Mengapa ketiga tokoh ini yang dinilai menjadi penentu? Tak lain tak bukan didasarkan pada penilaian atas cengkraman poros politik dan penyederhanan peta kekuatan politik.
Jokowi ditempatkan sebagai kekuatan yang mewakili rezim penguasa, Prabowo dipersepsikan sebagai kekuatan oposisi sementara SBY selaku poros penyeimbang.
Fakta baru yang misalnya mempengaruhi konstalasi politik, ketika Prabowo dikutip mengatakan akan jalan terus dengan Koalisi Merah Putih-nya. Menurut dia, sekalipun tinggal Partai Gerindera saja yang sendirian berada dalam KMP, Prabowo akan tetap beroposisi.
Ada benarnya sikap itu. Tapi juga ada yang menggelikan. Sebab kalau tinggal Prabowo sendirian, Prabowo tidak patut lagi menyandang predikat sebagai pimpinan koalisi.
Di luar daripada itu, sikap ini memperlihatkan Prabowo dengan Gerinderanya, seakan masih terus melanjutkan persaingannya dengan Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu. Pesta sudah berakhir, tapi tenda belum dibongkar.
Reaksipun bermunculan. Ada yang pro dan kontra tapi ada juga yang abu-abu.
Kemudian ketika SBY, Presiden RI ke-6 berkicau melalui twitter kemudian menyebarkan wawancaranya melalui video youtube.
Dia menyebut bahwa di kalangan Istana, pemerintahan Jokowi, ada yang tidak suka kalau dia (SBY) berkomentar.
Komentar tiba-tiba ini tentu saja mengejutkan. Hal ini kemudian ditafsirkan bahwa wacana yang menyebutkn SBY masih ingin "come back" dalam Pilpres 2019, ada benarnya. Twitter dan Youtube SBY kemudian ditafsirkan sebagai bagian dari keinginannya agar topik atau isu yang mengaitkan dirinya dengan Istana, tetap terjaga.
Tapi bukan itu yang menjadi persoalan. Melainkan karena SBY hanya berani "menuduh" dan tidak berani menyebut indentitas pihak yang dituduh.
Pernyataan bekas Presiden ini pada akhirnya hanya memberi contoh buruk. Yaitu membiarkan elit politik melempar isu seperti "bom waktu" dan membiarkan orang menebak dan berspekulasi serta hidup dengan ras was-was. Kegaduhan ataupun kecurigaan pun tak terhindarkan.
Ujung-ujungnya, muncul sebuah kesimpulan yang kontra produktif bagi SBY. Bahwa dengan melempar isu itu, SBY tidak memperlihatkan sikap dan sosok seorang pemimpin.
Menjadi Presiden RI selama dua periode (10 tahun, 2004 - 2014), ternyata tak membuatnya sebagai warga bangsa yang lebih bijak dan bertanggung jawab.
Jauh dari harapan agar SBY memberi contoh bagaimana bersikap sebagai seorang negarawan.
Sikap SBY terkesan tidak seperti BJ Habibie, Presiden ke-3. Yang walaupun hanya berkuasa 1,5 tahun, merasa sudah cukup. Habibie benar-benar legowo berada di luar ring kekuasaan.
Dari rumah Habibie di Patra Kuningan atau di Jerman sana, tak pernah muncul twitter atau youtube yang mencerminkan kepedualiannya ataupun mengeritik penguasa.
Sementara Jokowi, panggilan akrab bagi Presiden Joko Widodo, dikutip mengatakan bahwa dia tak mau lagi melakukan "ground breaking ground breaking-an". Pernyataan Presiden ke-7 ini serta merta mengundang berbagai penafsiran.
Ada yang menafsirkan Presiden sedang "ngambek", sehingga terpaksa bereaksi seperti itu. Setelah 21 Januari 2016 lalu melakukan "ground breaking" atas proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung pp, Presiden sadar ada hal yang tidak berkenan dalam sambutan rakyatnya.
