Sekalipun konsepnya hanya meniru apa yang sudah dijalankan di luar negeri, tetapi kreatifitaslah yang menjadi kunci utamanya. Sebab tanpa kreatifitas, kecanggihan aplikasi tak akan ada manfaatnya.
Ibarat smart phone, walaupun sudah dilengkapi berbagai fitur, tetapi kalau pemiliknya tidak kreatif, telepon pintar itu hanya difungsikan untuk menerima dan membuat panggian telepon.
Oleh sebab itu Pemerintah sebetulnya perlu mengapresiasi mereka yang kini bergerak di dalam bisnis moda transportasi baru ini.
Sebab sebagai akibat dari kreatitiftas generasi baru tersebut, berikut kehadiran moda transportasi baru yang mereka perkenalkan, telah menciptakan lapangan kerja baru. Setidaknya muncul pengemudi-pengemudi baru atau berdiri pula perusahaan penyewaan kendaraan. Sesuatu yang secara faktual ikut membantu Pemerintah penyediaan lapangan kerja.
Bahwasanya kehadiran "Grab Taksi" dan "Go Jek" berdampak negatif, misalnya ada perusahaan taksi dan pengemudi taksi merasa tersaingi, itu sebuah persoalan tersendiri. Menjadi kewajiban perusahaan taksi dan para pengemudi taksi, juga perlu melakukan introspeksi. Bertanya, apa yang menjadi alasan masyarakat pengguna jasa taksi, dengan cepat beralih ke sistem angkutan baru.
Padahal: "Grab Taksi" dan "Go Jek" tidak pernah berpromosi. Yang mereka lakukan hanyalah menyebar jasa layanan mereka dari mulut ke mulut.
Oleh sebab itu menolak "Grab Taksi" dan "Go Jek" apalagi dengan membuat kisruh melalui demo atau sweeping, itulah justru yang harus ditangani Pemerintah.
Dan Pemerintah tidak boleh menghadapi tekanan para pendemo. Sebab dengan cara itu, Pemerintah sama saja mentolerir setiap kegiatan yang bersifat tekanan, ancaman atau parlemen jalanan.
Yang patut disayangkan, Pemerintah, khususnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, sepertinya tidak menyadari sikapnya yang keliru. Atau tidak mau menerima kenyataan baru yaitu hadirnya TI dalam bisnis transportasi.
Reaksi cepat Menteri Perhubungan yang cenderung anti atas kehadiran dua layanan jasa transportasi tersebut, justru mengejutkan. Karena sebelum Jonan diangkat sebagai Menteri, dia termasuk pejabat Pemerintah yang dinilai kreatif ketika mengurus PT Kereta Api. Dia terkenal dengan terobosan.
Ironisnya setelah menjadi Menteri, kreatifitasnya itu yang justru hilang.
Kelihatannya Pak Menteri berreaksi secara spontan tapi tidak atau belum pernah meminta penjelasan dari orang yang tepat tentang mengapa dalam waktu singkat masyarakat pengguna jasa kedua "moda transportasi" tersebut meningkat dengan cepat.
Semestinya sebelum bereaksi, Pak Menteri sebagai regulator terlebih dulu mempelajari keunggulan yang digunakan operator. Bahkan bila perlu mencoba moda transportasi yang ia rencanakan akan ditata.
Saya termasuk yang tadinya tidak peduli dengan kehadiran dua moda transportasi tersebut. Dalam arti tidak merasa terganggu dan tidak berpikir akan menggunakan jasanya.
Tetapi beberapa kali mendengar ceritera pengalaman dari mereka yang sudah menggunakan "Grab Taksi" maupun "Go Jek", akhirnya tertarik. Intinya sebagai pengguna jasa, kita menemukan layanan yang relatif cukup memuaskan.
Jadi
Catatan Tengah ini lahir, karena kebetulan saya sudah beberapa kali menggunakan jasa "Grab Taksi" dan "Go Jek".
Khusus dengan "Go Jek" yang saya gunakan bukan alat transportasinya. Tetapi layanan untuk membeli makanan ("Go Food"), minta diurut di rumah ("Go Massage") dan satu lagi belanja barang menjelang tengah malam atau "Go Shop".
Karena mau praktis berhubung tidak ada pembantu di rumah, kami sekeluarga memesan makanan melalui "Go Food". Kami tidak perlu mengirim atau mentransfer sejumlah uang yang terlebih dahulu. Karena si pengemudi "Go Jek" itulah yang menalanginya. Kami baru membayar setelah makanan yang dipesan sudah tiba di rumah. Pengemudi "Go Jek" setiap harinya dibekali oleh operator uang tunai sebanyak kurang dari satu juta rupiah.
Saya merasa letih kemudian memesan tukang pijit ke rumah. Si tukang pijit pun yang datang ke rumah, berpakaian bersih, tidak bau ketiak dan sejumlah data penting tentang dirinya muncul di layar hand-phone.
