Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

REKOR BARU KORUPSI RP 27 T

KPK Tak Ditakuti Koruptor

Mega Skandal Bank Century, Tersaingi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 14 Februari 2016, 11:53 WIB
KPK Tak Ditakuti Koruptor
Derek Manangka
BILA korupsi seperti kata Bung Hatta sebagai sebuah aksi yang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, nah ini dia mungkin cerita anti-klimaksnya.

Jangan bilang Indonesia sebagai sebuah negara sedang berkembang atau bangsa yang tengah belajar. Jangan pula disebut Indonesia sebagai negara yang kurang kreatif. Sehingga untuk itu Indonesia masih bisa disebut selaku pihak yang harus banyak belajar dari negara atau bangsa lain.

Tidak. Dalam beberapa hal, kreatifitas dan inovasi, Indonesia bahkan pantas disebut sebagai pakar atau ahlinya. Sehingga bangsa-bangsa di dunia perlu belajar dari Indonesia.

Kali ini secara khusus kita bahas dan bicara soal korupsi, sebuah tema yang seakan tak pernah tamat ceritanya, karena selalu menampilkan ceritera bersambung.

Dulu orang malu dibilang koruptor. Walaupun tidak sampai bunuh diri seperti di Jepang, yang pasti koruptor atau keluarganya akan tersisih dengan sendirinya dari pergaulan masyarakat.

Kemudian, setelah tingkat itu terlalui, situasinya berubah. Koruptor malahan sudah menjadi sebuah indentitas. Tindakan korupsi sudah bermetamorfosa sebagai salah satu kebutuhan gaya hidup.

Dulu orang melakukan korupsi karena faktor lemahnya hukum pencegahan. Belum ada lembaga anti-rasuah seperti saat ini yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

Tapi belakangan korupsi terjadi karena sifat rakus dan ketamakan serta kenekadan. Walaupun ada KPK, koruptor tetap tidak takut melakukan korupsi.

Selain itu rupanya koruptor semakin cerdas. Sudah ada hitungan-hitungan strategi dalam menjalani kehidupan ke depan.

Korupsi adalah cara cepat memperkaya diri agar tidak harus bersusah payah mengarungi kehidupan yang penuh ketidak pastian.

Seperti sebuah kisah dari seorang koruptor yang terlibat korupsi dalam sebuah proyek di salah satu kota di Sulawesi. Sebut saja nama samarannya si Lintah.

Koruptor atau si Lintah ini, sudah bebas dan sekarang melakoni kehidupan baru - menikmati sisa waktunya di hari tua.

Si Lintah, saat ini hidup nyaman dengan menikmati bunga deposito dari uang hasil korupsiannya.

Peristiwa yang terjadi sekitar tiga dekade lalu, kisahnya kurang lebih sebagai berikut:

Si Lintah menilep dana pembangunan dari sebuah proyek pemerintah. Caranya, menelantarkan proyek pembangunan di sebuah daerah sementara kompensasi pembayaran sudah dia terima.

Total kerugian negara hampir mencapai Rp 100 miliar. Sementara jumlah yang langsung masuk ke rekening pribadinya, tidak kurang dari Rp. 60 miliar.

Di persidangan, Lintah tidak membantah semua tuduhan atas perbuatannya. Hakim pun menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara. Sebagai terpidana, Lintah tidak naik banding. Ia langsung menerima putusan.

Para sahabatnya yang mengikuti putusan akhir persidangannya terheran-heran. Mengapa si Lintah tidak melakukan upaya perlawanan hukum?

Ada pembela, tetapi pembelanya diminta tak usah mengajukan banding. Tetapi untuk bertanya, para sahabat tak satupun yang mau bertanya.

Ketika itu belum ada KPK. Di mana biasanya, seorang terpidana bakal menerima hukuman lebih berat, bila melakukan banding ataupun kasasi.

Rupanya si Lintah memang sudah siap mendekam di penjara. Jangka 8 tahun, meringkuk 10 tahun atau lebih, pun dia sudah siap menjalaninya.

Lintah sudah punya strategi dan perhitungan.

Dari total uang yang dia korupsi, separuhnya - Rp 30 miliar dia gunakan untuk "membiayai" langsung semua kebutuhan yang berkaitan dengan kebebasan dan kehidupannya pasca menjadi terpidana.

Sementara sisa separuhnya dari hasil korupsi itu, dia sisihkan untuk biaya hidup istri dan anak-anaknya.