Boleh jadi Presiden Joko Widodo merasa kecewa ataupun kaget dengan reaksi yang terkesan lebih banyak mengecamnya ketimbang memberinya apresiasi.
Presiden Joko Widodo tidak menyangka, reaksi yang diterimanya atas proyek bernilai Rp. 75,- triliun itu, jauh dari apa yang diharapkannya.
Presiden mungkin menangkap ada rasa tidak percaya masyarakat atas kredibilitasnya.
Sebab berbagai tanggapan yang muncul, terkesan sarat dengan sinisme bahkan ada yang berkonotasi cercaan.
Namun apapun reaksi yang muncul dari masyarakat terhadap setiap pernyataan dari Jokowi, Prabowo dan SBY belakangan ini, semuanya menunjukan sebuah polarisasi yang sangat tajam. Perpecahan di antara para pemimpin politik bangsa Indonesia, sedang atau sudah hadir.
Polarisasi itu sudah berimbas dan menurun ke semua strata. Indonesia saat ini seolah terbelah oleh tiga isme: Jokowisme, Prabowisme dan SBYisme.
Dan yang patut disesalkan, polarisasi atau lebih tepat disebut sebagai perseteruan itu, berkembang di antara tiga putera Indonesia yang sama-sama keturunan etnis Jawa. Sebuah komunitas etnis terbesar di Indonesia.
Suka atau tidak suka, Indonesia adalah Jawa atau Jawa sebagai representasi Indonesia. Tidak mungkin etnis asal Manado seperti penulis
Catatan Tengah ini mewakili Indonesia.
Oleh karena itu, keretakan di antara tokoh Jawa ini, tidak boleh dianggap remeh. Keretakan ini, tidak boleh dibiarkan. Perseteruan ini, dengan resiko apapun harus diakhiri.
Keretakan itu ibarat terjadi dalam sebuah Rumah Indonesia berusia 70 tahun. Penghuninya adalah semua kita - rakyat dan bangsa Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa.
Akibat kegagalan kita dalam merawat, atap-atapnya banyak yang bocor, pilar-pilar penyanggahnya juga terkena kropos.
Dengan kondisi seperti itu, runtuhnya rumah, Rumah Indonesia ini, tinggal menunggu waktu. Apalagi kalau ada terpaan badai.
Menghadapi Rumah Indonesia yang bocor dengan tiang penyanggah yang kropos, semestinya, Jokowi selaku Kepala Rumah Tangga, wajib memperpaikinya. Tapi beban dan persoalan yang dihadapinya juga banyak. Sehingga Jokowi tak mampu. Oleh sebab itu Jokowi perlu dibantu.
Mereka yang wajib membantu, Prabowo dan SBY. Soalnya, mereka berdua juga punya kewajiban dan tanggung jawab setara.
Sebab kalau dilakukan "bedah masalah", terjadinya kebocoran dan pengoprosan atas Rumah Indonesia tersebut, juga antara lain disebabkan oleh SBY dan Prabowo. Keduanya juga pernah menjadi bagian dari Rumah Indonesia ini.
Selama 10 tahun (2004 - 2014), SBY menjadi penghuni utama.
Sementara Prabowo yang pernah berjaya atau menjadi bagian dari kekuasaan pada era Orde Baru, juga tidak bisa menghindar.
Sebagai menantu Presiden Soeharto misalnya Prabowo tidak bisa membantah bahwa dia juga bagian dari elit penguasa Orde Baru. Dan Orde Baru tidak bisa hanya mengkleim keberhasilan, tapi juga perlu mengaku ikut merusak beberapa bagian.
Jadi kalau kita berpikir dari perspektif sebagai sesama warga Indonesia, tanggung jawab memperbaiki Rumah Indonesia, harus ditagih juga kepada SBY dan Prabowo.
Dengan demikian tidak pantas apabila yang terjadi Jokowi yang sedang keteter dengan berbagai persoalan, lalu dibiarkan sendiri, mencari solusi, agar Rumah Indonesia tersebut tidak runtuh atau hancur.
SBY dan Prabowo tidak bisa bersikap seperti tetangga apalagi menjadi pononton sambil menunggu Jokowi membuat blunder besar.
Membiarkan Jokowi sendirian mengatasi ancaman atap bocor dan tiang penyanggah kropos, sama dengan semua pihak tinggal menunggu waktu, kapan Rumah Indonesia ini roboh.
Persoalannya semakin menjadi parah. Karena ketiga tokoh ini, sama-sama punya pendukung, penggembira ataupun relawan. Semuanya tampil dengan visi dan agenda yang berbeda-beda.
Semua pihak bukannya mencari solusi agar Rumah Indonesia tidak mengalami kehancuran. Tetapi semua pihak muncul dan menonjolkan kehebatan dan ego mereka. Akibatnya Indonesia terbelah: Indonesia versi Jokowi, Prabowo dan SBY. Orang Jawa terpecah.
Terbelahnya Indonesia dan terpecahnya orang Jawa, sama dengan terancamnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Jokowi, Prabowo dan SBY saling mencemburui dan tidak mau bersatu. Padahal persatuan itu penting dan menjadi semakin lebih penting lagi mengingat ketiganya mewakili masyarakat mayoritas - Jawa. Sebuah etnis terbesar dari ribuan suku bangsa Indonesia.
Persatuan Indonesia tak akan terwujud secara maksimal, apabila perseteruan justru terjadi atau dipelopori oleh etnis mayoritas.
Persatuan Indonesia tak akan mungkin terbentuk jika hanya etnis-etnis minoritas yang bersatu.
Maaf beribu maaf, masalah primordialisme ini, terpaksa diangkat. Soal latar belakang, asal-usul Jokowi, Prabowo dan SBY, mau tak mau harus dipetakan.
Disadari, dengan memetakan soal etnis ketiga pemimpin ini, pembahasan sudah menyentuh primordialisme, soal yang sensitif.
Di era Orde Baru, primordialisme masuk dalam kategori SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), hal yang secara khusus diatur pemerintah.
Semua pihak diminta menghindari pembahasan soal SARA, untuk mencegah munculnya sentimen sektarian. Dan pengaturan pemerintah Orde Baru itu berhasil.
Namun di era keterbukaan seperti sekarang, pengaturan itu sudah tak sesuai dengan zaman.
Lebih baik kita bicara apa adanya. Karena bangsa ini seperti pasien. Yang diderita penyakit jantung, tapi masih ada yang berusaha mengatakan, sedang terserang penyakit pilek.
Jokowi, Prabowo dan SBY menghadapi situasi yang berbeda dengan politik di era Orde Baru. Jadi mereka juga jangan menggunakan paradigma Orde Baru.
Terhadap mereka bangsa ini harus berbicara apa adanya. Tentu saja dengan darah kejujuran.
Dengan harapan, sekalipun kejujuran memang menyakitkan, tetapi ibarat sebuah penyakit, kita tahu dimana sakitnya sehingga lebih mudah mengobatinya.
Jokowi, Prabowo dan SBY jangan lagi kita biarkan berseteru atau melanjutkan perseteruan mereka.
Perseteruan mereka bertiga apapun bentuknya, tetap tak akan membuat Indonesia menjadi kuat.
Perseteruan mereka tak akan menghasilkan pemikiran, misalnya bagaimana mencegah Papua keluar dari NKRI.
Perseteruan mereka sebagai tokoh nasional, justru semakin dapat membuat bangsa lain dengan mudahnya memporak-porandakan Nusantara.
Jadi persatuan, kekompakan Jokowi, Prabowo dan SBY, wajib hukumnya. Tanpa prasyarat.
[***]Penulis adalah jurnalis senior