Yang belum dicoba adalah "Go Clean", atau jasa untuk membersihkan rumah atau mencuci pakaian.
Selain tiga layanan itu masih ada beberapa layanan lainnya lagi. Seperti "Go Salon" (untuk ibu-ibu atau wanita yang malas ke salon dan "Go Box", untuk layanan angkut barang pindah rumah.
Saya tertarik menggunakan "Grab Taksi" karena dari kawan yang sudah pernah menggunakan jasa tersebut, ketika sopirnya pribadnya tidak masuk kerja. Saya pun men-down load aplikasinya di hand-phone Android yang saya gunakan sehari-hari.
Dengan "Grab Taksi", cukup nyaman. Sebab saya tidak harus ke jalan raya. Tidak perlu takut kehujanan atau kepanasan. Juga tidak perlu berspekulasi, seberapa lama waktu menunggu. Cukup dari dalam rumah dengan meng-klik fitur Grab Taksi yang tersedia.
Hanya dalam hitungan detik, sudah tersambung dengan mobil yang dipesan lengkap dengan penjelasan, berapa menit kendaraan itu akan tiba, berapa nomor polisinya, siapa nama pengemudi berikut nomor hand-phonenya.
Kalau mau batalkan, fitur pesanan untuk itu juga tersedia. Tapi kalau tidak, karena kita sudah menyebutkan akan di-drop di lokasi mana, maka dalam layar hand-phone yang dilengkapi peta yang akan dilalui, juga sudah tercantum berapa biaya yang harus dibayar.
Dengan dicantumkannya jumlah biaya yang harus dibayar, apapun yang terjadi di jalan, misalnya macet atau harus berputar lebih jauh mencari jalan alternatif, tak akan mengubah tarif yang harus dibayar.
Tentu timbul pertanyaan, apakah tarifnya lebih mahal atau murah? Relatif. Tetapi sebagai gambaran untuk jarak dari Ciganjur ke Patal Senayan, membayar Rp. 62,- ribu. Tarif ini terasa murah jika sopir saya mengantar saya dengan Jeep BMW X5. Untuk jarak tersebut setidaknya menelan bensin Pertamax 10 liter atau Rp. 90- ribuan, harga sebelum turun.
Dengan mobil pribadi masih harus membayar parkir. Selain itu, resiko tersenggol sangat terbuka.
Perasaan sebagai pelanggan yang mendapat pelayanan memuaskan, sangat terasa. Apalagi dalam soal keselamatan. Sebab semua data komunikasi dengan operator atau sopir taksi, terekam semua. Data itu bisa di-forward ke keluarga atau teman, melalui SMS, WA, atau E-mail maupun ke media sosial seperti Facebook.
Sehingga dengan cara itu semua pihak yang saya kirimi data, tahu semua keberadaan saya pada jam-jam ketika mengunakan taksi tersebut. Nah, coba bandingkan dengan taksi umum. Seberapa banyakkah informasi yang bisa kita bagikan ke keluarga ataupun teman?
Oleh sebab itu, saya sangat yakin kekurangan informasi yang didapatkan Pak Menteri Perhubungan tentang "Grab Taksi" dan "Gp Jek". Sehingga reaksinya terhadap kehadiran dua moda transprotasi, tidak tepat bahkan ikut telah menimbulkan kegaduhan.
Ini tercermin dari cara Menteri Perhubungan Selasa pagi tadi ketika menjawab pertanyaan secara telekonferens di acara talk show TVOne.
Yang lebih mengejutkan lagi, Menteri Jonan yang kalah cepat dengan terobosan "Grab Taksi" atau "Uber Taksi", berusaha memblokir aplikasi TI yang digunakan operator dan pemakai jasa. Caranya dengan meminta Kementerian Kominfo (Komunikasi dan Informasi) agar memblok website atau portal perusahaan taksi tersebut.
Maksud baik Menteri Jonan jelas ada. Yaitu ingin semua peraturan di dunia perhubungan ditegakkan. Begitu juga ia ingin menjawab protes dari kalangan pengusaha taksi dan par sopir. Ia ingin memperlihatkan bahwa dia cukup peka.
Tetapi maksud baik kalau tidak dibarengi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang cara beroperasinya "Grab Taksi" dan Go Jek", justru hanya menimbulkan keanehan. Seorang Menteri yang merasa memiliki kekuasaan dan wibawa, akhirnya hanya jadi bahan tertawaan.
Oleh sebab itu ketika mengikuti talk show d TVOne yang mempermasalahkan soal kehadiran "Grab Taksi", saya hanya bisa tersenyum geli.
Pak Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, terkesan ia berusaha menunjukkan wibawanya sebagai pejabat tinggi. Atau pejabat tinggi itu pasti tidak pernah bisa berbuat salah.
Sebuah stereotype yang semestinya dibuang jauh-jauh. Yah menghadapi dua moda transportasi baru ini, Kementerian Perhubungan tidak perlu panik apalagi kalap.
[***]