Uang Rp 30 miliar itu ada yang didepositokan, sementara ada sebagian yang disimpan di brandkas pribadi. Sisanya lagi untuk "berbisnis". Seperti jual beli properti dan sebagainya. Pelaku bisnisnya, sang istri.

Yang pasti, dengan bunga 6 persen per tahun atas deposito Rp 30 miliar, setiap tahunnya Ny. Lintah, sang isteri bisa menarik uang Rp 1,8 miliar per tahun atau Rp 150 juta per bulan.

Jadi kalaupun yang didepositokan hanya separuhnya Rp 15 miliar, isteri, Ny. Lintah bisa menikmati bunga sebesar Rp 75 juta per bulan.

Sementara si Lintah yang sudah siap menyisihkan Rp 30 miliar, bisa minta izin cuti mingguan untuk menghirup udara bebas di luar penjara.

Tentu saja untuk mendapatkan izin secara teratur dan berkala, ada biayanya. Tapi biaya itu tak seberapa. Bahkan di dalam tahanan, dia masih bisa menyewa ruang khusus dari pejabat Rumah Tahanan.

Singkat ceritera, setiap weekend Lintah dan keluarganya masih bisa berkumpul, menikmati kehidupan akhir pekan, layaknya orang yang tak melakukan tindak pidana korupsi.

Di luar penjara pun Lintah masih bisa menyewa rumah, kamar atau sejenisnya. Agar setiap kali mendapat cuti, Lintah dapat menikmati alam bebasnya bak orang yang tidak sedang menjalani hukuman penjara.

Sehingga sekalipun Lintah menjalani hukuman penjara selama 8 tahun, kehidupan sehari-harinya tak berbeda banyak dengan mereka yang tidak ada masalah hukum. Delapan tahun dilalui sebagai sebuah kehidupan tanpa penjara.

Lintah dan keluarganya, masing-masing menjalani kehidupan normal. Bahkan dengan uang hasil jarahan, kehidupan Lintah dan keluarganya jauh lebih nyaman. Tidak perlu mengurus perusahaan, membayar pajak dan lain sebagainya.

Yang tidak bisa mereka lakukan, hanyalah berwisata sama-sama baik ke luar maupun ke dalam negeri.

Rumah kelas menengah di Jakarta yang dilengkapi prabotan serta mobil untuk isteri dan anak-anak, masing-masing tersedia. Hanya Lintah sendiri yang tidak punya kendaraan roda empat.

Ketika mendapatkan izin keluar dari penjara, Lintah menggunakan taksi atau alat transportasi umum. Tapi Lintah dan keluarganya sudah siap menghadapi kehidupan seperti itu.

Kisah kehidupan Lintah yang mengantongi hasil korupsi sebesar Rp 60 miliar menjadi menarik sebagai perbandingan dengan koruptor lainnya yang mengorupsi uang triliunan rupiah.

Yaitu koruptor yang terlibat dalam penjualan kondensat, yang disebut-sebut antara Rp 27 sampai Rp 35 triliun.

Kita bulatkan saja angka itu menjadi Rp 30 triliun. Tetap saja jumlah itu masih cukup signifikan. Dan kalau jumlah itu dibagi rata oleh tiga orang, masing-masing masih bisa mengantongi Rp 10 triliun.

Disebut tiga orang, sebab dari yang dituduh koruptor itu sudah ditahan, sementara satunya lagi masih berada di rumah sakit Singapura.

Dengan sejarah koruptor seperti Lintah, kalau sudah demikian situasinya, para koruptor penjualan kondensat ini, besar kemungkinan, akan mengalami kehidupan seperti orang yang tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Resminya mereka teridana korupsi, tetapi dalam realita mereka justru menjadi OKB (orang kaya baru).

Begitu pula, mereka tidak akan khawatir menghadapi aksi para penegak hukum.

Dengan uang triliunan itu, mereka bisa "membeli" para penegak hukum. Mereka bisa menyogok siapa saja, sepanjang sogok menyogok masih bisa dilakukan.

Uang puluhan triliun itu bukan jumlah yang sedikit loh.

Jika benar korupsi yang terjadi dalam penjualan kondensat mencapai puluhan triliun rupiah, peristiwa ini sudah merupakan rekor tersendiri.

Ketika tahun 2009 terungkap ada mega skandal korupsi Bank Centery sebesar Rp 6,7 triliun, kita mengira, itulah yang terbesar. Ternyata tidak.

Dunia korupsi di Indonesia sudah masuk ke dalam sebuah ceritera legenda. [***]

Penulis adalah jurnalis senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA