Oposisi Gerindra Setengah Hati
OLEH:
SYA'RONI
- Jumat, 05 Februari 2016, 01:34 WIB
ilustrasi/net
TIDAK ada salahnya mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-8 kepada Partai Gerindra. Perjalanan 8 tahun tanpa sekalipun mengenyam gurihnya kue kekuasaan juga patut mendapatkan apresiasi tersendiri.
Tidak semua partai politik memiliki karakter yang begitu kuat menahan lapar di luar kekuasaan. Lihat saja PAN, PPP, dan Partai Golkar yang baru saja berada di luar, sudah buru-buru merapat kembali kepada kekuasaan.
Tindakan ketiga partai tersebut sudah diprediksi sejak awal. Karena melihat rekam jejak ketiganya yang semenjak reformasi selalu bersama-sama dalam pangkuan kekuasaan.
Namun, pilihan Partai Gerindra untuk tetap beroposisi juga patut dikritisi. Karena selama pemerintahan Jokowi, klaim oposisi yang disuarakan oleh para petinggi Partai Gerindra tidak dibarengi dengan gerakan politik riil, baik di dalam maupun di luar parlemen.
Bahkan, jika dibandingkan dengan gerakan politik yang dilakukan sejumlah politisi PDIP dalam mengkritisi pemerintahan Jokowi, bisa dikatakan Partai Gerindra belum ada apa-apanya. Publik lebih melihat PDIP lah yang beroposisi, bukan Partai Gerindra.
Para elit Partai Gerindra hanya sebatas menyampaikan kritik, baik melalui mikrofon di parlemen maupun menyebar pernyataan sikap ke awak media. level kritik yang demikian mestinya hanya dilakukan oleh para aktivis. Sebagai partai politik harusnya Partai Gerindra bisa bertindak lebih garang.
Lihat saja para politisi PDIP tidak hanya mengkritik, tetapi juga memanfaatkan instrumen politik di parlemen seperti menginisiasi pansus dan panja. Bahkan di era pemerintahan SBY, PDIP juga menggerakkan sayap partai untuk berdemo ke istana negara. Bisa dikatakan pada saat itu, PDIP secara total menunjukkan beroposisi terhadap pemerintahan SBY.
Tidak demikian dengan Partai Gerindra yang mengklaim sebagai oposisi, tetapi sepi dari gerakan politik. Gerakan Fraksi Partai Gerindra di Parlemen juga tidak memiliki watak oposisi yang kuat. Semuanya serba biasa-biasa saja, melontarkan kritik sekedarnya saja.
Baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen, Partai Gerindra seakan kehilangan sosok pemimpinnya. Karena setelah Pilpres, Prabowo Subianto yang didaulat menjadi Ketua Umum dan sekaligus mantan capres Partai Gerindra, seakan menghilang begitu saja dari kancah perpolitikan nasional. Keberadannya hanya muncul dalam ulang tahun Partai Gerindra dan sesekali menghadiri acara partai politik tertentu. Setelah itu menghilang kembali.
Mestinya setelah kalah dalam pilpres, Prabowo Subianto tidak begitu saja meninggalkan gelanggang politik. Keberadaanya sangat dibutuhkan untuk memacu gerakan partai oposisi. Prabowo dibutuhkan untuk tampil sebagai pemimpin oposisi sebagaimana dulu Megawati tampil di depan menghadapi pemerintahan SBY.
Jika model oposisinya seperti yang dilakukan oleh Partai Gerindra, tentu yang diuntungkan adalah Presiden Jokowi. Karena bisa berbuat apa saja, tanpa mendapatkan tekanan yang berarti. Apalagi sekarang ditambah tiga partai politik yang bergabung ke pemerintahan, bisa dipastikan Jokowi akan semakin leluasa melakukan kebijakan apapun.
Diharapkan setelah menggelar prosesi ulang tahun, Partai Gerindra merubah gaya oposisinya untuk menjadi lebih garang. Tirulah PDIP tatkala menjadi oposisinya pemerintahan SBY. Semua kekuatan dikerahkan untuk mengkritisi pemerintah. Oposisi yang tidak setengah hati.
Meskipun berkali-kali mengalami kekalahan dalam kontestasi pertarungan di parlemen, PDIP tidak pernah patah semangat. Tidak terhitung sudah berapa kali PDIP melakukan walk out sebagai bentuk perlawanan politik.
Dan setelah 10 tahun konsisten di jalur oposisi, akhirnya pada Pemilu dan Pilpres 2014, PDIP kembali mendapatkan kepercayaan rakyat untuk memimpin negeri ini. Dan dalam Pilkada serentak 2015, PDIP juga membubuhkan kemenangan terbanyak.
Bisa disimpulkan, bahwa rakyat tidak melihat seberapa besar kekuatan yang dimiliki PDIP ketika menjadi oposisinya SBY. Tetapi rakyat menjadi saksi betapa hebat, gigih dan konsistennya PDIP dalam memberikan perlawanan politik terhadap rezim SBY. Sehingga dalam Pemilu 2014, rakyat tidak segan-segan memberikan mandat kekuasaan kepada PDIP.
Beroposisi juga suatu pilihan politik yang mulia dan akan lebih lebih bermartabat jika dilakukan dengan sepenuh hati. Banyak kebijakan Jokowi yang tidak berpihak kepada rakyat tetapi tidak mendapatkan perlawanan berarti di parlemen.
Alih-alih melihat perlawanan gigih dari Partai Gerindra, publik dikejutkan dengan tindakan kontraproduktif sejumlah pimpinan DPR, termasuk Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, hadir dalam kampanye Kandidat Capres Partai Republik AS Donald Trumph. Sontak publik langsung mengecamnya. Tindakan kontraproduktif seperti itu tidak boleh terulang kembali.
Jika Partai Gerindra sudah menasbihkan diri sebagai partai oposisi sebagaimana yang dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, maka mulai saat ini Partai Gerindra harus meningkatkan kualitas kritiknya terhadap pemerintah.
Beroposisi tidak semata berarti di luar kekuasaan, pilihan berposisi mengandung konotasi bertindak secara aktif melakukan perlawanan secara gigih terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Tidak hanya sekedar menyebar pernyataan sikap. Harus lebih dari itu. Semoga Bisa!![***]
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (HUMANIKA)
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.