan untuk mengawal negara besar ini. Negara yang kemerdekaanya diperoleh dengan darah, keringat dan air mata serta harta benda yang tidak terkira jumlahnya, berubah seperti markas besar mafioso. Perahu besar Indonesia sedang terjebak badai dan taufan, di tengah gelombang hitam samudera luas di langit malam yang pekat.

Praktek gangster of agreement alias persepakatan para penjahat di wilayah eksekutif, legsilatif dan yudikatif yang tumbuh subur di era reformasi, seakan menjadi agama baru yang menyedot dengan cepat banyak pengikut. Agama baru ini menjunjung tinggi sila keuangan yang maha esa. Inilah sumber utama masifnya korupsi berjamaah lintas lembaga tinggi negara.

Kepemimpinan Jokowi yang apa adanya. Model blusukan yang sederhana dan mampu menghadirkan warna kepemimpinan yang berbeda sebelumnya: Jujur, sejuk, spontan dan mengkhawatirkan. Kepemimpinan yang terkesan senyap dari retorika ini, berhadapan dengan raksasa buto ijo yang bernama gangster of agreement.

Warna baru kepemimpinan yang jauh dari eufemisme, feodalistik, basa basi dan namun konfiden itu memiliki daya tarik sendiri. Baju putih tangan panjang tanpa jas dan dasi menegaskan: Jokowi ke mana-mana selalu membawa hati putih rakyat yang perlu diperhatikan, butuh disapa dan rindu disejahterakan.

Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya lakukan, ketika saya menyodorkan foto dua orang cucu saya Gading dan Ratu (laki dan perempuan) berumur duabelas tahun kepada presiden. Saya minta tanda tangan untuk cucu saya yang masih berpakaian ihram diatas foto itu, karena barusan pulang umroh.

Presiden tidak menolak, menghentikan langkahnya memenuhi permintaan saya. Pulpen punya saya. Foto yang saya genggam dan ditopang HP ditanda tangani Jokowi dengan tulus dan ikhlas sambil senyum bersahabat. Tidak ada petugas yang melarang. Tidak ada desah nafas keberatan. Saya tangkap wajah Jokowi diliputi rasa bahagia karena bisa membagi kebesarannya kepada  dua anak kecil itu. Anak kecil  yang tidak dikenalnya. Yaa tidak dikenal secara fisik. Tapi anak kecil itu analog dengan rakyat kecil; mereka manusia yang lemah. Memerlukan tangan perkasa untuk melindunginya.

Akhirnya saya berkesimpulan: Orang kecil yang lemah; mereka  yang butuh perlindungan; mereka yang selalu jadi korban janji pemimpin. Sepertinya bayangan mereka selalu bicara jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam di diri Joko Widodo. Kapan saja dan di mana saja presiden itu berada. Saya lalu menjadi mahfum, jika Jokowi selalu berbicara mengenai keberpihakan kepada mereka yang lemah; kepada rakyat kecil; kepada mereka yang terpinggirkan. Pada saat yang sama, mengecam kekuasaan yang menjauh dari rakyat kecil; penguasa yang mengkhianati amanah rakyat.

Saya teringat dengan ucapan Harry S.Truman, presiden ke-33 Amerika Serikat: "Saya telah mempelajari kehidupan pria-pria besar dan wanita-wanita terkenal, dan saya menemukan bahwa mereka yang mencapai puncak keberhasilan adalah mereka yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ada di hadapan mereka dengan segenap tenaga, semangat dan kerja keras".

Program Truman yang terkenal disebut sebagai Fair Deal atau Tindakan Adil. Dia  menyampaikan kepada Kongres satu program yang terdiri dari 21 pasal, yang isinya antara lain; mendesak agar jaminan sosial diperluas, pengangguran dihapuskan, perumahan rakyat dibangun, daerah-daerah kota yang sudah rusak dibangun kembali. Harry S.Truman dianggap lebih peduli terhadap masyarakat karena programnya yang menitik beratkan keberpihakan kepada rakyat kecil. Adakah Jokowi pengagum Truman, karena ada kesamaan visi di dalam Program Nasional Nawa Cita?

Tapi, apapun itu. Jokowi tampak berusaha keras mengenal siapa yang dipimpinya. Bukan hanya mau memimpin orang yang dikenalnya. Nawa Cita ketiga dan keempat mengandung pesan penting tentang keberadaan ideologi kebangsaan, di dalam mana moralitas dan loyalitas seseorang kepada bangsanya tidak boleh digadaikan atau ditukar dengan fasilitas materi dari bangsa lain.

Ini bunyi Nawa Cita ketiga dan keempat: 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

Dalam kerangka negara kesatuan, tidak boleh ada penghianat bangsa yang menjual negeri ini kepada bangsa asing. Ini harga mati. "Setia hingga keyakinan terakhir", kata pahlawan nasional Wolter Monginsidi.

*Penulis adalah wartawan senior, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA