Tetapi bagi siapa saja yang mengikuti secara keseluruhan acara itu Selasa malam 2 Februari 2016 - selama kurang lebih 3 jam, perlu berpikir ulang untuk memvonis ILC atau TVOne sebagai media yang melakukan pelanggaran etika.
Sebab lewat acara terbuka tersebut, ILC justru berkontribusi atas pembongkaran sebuah skandal dalam "crime strory". Mengungkap sebuah misteri yang terkendala oleh tidak adanya saksi hidup. Yang ada hanya saksi "mati" berupa alat pendeteksi.
Bayangkan, apa jadinya masyakarat menilai Polri bila sampai terjadi pembunuhan ini, tak bisa diungkap. Sementara secara logika, siapa pelaku pembunuhanya mudah ditelusuri.
Atau betapa sedihnya keluarga korban pembunuhan. Mereka memiliki naluri dan kecurigaan siapa pembunuh Mirna Salihin. Tetapi dengan alasan tidak ada saksi hidup siapa yang meracun almarhumah, perbuatan jahat inipun terpaksa dibiarkan selesai tanpa investigasi.
Sebuah adu fakta dan kebenaran, Selasa malam itu terjadi. Terutama antara Darmawan Salihin ayah Mirna, korban "kopi maut" dengan Yudi Widodo, pengacara Jessica Wongso. Juga dengan Reza, sang pakar dari dunia perguruan tinggi. Dan adu fakta serta kebenaran itu disaksikan langsung para polisi inestigator serta ahli hukum dan pakar prilaku manusia alias psikolog.
Jika sebelum acara ILC, Yudi Widodo bisa berbicara semaunya di forum itu, pengacara yang masih paman tersangka Jessica Wongso, belakangan tidak banyak berkutik.
Dan itu terjadi karena Darmawan Salihin menggunakan bahasa santun, tampil dengan sikap tenang dan argumentasinya selalu diakhiri dengan senyum atau tawa.
Beda, kalau hanya menonton sepotong. Kesimpulannya bisa berujung pada pandangan bahwa ILC telah melakukan pelanggaran kode etik. Apalagi jika menonton dengan hanya menggunakan kaidah serta parameter formal.
Menyimak gigihnya Darmawan Salihin, mematahkan satu demi satu argumentasi pihak yang berseberangan dengannya, menyisakan sebuah kesimpulan. Argumentasi yang jujur tetap tak terkalahkan oleh debat hukum.
Tak bisa dipungkiri, para ahli hukum mulai dari Gayus Lumbun, Said dan Alfons yang memberikan pandangan obyektif telah ikut mempengaruhi jalannya dialog ILC. Termasuk menyadarkan kita bahwa media dengan peran sebagai sosial kontrol, patut menunjukkan keberpihakannya.
Rambu-rambu kode etik tetap harus diperhitungkan. Tetapi rambu-rambu itu jangan sampai menutupi sebuah kebenaran.
Media tidak boleh takut berseberangan dengan publik yang berkesimpulan lain. Sepanjang sikap berseberangan itu didasarkan pada keyakinan, integritas dan kejujuran.
Salah satu aspek yang patut diapresiasi adalah jalannya perdebatan. Sepanjang perdebatan tidak ada gebrakan meja dan saling intervensi yang mengganggu. Sehingga setiap pembicaraan bisa disimak dengan baik.
Dialog yang tanpa intervensi serta setiap pernyataan disampaikan secara bertanggung jawab, ternyata bisa mengungkap sebuah persoalan yang sukar diungkap. Termasuk skenario pembunuhan yang dilakukan secara rapih.
Tentu saja hasil akhir dari penyidikan dan penyelelidikan perkara pembunuhan ini, masih harus diuji di pengadilan. ILC bukanlah lembaga juru adil. Tetapi lewat acara itu, setidaknya, pemirsa sudah menonton "live" sebuah pra peradilan versi media televisi.
Forum ILC Selasa malam setidaknya menyetujui bahwa terkadang pengungkapan sebuah perkara, tidak harus hanya oleh aparat Kepolisian.
Demikian pula patugas kepolisian yang cerdas dalam melakukan pekerjaan penyidikan dan penyelidikan, tak bisa bisa berbuat banyak jika hanya bekerja sendirian.
Yang cukup mengesankan adalah keterlibatan Darmawan Salihin, ayah kandung Mirna. Ia mengaku meninggalkan semua kegiatan bisnisnya mengubah dirinya menjadi "detektif". Asalkan dia bisa mengungkap siapa sebetulnya yang membunuh anaknya.
Darmawan berujar, dia tergerak menjadi detektif, karena dorongan nauri seorang ayah. Walau dia harus menjadi miskin, karena harus menelantarkan industri bisnisnya yang mempekerjakan ribuan orang, tak masalah. Yang terpenting target menemukan pembunuh putri kembarnya, tercapai.
Logikanya dengan kematian putrinya yang belum berusia 40 hari, Darmawan masih diliputi oleh suasana duka yang mendalam. Dia belum bisa tersenyum apalagi tertawa lepas.
Lasimnya orang yang masih diselimuti oleh rasa duka yang dalam masih sangat emosional.
Tetapi Darmawan Salihin tidak demikian. Kesiapannya menerima kenyataan bahwa anaknya sudah meninggal dan tak mungkin dihidupkan kembali, telah ikut membantu. Semua uraiannya di forum ILC gampang dicerna.
Darmawan berbicara tanpa beban. Sehingga tema yang dia sampaikan tidak keluar konteks.
Darmawan menjadi sosok seorang ayah yang tegar, boleh jadi karena rasa sedihnya sudah melewati batas ambang.
Di acara itu, Darmawan tampil 'solo'. Sementara di seberang mejanya ada pembela Jessica bersama keluarganya. Namun kesendiriannya tidak mempengaruhi ketegaran dan keteguhannya.
Berkemeja putih bersih, berwarna terang, warna bajunya seperti merepresentasikan sebuah jiwa dan pikiran yang bersih.
Dengan pikiran dan jiwa bersih, Darmawan melakukan penyelidikan atas penyebab kematian putrinya, Mirna. Mencari dan menggali fakta dari berbagai sumber.
Hasilnya dalam waktu yang relatif singkat, Darmawan menemukan sejumlah petunjuk kuat. Bahwa pembunuh putrinya adalah Jessica Wongso, wanita muda yang berteman dengan putrinya. Ini namanya teman bunuh teman.
Kesimpulannya, dia ambil secara bertahap. Mulai dari sikap dan prilaku Jessica. Darmawan membuka sejumlah rekaman memorinya yang menunjukkan bahwa Jessica memperlihatkan sejumlah sikap aneh dan tidak wajar. Sikap yang tidak bisa disembunyikan, karena mungkin begitulah cara Tuhan memberi tanda pada orang yang bermasalah.
Misalnya ketika Mirna sedang menghadapi detik-detik kematiannya di rumah sakit. Darmawan saat itu sedang berusaha memberikan bantuan pernapasan. Sambil berteriak Darmawan berujar di kuping putrinya.
"Biar papa yang mati. Jangan kamu Mirna....", katanya.
Di saat situasi yang sangat kritis itu, Darmawan dikejutkan oleh sapaan dari belakang, seorang wanita muda. Wanita yang mengaku teman anaknya Mirna itu, datang mendekat ke Darmawan. Dia kaget, sebab kata-kata wanita muda itu terdengar janggal.
"Mirna mati yah Om. Yah Mirna cantik.....", begitu yang didengar Darmawan dari seorang perempuan yang tidak dia kenal.
Darmawan pun memandangnya sejenak. Kemudian bertanya siapa dia. Wanita ini mengaku sahabatnya Mirna. Setelah itu, wanita itu menjauh seperti merasa atau sadar bahwa kehadirannya tidak diterima oleh Darmawan.
Berhubung Darmawan sedang menghadapi situasi krisis Mirna, Darmawan pun tidak mempedulikan wanita tersebut yang belakangan ternyata dikenal bernama Jessica.
Hingga Mirna meninggal, Darmawan belum mempedulikan kehadiran tiba-tiba oleh Jessica.
Tetapi setelah agak tenang dan pada hari-hari awal polisi dia nilai kurang cepat bertindak, memori di menit-menit menjelang kematian putrinya itu, kembali muncul dalam ingatannya.
Darmawan sadar bahwa kalimat perempuan muda itu tidak menunjukkan simpati atas kematian putrinya. Memori lain kembali ke benaknya, ketika dia sempat menandai wanita muda itu terus menggaruk-garuk jari jemarinya.
Darmawan lalu bergerak sendiri sebagai "detektif". Ia gunakan nalurinya sebagai seorang ayah, untuk menelusuri awal terjadinya Mirna meneguk kopi. Darmawan datangi Cafe tempat terakhir putrinya bersama Jessica bertemu. Dia minta rekaman CCTV agar diserahkan kepadanya.
Dari isi rekaman CCTV itulah Darmawan bisa melihat sejumlah gerakan wanita muda yang kelak dia ketahui bernama Jessica.
Gerakan-gerakan Jessica memperlihatkan semua yang dilakukannya - ketika dia tiba lebih awal di cafe tersebut. Mulai dari mencari posisi tempat duduk yang tidak bisa tercover oleh kamera pengintai.
Cukup jelas terrekam, Jessica membuat rencana, berusaha mencari posisi dimana kamera CCTV tak akan bisa merekam kegiatannya di cafe tersebut.
Jessica memesan kopi dan setelah kopi berada di atas meja, letak cangkir berisi kopi itu, dia coba lindungi dari sorotan kamera CCTV.
Setelah merasa aman, tangannya merogoh sesuatu dari tas jinjing bawaannya. Tangannya kemudian bergerak memasukkan sesuatu ke gelas kopi yang disiapkan untuk diminum oleh Mirna.
Disini Darmawan menduga bahwa yang dimasukkan Jessica ke dalam gelas kopi, merupakan racun. Dan racun itulah yang menjadi penyebab kematian Mirna, setelah Mirna meneguknya kemudian.
Alibi Jessica semakin terungkap, ketika Darmawan mencari informasi tentang kehidupan Jessica selama tinggal atau bersekolah di Australia.
Menurut sumbernya, ketika di Australia, Jessica bekerja di sebuah perusahaan yang memberikan jasa pertolongan pertama kepada pasien atau orang sakit.
Intinya perusahaan itu punya ambulans. Nah, kalau latar belakang itu yang dijadikan ukuran, secara logika, Jessica merupakan seseorang yang akrab dengan kehidupan memberikan pertolongan kepada orang yang terkena musibah.
Namun yang dirasakan janggal oleh Darmawan, Jessica mengaku sebagai sahabat Mirna, tapi di saat sahabatnya sedang sekarat, Jessica yang akrab dengan dunia ambulans, justru tidak berbuat apa-apa bagi sahabatnya itu.
Darmawan semakin curiga terhadap Jessica. Sebab ketika dia berada di rumah sakit - menjenguk Mirna yang sedang sekarat, Jessica terus menerus menggaruk jari jemarinya.
Berdasarkan investigasinya, jari jemarinya yang gatal, karena terkena racun.
Darmawan mengaku tidak mengetahui latar belakang hubungan Mirna dengan tersangka Jessica. Tetapi salah satu isi pesan WhatsApp di handphone putrinya, membuatnya penasaran sekaligus curiga.
Di situ kata Darmawan ada pesan dari Jessica untuk putrinya berbunyi begini : "Mir sudah lama gua ga ngerasain ciuman loe...".
Darmawan tidak mau terlalu jauh menganalisa makna kalimat itu. Tetapi dari kembaran Mirna yang tahu seluk beluk hubungan Jessica dan anaknya ketika mereka semua bersekolah di Australia, Mirna terkesan sangat takut bertemu dengan Jessica.
Rasa takut Mirna, boleh jadi karena Jessica sebagai teman sangat posesif. Jessica tidak memandang atau memperlakukam Mirna sebatas teman biasa.
Tidak secara eksplisit diungkapkan, apakah keduanya terlibat percintaan sesama gender. Tetapi ada kecurigaan Darmawan, bahwa sebetulnya selama ini diam-diam Jessica merasa cemburu dengan Mirna. Terutama setelah Mirna memutuskan menikah dengan lelaki pilihannya.
"Si bodoh itu mestinya dia masih hidup, jika dia tidak menikah", ujar Darmawan berandai-andai. Yang dia maksudkan dengan si bodoh adalah almarhumah Mirna.
Secara singkat, acara ILC Selasa malam, sebetulnya sudah membuat kesimpulan sementara bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna.
Sikap Darmawan yang terbuka kepada publik dan kooperatif dengan polisi sangat bertolak belakang dengan keluarga Jessica.
Pihak kepolisian yang bermaksud menggeledah rumah orang tua Jessica, tidak berhasil. Sebab rumah orangtua Jessica terkunci kosong. Apa sebabnya, polisi tidak bisa menjawabnya.
Sikap orangtua Jessica yang menutup diri ini, mau tak mau menambah kecurigaan atau memperkuat dugaan bahwa kesimpulan Darmawan bahwa putrinya diracun oleh Jessica, sangat beralasan atau benar adanya.
Setidaknya kekuatan naluri seorang ayah berhasil menyingkap misteri di balik tragedi "kopi maut".
[***]Penulis adalah jurnalis senior